Tak berselang lama ia merasakan bahwa salah satu tangannya dipengang oleh seseorang, genggaman itu dikenalinya, genggaman dari anak laki – lakinya yang bersimpuh disamping dari tadi. Laki – laki itu menaruh kepala diatas genggaman tangan ibunya. sang ibu yang dalam ketidakberdayaan masih bisa merasakan bulir – bulir air mata hangat jatuh di genggaman tangan itu. Dadanya tiba - tiba bergemuruh, muka sang nenek tiba – tiba mengkerut seperti orang yang hendak menangis namun wajah itu itu terlihat janggal yang terlihat hanya matanya yang kian menyipit dan muncul rembesan – rembesan kecil di pelupuknya membentuk aliran kecil.
Kemudian teringatlah ia akan segala tindak budi kepada kedua anaknya, Alim dan Nurti di tahun tahun yang telah berlalu lama. Sungguhlah penyesalan yang teramat berat dirasainya saat ini jikalau mengingat itu. Ingatlah ia bayang – bayang dirinya yang sedang memaki – maki Alim. Kala ituAlim datang menanyakan kejelasan akan tanah yang ditinggalinya kala itu. Alim hanya bertanya karena ia mendengar dari istri barunya bahwa Nurti ( saudaranya ) telah dibagi atas hak tanah rumahnya, bahkan Nurti mendapat 25 persen lebih banyak termasuk rumah itama milik ibunya.
“mak, katanya si nurti baru saja balik nama sertifikat rumah ini ya Mak ?”
“Ia lim, kenapa ?” jawab Bu Surati
“Oh, ya syukurlah mak. Saya hanya ingin nanya tanah rumah saya itu mak, gimana itu kapan sertifikatnya bisa saya pegang sendiri ? terus tanah yang di tegal itu jadinya milik nurti semua ya mak"
“kamu ini gimana to Lim, masih syukur – syukur kamu masih tak beri tanah buat didirikan rumah, sertifikat mah biar aku saja yang bawa”jawab bu surati
“Saya hanya pingin kejelasannya mak, tak ada maksud lain – lain”
“Alah Lim, wes wes. Kapan – kapan saja. Kamu ini dari dulu selalu sewot dengan apa yang mak lakuin, dari duru selalu ngeyel ( membantah )”
“Tapi Mak, biar jelas. Saya iklas kok Nurti mak kasih jatah lebih banyak dari saya. Saya Cuma ingin kejelasan dari rumah saya itu mak”
“Ealah, kamu ini emang ngga bisa dibilangin yaa Lim, sudah dewasa sudah beristri masih ae tak punya sopan santun sama orang tua. Sana – sana mak mau ketemu pakdemu di pasar Jati” usir Bu surati kepada Alim kala itu
Pak Alim kala itu hanya pasrah dan sungguh heran dengan peringai ibunya yang selama ini selalu membedakan perlakuan dengan adik perempuannya, Nurti. Sejak kecil Nurti selalu dituruti segala keinginannya, sedangkan alif tak dianggap. Ia hanyalah selalu mendapat jatah sisa. Bahkan rumah megah milik ibunya itupun sudah diatas namakan kepada Nurti. Dan mungkin karena selalu dituruti dan paling dipilih kasih sama ibunya inilah yang menjadikan Nurti berani dengan ibunya itu suatu saat.