Mohon tunggu...
Banyu
Banyu Mohon Tunggu... Seniman - Eksplorasi Rasa

Writing for happy ending

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Diakhir Hayat

14 Agustus 2015   01:32 Diperbarui: 30 Maret 2019   05:59 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari telah larut, kumandang isya telah terlantun lama ketika di bagian kecil desa itu, disebuah rumah yang berhiaskan lampu – lampu neon yang temaram tenang itu di datangi satu demi satu tetangga maupun kerabat yang seolah tergesa – gesa ingin masuk kedalam rumah sederhana itu. apalah gerangan terjadi dirumah itu ? adakan sesuatu hal yang mengusik warga dari rumah itu ? ah, bukanlah demikian adanya. 

Beberapa orang ibu – ibu yang tak lebih dari empat orang bergerombol di depan rumah itu, di dalam sepertinya sudah tak ada tempat lagi. Mereka terlihat serius sambil berbisik – bisik pelan dengan ekspresi yang sangat aneh, antara keheranan, penasaran, atau mungkin rupa-rupa perumpi tepatnya. Sekilas terdengar percakapan mereka

“Makin parah sepertinya” kata seorang ibu - ibu

“iya ya Bu, Mungkin sudah waktunya kali”sahut seorang ibu – ibu pendek disampingnya

“aduh Bu, jangan ngomong yang tidak –tidak” ibu – ibu satunya

Ya begitulah sekilas, dan di beberapa tempat di dalam kasak – kusuk juga tak henti hentinya terdengar di sudut rumah itu. Ternyata sumber dari segala kasak kusuk yang jadi di dalam rumah itu adalah seorang nenek tua yang sedang terbaring lemah di kamarnya. Namanya Surati.Dikamar itu ia tidaklah sendiri, di sekelilingnya nampak banyak ibu – ibu yang mengelilingi tempat tidurnya. Ada yang berdiri dan ada yang duduk khidmat. Muka mereka semua seoalah berpadu untuk menampakkan keprihatinan melihat sosok nenek tua yang mungkin sedang berjuang dengan hidupnya. Berjuang dalam bilik kehidupan bersamping dengan pintu keabadian yang mendekat. Disamping nenek itu terlihat seorang dokter pria muda bersama seorang lelaki berusia 40han yang bersimpuh disamping nenek itu. itulah Pak Alim, anak bu surati. Muka lelaki itu berkalut duka, air matanya mengalir terus seiring dengan kalimat – kalimat doa yang ia lantunkan tak henti – hentinya.

Sang nenek hanya diam saja namun nafasnya terlihat berat dan tersengal – sengal. Dadanya naik turun seiring dengan usaha menarik udara masuk kedalam paru – parunya. Matanya masih terbuka memandang lurus keatas dinding kamar, ia masih sadar namun seluruh badan sungguh terasa berat dan tak mau digerakkan. Lunglai tak berdaya di atas dipan. Beberapa saat kemudian terlihat, ia dengan lirikan pelan matanya mencoba memandangi orang – orang yang berada di dalam kamar itu. satu per satu dipandanginya. Ia kenal mereka semua. mereka semua adalah para tetangga, cucu serta sanak keluarganya.

Dan tiba tiba entah apa yang terjadi pendengaranya seperti mendengar dengkingan panjang yang aneh dan tiba – tiba ia tidak bisa mendengarkan apapun dan seperti tertarik kebelakang oleh waktu, ingatanya kembali 25 tahun yang lalu. Dilihatnya dirinya yang sedang duduk anggun di belakang bendi bersama suaminya tercinta, Pak Darno beserta kedua anaknya Alim dan Nurti yang masih berusia belasan. Bendi itu akan mengantarkan mereka ke rumah baru, rumah yang begitu di idam – idamkan olehnya, rumah hasil kerja kerasnya selama lima belas tahun menjadi juragan tanah di desa tersebut. Dan kebetulah hari itu adalah tahun ke 15 usia pernikahannya. Ia mengadakan hajat besar syukuran di rumah baru itu. seluruh warga desa diundang dan terhitung ada tiga sapi yang di sembelih untuk mengadakan hajatan. sungguh suatu bentuk pagelaran kemakmuran bagi ukuran warga di desa kala itu. Ia sungguh gembira bagaikan seorang yang teramat penting, disambut banyak orang orang yang sudah berjejer rapi menghadiri pesta hajatan didepan rumah besar baru tersebut.

“Selamat ya Yu, selamat ya Mbok Dhe, selamat ya Mbak” berbagai ucapan membanjirinya

Sungguh gagah memang rumah barunya itu, sebuah rumah kayu bergaya jawa klasik yang nampak megah dengan tiang – tiang kayu jati nan kokoh berhias dengan ukiran – ukiran jepara yang tiada duanya. Sungguh wajah kepuasan dan kebanggaan nampak di wajahnya kala itu. sebuah pencapaian yang luar biasa dimasanya. Namun mengapa tiba – tiba rumah yang dilihatnya itu kabur dan lama lama menjadi gelap dan berubah kembali seperti semula, wajah – wajah haru yang mengelilinginya. Sungguh apakah ini sebenarnya, manakah ini yang nyata, mengapa ia berlalu cepat.

“Mak, cepat sembuh Mak” seru Pak alim dengan suara serak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun