Kenapa dari ribuan senja, hanya ada satu senja yang berwarna indah. Seperti saat ini. Sama seperti dari ribuan pagi, hanya ada satu pagi yang meninggalkan sejuk terus terasa hingga matahari beranjak naik. Pernah ada yang berkata, dewasa itu menyakitkan. Tapi, aku berpendapat tidak. Yang menyakitkan adalah menjadi tua tapi tidak beranjak dewasa.
Sebuah ungkapan yang teramata sering terlansir dalam social media, buku-buku para filosofih, dan kali ini sebuah pesan di ponselku. Pada pagi, yang mulai berkata, “Mari menyapa pagi” yang seperti menggumam pada rindu yang tidak pernah di entaskan. Sehingga rindu itu terus bergelayut mesra dalam benakku saat mendekap erat ponsel itu, usai mendapat pesan.
Dan pada senjanya, kala banyak para penyair menggunakan senja untuk membuat sendu puisinya, kala senja yang selalu berbeda setiap harinya, seperti ada yang bilang, kita tidak mungkin menemukan senja yang sama setiap harinya. Maka jika, kau amati senja setiap hari, dia akan berkata padamu lirih, bahwa usiamu juga beranjak senja. Sadarkah kau, menanti senja sama seperti menanti kematian. Karena setiap senja, memberikan bel berdering keras, bahwa waktumu sudah berakhir hari ini.
Dan di senja ini, aku melupakan soal waktu yang kuhabiskan untuk apa. Melupakan detik yang tidak pernah sempat ku hitung, padahal aku telah melahapnya di setiap helaan nafasku. Aku kembali melihat pesan di ponselku. Pesan yang aku terima pagi ini. Tentang dewasa dan menjadi tua.
Kembali rindu mulai menjalar hati parau, saat melihat pesan di ponselku.
Duren Sawit, 30 November 2013
Menjelang angka 32.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H