Dengan langkah pasti, aku memulai pencarian tanpa seorangpun rekan yang menemaniku. Sepanjang perjalanan berbaris gedung-gedung bergaya Eropa yang berdiri kokoh di Batavia. Begitupula konstruksi bangunan toko-toko Tionghoa yang sedang dibangun oleh  beberapa pribumi. Lalu, terlihat sebuah losmen yang orang-orang mengatakan bahwa rumah itu adalah rumah plesiran. Tidak terlihat aktifitas sedikitpun pada rumah itu, mungkin karena hanya buka pada malam hari.
Entah, hingga kapan pencarianku membuahkan hasil. Aku kembali ke losmen yang aku sewa bersama Si Pemabuk itu dengan membawa beberapa makanan untukku makan bersamanya. Uang kami semakin menipis, aku memutuskan untuk bekerja sebagai pelukis walaupun tidak begitu bagus karena kemampuanku hanya berupa kecapakan bahari yang diajarkan oleh Paman Adhelard kala itu.
Beberapa pesanan lukisan dari totok Belanda mulai aku geluti. Sementara itu, Si Pemabuk dengan bermodalkan baca tulisnya mulai bekerja pada salah satu percetakan milik Belanda. Hidup kami semakin membaik dengan memiliki rumah hunian pribadi di negeri kolonial ini beberapa bulan selanjutnya.Â
Suatu ketika, seseorang pria Indo datang kepadaku hendak meminta melukiskan tuannya. Aku dijemput dengan dokar pribadi miliknya, kami menuju sebuah daerah yang aku ketahui setelah meninggalkan Batavia bernama Buitenzorg dengan hutan yang masih menyelimuti daerah tersebut. Hari itu hujan turun sangat deras. Sesampainya dirumah Tuan itu, aku mulai terkesima karena betapa indahnya rumah putih bergaya Eropa dengan taman yang tak begitu luas namun tetap menambah keindahan.
Aku dipersilahkan masuk dengan sangat sopan oleh nyonya pemilik rumah. Seisi rumah sudah aku perhatikan sejak pertama kali masuk. Sayangnya Tuan itu sedang pergi keluar, dan memaksaku untuk menunggunya cukup lama. Beberapa karya seni dari Perancis memenuhi seisi rumah. Akupun terkejut karena nyonya itu menggunakan bahasa perancis dengan cukup baik kepadaku.
Beberapa jam telah berlalu, kereta kuda tiba dan mengakhiri penantian panjangku. Beberapa totok Eropa memasuki rumah dengan keriuhan dan pekatnya asap tembakau. Nyonya itu, mempersilahkan mereka masuk dan aku mulai berdiri untuk memberi tabik pada mereka. Beberapa orang memulai percakapan dengan memuji karyaku termasuk Tuan pemilik rumah tersebut. Namun, salah seseorang dari totok Eropa tersebut berjalan perlahan kearahku dengan mata yang menembus penglihatanku.
Pria itu cukup tua dengan jenggot tebal yang memenuhi wajahnya. Cerutu yang Ia hisap sebelumnya terjatuh tanpa Ia sadari, lengannya gemetar tak kunjung henti. Tanpa sepatah katapun, Ia memeluk tubuhku dengan sangat erat bersama air mata yang membasahi tubuhku. Aku terdiam seketika tanpa tahu apa yang harus kuperbuat kepadanya. Seisi rumah termasuk Tuan dan Nyonya pemilik rumah itu terdiam dengan airmuka penuh haru. Setelah beberapa saat, beberapa ucapan dari Pria itu samar-samar terdengar olehku.
"Maafkan aku, Nak." terdengar suara pria itu secara perlahan.
"Aku tidak mengerti semua ini, apa kau ayahku?"Â
"Lupa kau kepadaku, nak? Lupa kau pada orang yang selalu menemani masa kecilmu?"
"Benar kau ayahku? Aku sudah mencarimu cukup lama! Bencikah kau kepadaku, ayah? Kau membiarkan aku menunggu lama sendiri di pelabuhan kala itu. Apa kau sudah tidak mau menemui anakmu ini?" ucapku dengan penuh amarah dan air mata yang sudah tak terbendung.