Sejak kecil  aku tumbuh dan tinggal dalam satu keluarga besar dalam ruang lingkul yang sama, kakek , nenek, om, tante, dan saudara-saudaraku.Sangat menyenangkan memiliki keluarga besar, setiap malam kami selalu menyempatkan diri untuk berkumpul untuk saling bercerita dan menyampaikan keluh kesah yang terjadi dr hari itu. Namun aku pernah mendengar jika kita lebih dekat dan lebih kenal dengan seseorang maka permasalahan mudah untuk muncul.
Sebagai anak tunggal tidak jarang aku merasa kesepian, membutuhhan seorang kakak atau adik, namun lebih sering aku merasa senang dilahirkan sebogai anak tunggal, kasih sayang yang tidak terbagi menjadi alasannya, apapun yang diinginkan pun selalu dituruti.
Aku selalu merasa bahwa kehidupan Kami sempurna tanpa ada celah, walaupun aku hanya bisa bertemu ayah di weekend saja karena pekerjaannya yang menuntutnya untuk tinggal jauh. Setiap weekend kami selalu pergi bersama, bertiga saja, menghabiskan woktu saat ayah libur. Tapi kesempurnaan keluarga kami tidak bertahan lama, saat aku berumur 10 tahun sekitar kelas 4 SD ayah mulai jarang pulang, kami tidak berkumpul seperti biasanya. Setiap ayah pulang, ibu selalu mengajakku untuk kami menginap saja dirumah kakek, untuk menghindar dari ayah, selalu ada banyak pertanyaan  tentang apa yang terjadi, tapi aku terlalu takut untuk menanyakannya pada ibu.
Suatu hari aku duduk di balik kursi ruang tamu dengan beralaskan lantei, mendengar percakapan ayah dan Ibu yang aku yakin saat itu mereka sedang bertengkar, memutuskan untuk berpisah. Aku mendengarnya dan menangis saat Itu. Ayah dan ibu pun menyadari keberadaanku dan langsung menghampiri. Kejadian itu terus terngiang di kepalaku, aku selalu menangis saat ayah berpamitan untuk pergi kerja, karena aku yakin ayah akan meninggalkan rumah. Meninggalkanku bersama bu, berdua soja, selamanya.
Ayah dan ibu tidak pernah membicarakan masalah in padaku, bahkan aku diberitahu tentang perpisahan mereka oleh tanteku, mungkin mereka terlalu takut atau sedih? Setiap malam aku selalu mendengar tangisan ibu, aku bingung harus apa, yang aku lakukan hanya bisa ikut menangis, menaangis berdua.
Setiap kumpul bersama keluarga besar aku selalu merasa iri dengan saudara-saudaraku yang memiliki keluarga utuh, tidak sepertiku. Tapi aku bersyukur saudaraku selalu mengajakku jalan-jalan dengan keluarganya walau tanpa ibu. Ibu harus berkerja untuk menghidupi kami berdua, karena yang aku tahu sampai sekarang ayah tidak pernah memberikan nafkah pada kami.
Sejak dulu ibu tidak pernah mengeluh padaku, menceritakan keluh kesahnya, atau kehidupannya. Sampai akhirnya ibu mau menikah lagi pun aku tahu dari keluargaku yang lain. Tiga tahun berlalu akhirnya ibu menikah lagi dengan pria yang tidak aku kenal, aku bingung dengan perasaanku, harus sedihkah? Atau senang?
Pada hari ibu menikah aku berniat untuk tidak datang, mencari alasan seperti sedang mengerjakan tugas kelempok di rumah teman. Namun gagal, aku terus dihubungi oleh keluargaku untuk datang, akhirnya aku menyerah dan datang menghadiri pernikahan Ibu dan papah, Itulah yaing menjadi panggilannya kini.
Aku darang dengan seragam sekolahku, kemudian salah satu tantetu menuntunku  ke kamar untuk berganti baju , yang aku tahu pada saat itu ibu telah sah, untuk menikah lagi. Saat keluar kamar aku pun menghampiri mereka dan berfoto bersama, bertiga, keluargaku utuh menjadi tiga lagi.
Setelah bertahun-tahun menjalani hidup bersama papah, aku merasa
Ibu lebih bahagia. Hanya itu yang menjadi alasanku untuk menerima kehadiran papah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H