Bab 9 -- Bibir Terkunci, Hati Berteriak
Setelah mengetahui kebenaran itu, Anna semakin terjebak dalam kebingungan. Dia merasa kehilangan arah---tidak ingin hidup sebagai Kinan, tetapi juga tidak bisa kembali menjadi dirinya sendiri. Semua beban ini menjadi semakin berat, terutama karena dia tidak bisa mengungkapkan identitas aslinya kepada siapa pun. Namun, perlahan, Anna mulai memahami rasa sakit Kinan dan Dirga. Meskipun sulit, dia sadar bahwa satu-satunya cara untuk maju adalah dengan menghadapi rasa bersalah mereka bersama.
Anna terduduk di tepi tempat tidur, kepalanya terasa berdenyut hebat. Pikirannya terus berputar, mengulang bayangan Kirana yang menyelamatkan Kinan, diiringi suara marah Dirga, "Seharusnya kamu yang mati..."
Kalimat itu terus bergema di pikirannya, bercampur dengan kenangan lain---sikap lembut Dirga sejak hari pernikahan mereka, cara dia menyentuh wajahnya, dan tatapan matanya yang kini dipenuhi rasa bersalah.
Anna menggenggam kepalanya, berusaha mengusir pikiran-pikiran itu. Tapi semakin dia melawan, semakin sakit yang ia rasakan. Bayangan Dirga yang dulu keras dan dingin kini terus bergantian dengan Dirga yang lembut dan penuh perhatian. "Aku tidak bisa... aku tidak bisa terus seperti ini," gumamnya sebelum semuanya menjadi gelap. Tubuhnya roboh ke lantai, kesadarannya menghilang.
---
Dirga pulang larut malam setelah shift panjang di rumah sakit. Saat masuk ke kamar, ia mendapati Anna tergeletak di lantai, wajahnya pucat dan tubuhnya dingin. "Kinan!" serunya panik, berlutut di sampingnya. Dia mencoba membangunkannya, tetapi tidak ada respons. Tanpa pikir panjang, Dirga mengangkat tubuh Anna dan berlari ke mobil, membawanya kembali ke rumah sakit.
Di ruang gawat darurat, Dirga berdiri di sudut ruangan dengan wajah penuh kecemasan. Rekannya, dokter Hasan, memeriksa Anna dengan teliti. Setelah beberapa saat, dokter Hasan mendekatinya dengan ekspresi serius.
"Kondisinya stabil sekarang," ujar dokter Hasan.
Dirga menghela napas lega. "Syukurlah. Tapi apa yang terjadi padanya? Kenapa dia sampai pingsan?"
Dokter Hasan menatap Dirga dengan sorot mata aneh sebelum berbicara. "Dia hamil, Dirga. Usianya baru beberapa minggu, tapi itu sudah cukup memberi tekanan tambahan pada tubuhnya, mengingat kondisi jantungnya yang lemah."