Bangun pagi saya disegarkan dengan aroma hujan yang menyejukkan. Palangka Raya akhirnya diguyur hujan. Udara pagi yang biasanya hangat telah diganti dengan udara dingin meski tak sampai menusuk tulang. Saya bersyukur sekaligus khawatir dengan turunnya hujan ini.
Hujan adalah anugerah. Dengan turunnya hujan kehidupan berputar kembali. Pohon dan tanaman yang sebelumnya merana kekeringan bisa tumbuh hijau kembali. Sungai kecil dan parit terisi air lagi. Salah satu "keajaiban" di Palangka Raya adalah sebuah parit yang telah kering, ketika hujan akan terisi ikan, minimal ikan gabus. Jadi jangan heran ketika anda berjalan-jalan di sekitar kota Palangka Raya melihat banyak pemancing dadakan di selokan pinggir jalan.
Selain sebagai sumber kehidupan, jumlah air yang banyak ini juga melegakan karena ini berarti tidak ada lagi kabut asap. Mungkin kawan-kawan telah melihat di media beberapa bulan belakangan ini kalau kami di Palangka Raya mencoba bertahan dari serangan kabut asap. Kabut asap di Palangka Raya bukanlah bencana alam, karena semuanya akibat perbuatan manusia.
Sedikit mengenang bulan mencekam tersebut, ada satu hari dimana jarak pandang kami tidak lebih dari sepuluh meter. Sulitnya menghadapi kabut asap adalah asap tersebut telah menyatu dengan oksigen yang kami hirup. Butuh biaya yang besar dan teknologi tinggi untuk memisahkannya, sesuatu yang tidak bisa dimiliki semua orang di Palangka Raya.
Bagi kota Palangka Raya, setidaknya menurut saya, hujan juga membawa sebuah ancaman. Topografi kota yang relatif datar dikombinasikan dengan sistem drainase yang buruk dengan cepat membuat genangan air di berbagai sudut kota. Hujan deras selama dua jam sudah cukup membuat banjir di Jalan Protokol. Mungkin pemandangan seperti itu bukanlah hal baru bagi kawan-kawan yang tinggal di Jakarta.
Dengan turunnya hujan di pagi hari saya sudah bisa membayangkan titik-titik banjir di penjuru kota Palangka Raya. Namun untungnya tidak seperti Jakarta Hujan dan Banjir di Palangka Raya tidak dibarengi kemacetan yang menggeramkan hati. Di wilayah kota pun genangan tidak berlangsung lama, paling satu hari sudah surut. Karena berasal dari Peradaban Sungai sebagian masyarakat pun telah beradaptasi dengan membuat rumah panggung, jadi meskipun halamannya tergenang air, rumah masih aman.
Mungkin Pak Karno sebagai perancang kota ini lupa memperhitungkan penambahan jumlah penduduk dan lemahnya pengawasan dalam merancang Kota Palangka Raya. Meski saya bukan ahli tapi saya lihat banyak sistem Drainase yang tampaknya tidak sesuai atau bahkan telah tertutup tanah dan lumpur. Hal tersebut tentu akan mengganggu kinerjanya. Sektor perumahan yang berkembang pesat lima tahun belakangan ini pun tampaknya tidak terlalu peduli akan Drainase yang terkoneksi dengan "Grand Desaind" pemerintah Kota. Karena seperti yang tampak pada Perumahan yang saya tempati, parit di depan rumah lebih rendah daripada "Sistem Pengeringan" yang dibuat oleh Pemda.
Saya tidak punya solusi untuk masalah ini selain berharap pemerintah Kota Palangka Raya mau Turun Tangan melindungi warganya.
Mungkin Ahmad Dani benar kalau Hidup adalah perjuangan tanpa henti, karena setelah menghadapi kabut asap kami harus menghadapi banjir.
Tapi setidaknya hidup jadi lebih menarik karena "Life is Never Flat", kata Agnez.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H