Mohon tunggu...
Yuki
Yuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

simple life, big dreams

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Harmoni “Sang Penakluk Ombak”

10 Agustus 2011   09:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:55 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Bukan Resensi

Baru satu bab mengkhatamkan “Sang Penakluk Ombak,” novel yang ditulis oleh Pak Boy (Pradana Boy ZTF) hatiku tergelitik untuk menulis juga. Mungkin karena setting cerita yang membuatku berkelana ke belantara masa lalu. Ya, bab pertama dalam novel ini mengingatkanku pada sebuah desa yang menjadi saksi pecahnya tangisan pertamaku dan perjalanan hidupku selama satu setengah dekade. Kondisi geografis desa Banjar melati yang menjadi setting cerita dalam novel ini tak jauh berbeda dengan kondisi desaku, sebuah desa di  pesisir Malang selatan. Aku menjulukinya sebagai “Desa Penghasil Devisa” karena hampir seluruh pemuda dan pemudi usia produktif memilih jalan menjadi pahlawan penghasil devisa. Setidaknya  menurut pengamatanku begitu.

Ingatanku akan masa lalu tersulut manakala bibir ini mengeja sebentuk kata yang tak lain adalah nama buah yang memiliki nilai history bagiku, yaitu “DUWET” atau kalau di Malang ada juga yang menyebutnya juwet.

Mungkin, kebanyakan orang berpendapat bahwa tidak ada yang istimewa dengan buah ini, bahkan sebagian besar orang kota tidak mengenalnya. Tapi bagiku buah ini sangat istimewa karena  mengingatkanku pada keceriaan anak-anak desa yang belum mengenal dunia dengan segala carut-marutnya. Adalah kebiasaanku dan teman-teman sebayaku ketika musim juwet, kami beramai-ramai “memanen juwet orang.” Di desaku, Juwet bukanlah buah yang memiliki nilai komersil, jadi pemilik pohon juwet tidak pernah keberatan asalkan tidak mengotori halaman. Tapi bukan di situ letak masalahnya, melainkan pada tekstur buahnya yang lunak dan berwarna merah keunguan seperti anggur. Tak ayal tangan, lidah dan baju seragam  sekolah kami jadi belepotan warna ungu hingga kami harus mengarang seribu satu cerita agar tidak kena seruduk tanduk para orang tua di rumah ( '^_^ ' ). Beruntung aku tinggal bersama nenek, dimana-mana yang namanya nenek selalu lebih mudah dikelabuhi ( "^_^’' ).

Ah, aku rindu desa itu, desa penghasil devisa yang tergilas arus pembangunan. Kontradiktif memang. Desa yang terus berdenyut dengan nadi kesahajaannya, desa yang seolah-olah tak pernah peduli meski di anggap tidak ada oleh para penguasanya. Ya, desa ini telah berpindah menjadi bagian dari kecamatan Gedangan meskipun secara geografis lebih dekat dengan kecamatan Bantur. Desa yang menjadi tidak penting diantara kepentingan-kepentingan para pejabat level c***t. Desa yang seolah-olah miskin, padahal menurutku kaya dengan berbagai potensi. Melihat desa ini tak ubahnya melihat miniatur Indonesia (*mulai deh alay…).

Sudahlah, membahas masalah begini, otak menjadi buntu. Lebih baik aku teruskan saja baca novelnya ^_^.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun