"Aku hanya bisa meminta maaf, aku terpaksa menetap di negeri ini karena aku mendapatkan penghidupan dengan hidup layak. Sudah beberapa kali aku hendak pulang untuk menemuimu, namun semua pekerjaan ini tidak bisa aku tinggal."
"Apa pentingnya semua penghidupan dengan satu-satunya anak yang kau punya! Tahukah kau, berbagai lautan sudah ku arungi hanya untuk mencarimu!"Â
"Kau boleh mengutukku, Nak. Aku hanya bisa meminta maaf kepadamu. Sudihkah kau tinggal bersamaku, nak? Kita mulai kembali waktu yang telah hilang." sorot matanya yang tidak pernah aku lupa selalu meyakikanku.Â
Percakapan yang dimulai dengan penuh amarah hingga akhirnya terasa haru dan sendu. Pertemuan yang sudah kami nantikan belasan tahun akhirnya tiba.
"Aku memaafkanmu. Kau tetaplah ayahku, aku tetap menyayangimu. Aku sudah mencarimu beberapa tahun."
"Terima kasih, Nak. Selesaikanlah lukisan untuk Tuan Frederic. Setelah itu kita pulang bersamaku."
"Baik Ayah, tapi biarkan aku menjemlut rekanmu Si Pemabuk itu agar tinggal bersama kita"
"Mungkinkah, kau bertemu dengannya? Ajaklah dia, sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan pria itu."
"Baik, ayah."
Akupun menyelesaikan lukisan untuk Tuan Frederic. Lalu, kami menuju rumahku dan menjemput Si Pemabuk. Betapa terkejutnya Ia bertemu dengan ayahku di persimpangan jalan dekat percetakan tempat Ia bekerja. Kami pun pada akhirnya tinggal bersama-sama di Hindia Belanda. Beberapa tahun berikutnya, kami berlayar ke negeri kami Perancis hingga tiba di pelabuhan Marseille dan memulai kembali kehidupan kami dengan bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H