Mohon tunggu...
Razak ARK
Razak ARK Mohon Tunggu... -

Ngalap pelajaran dari cerita di Negeri Beton

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita Negeri Beton: di Sini, Stroke Makin Akrab

29 Oktober 2014   19:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:16 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1414562010882771727

[caption id="attachment_350623" align="aligncenter" width="300" caption="Almarhumah Pitri Handayani saat koma di rumah sakit"][/caption]

Senin, 27 Oktober 2014. Seorang pekerja migran Indonesia bernama Pitri Handayani meninggal dunia di Alice Ho Miu Ling Nethersole Hospital, Tai Po, Hong Kong. Perempuan asal Blitar, Jawa Timur, itu sempat dirawat selama 5 hari sebelum akhirnya tak kuasa melawan stroke yang merenggut nyawanya.

Berdasarkan data yang saya peroleh dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong, sepanjang tahun ini, hingga Oktober, tercatat 9 pekerja migran Indonesia yang meninggal dunia di Negeri Beton. Dari jumlah itu, 6 diantaranya meninggal dunia karena sakit.

Pada tahun 2013, angkanya lebih memprihatinkan. Sebanyak 22 pekerja migran Indonesia menemui ajal di sini. Sebanyak 16 orang, lagi-lagi meninggal dunia karena tak kuasa melawan penyakit yang mendera.

Bukan sembarang penyakit, melainkan penyakit akut dan ganas! Penyakit yang juga merenggut nyawa Pitri, dan merenggut nyawa anak-anak manusia yang tengah tak bersanak tak berfamili di negeri rantau.

Sebab, bukan hanya Pitri pekerja migran Indonesia yang meninggal dunia akibat stroke.

Kalau dulu stroke dimonopoli orang-orang “gedean” dan berduit, kini penyakit ini juga akrab di kalangan pekerja migran Indonesia di Negeri Beton.

Untuk menyebut beberapa contoh, pada Agustus 2014 silam, dua pekerja migran Indonesia asal Ponorogo, Jawa Timur: Haryulin dan Puji Astutik, meninggal dunia akibat serangan penyakit yang mampu menjebol pembuluh darah di otak ini. Berita ini dimuat di Tabloid Apakabar Plus, media dwimingguan berbahasa Indonesia yang terbit di Hong Kong.

Hampir bersamaan, Suwarsih, juga pekerja migran asal Ponorogo, sedang berjuang melawan stroke yang dideritanya di ruang ICU Pamela Youde Nethersole Eastern Hospital, Chai Wan. Kabar terakhir, perempuan berusia 36 tahun ini mampu melewati masa-masa kritis. Alhamdulillah...!

Tapi pada bulan Oktober 2013, KJRI Hong Kong memulangkan 3 jenazah pekerja migran Indonesia. Jenazah Hartik Ningsih dipulangkan, setelah perempuan asal Malang, Jawa Timur, diduga meninggal dunia akibat serangan jantung. Sedangkan Santi Herlina “pulang” ke kampung halaman tinggal nama dan jasad tanpa nyawa akibat menderita kanker darah.

Satu lagi, Winingsih, pekerja asal Ponorogo, meninggal dunia akibat menderita stroke!

Ketika angka dan fakta kematian ini di-publish Apakabar Plus di fanpage facebook-nya, banyak komentar bela sungkawa yang disampaikan. Dari banyak komentar, ada yang memberikan saran sangat berarti: “Itu seharusnya diadakan check-up 6 bulan sekali seperti yang dilakukan di Singapura dan Taiwan.”

Betul, yang dibutuhkan pekerja migran Indonesia di Negeri Beton adalah pemeriksaan kesehatan rutin!

Pemeriksaan kesehatan ini menjadi penting karena tekanan kerja di ruang domestik sebagai pekerja rumah tangga yang harus mereka lakoni sangatlah tinggi dan berat. Dalam banyak kasus, tekanan itu menyiksa perasaan, menyiksa pikiran yang bahkan mampu menghadirkan “siksa fisik”.

Dengan “tekanan batin” kerja yang demikian, pekerja migran Indonesia di Negeri Beton betul-betul membutuhkan pemeriksaan kesehatan rutin. Pemeriksaan yang juga harus memastikan bahwa mereka memiliki tekanan darah yang baik untuk bekerja dalam situasi khusus itu. Tidak cukup sekali dalam dua tahun, saat jelang penandatanganan kontrak kerja, tapi dalam jarak interval yang lebih pendek.

Sebab, “tekanan batin” itu mereka terima enam hari seminggu, 24 jam sehari!

Pemeriksaan kesehatan rutin itu bisa difasilitasi negara melalui kantor perwakilan pemerintah, atau dilakukan secara mandiri atas kesadaran sendiri.

Sebagian pekerja migran Indonesia yang sadar dengan potensi stroke sebagai "pencabut nyawa", mampu menyiasatinya. “Saya dan teman-teman sengaja rutin mendatangi Palang Merah Hong Kong untuk donor darah. Sebab, sebelum melakukan donor, kesehatan dan tekanan darah kami diperiksa,” ujar seorang pekerja migran Indonesia bernama Lutfi, beberapa waktu lalu.

Langkah cerdas dalam menyikapi stroke yang semakin “akrab” di Negeri Beton!

Dengan aksi donor darah yang dilakukannya, Lutfi dan kawan-kawan bisa menolong banyak orang. Di saat yang sama, mereka bisa memeriksakan kesehatannya secara gratis. Mereka sadar, untuk memastikan diri sehat, kita tak harus menunggu dipaksa keadaan dan sistem. Apalagi, mengandalkan orang lain melakukannya untuk kita.

Pada hari Selasa, 4 November 2014, jenazah Pitri Handayani akan dipulangkan ke kampung halaman. Sekali lagi, melalui kematian perempuan kelahiran 2 Februari 1965 ini dan puluhan lain yang “diakrabi” stroke, Tuhan memperlihatkan pelajaran berharga: MARI PASTIKAN, KITA SEHAT!

#Ini cerita dari Negeri Beton. Cerita tentang ratusan ribu pekerja migran Indonesia yang sedang berjuang memperbaiki nasib. Merantau, terpaksa berjarak dari orang-orang tercinta dan segala entitas penuh nostalgia di kampung halaman.Cerita tentang bulir-bulir amarah, kecemasan, keputusasaan, kebingungan, kesengsaraan, kegalauan, sekaligus kebanggaan, kepuasan dan kebahagiaan yang menjadi satu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun