Rusia di awal tahun sempat mengalami kegalauan perekonomian imbas dari merosotnya harga minyak dunia. Peristiwa itu tentunya mengingatkan saya tentang peristiwa OIL GLUT yang terjadi pada tahun 80 an.
Peristiwa “Oil Glut” atau banjir minyak 1980-an adalah peristiwa dimana terjadi kelebihan jumlah minyak mentah pada 1980-an yang disebabkan oleh menurunnya permintaan setelah Krisis Energi 1970-an. Pada tahun 1980, harga minyak dunia sempat menyetuh level tertingginya dengan harga US$35 per barrel. Dalam kurun waktu 6 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1986, harga minyak dunia ini jatuh hingga berada di bawah US$10 per barrel. Peristiwa “Oil Glut” ini merupakan imbas dari melambatnya aktivitas perekonomian di negara-negara industri, dimana mayoritas dari negara industri ini mengalami krisis energi pada tahun 1973 dan 1979.
Pada Juni 1981, The New York Times menulis “Banjir Minyak sedang terjadi” sebagai headlinenya. Oleh CEO Exxon Corp istilah ini dinilai cukup berlebihan, karena surplus minyak ini hanya bersifat sementara.n Ia menyatakan bahwa penyebab utama banjir minyak ini adalah menurunnya tingkat konsumsi minyak di seluruh dunia. Di Amerika, Eropa dan Jepang, konsumsi minyak menurun 13% dari 1979 hingga 1981. Hal ini merupakan reaksi dari kenaikan harga minyak yang sangat besar yang diterapkan oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) dan eksportir minyak lainnya dimana kenaikan harga minyak ini sudah dimulai sejak tahun 1973. Setelah tahun 1980, permintaan terhadap minyak semakin berkurang sedangkan tingkat produksi minyak cenderung melimpah dan membanjiri pasar dunia. Hal inilah yang menyebabkan turunnya harga minyak dunia yang mencapai puncaknya pada 1986 dengan penurunan harga sebesar 46 persen.
Turunnya harga minyak dunia pada tahun 1986 merupakan suatu keuntungan bagi negara-negara konsumen seperti Amerika, Jepang, Eropa dan negara lainnya. Akan tetapi para negara produsen yang menggantungkan hidupnya dari minyak seperti Uni Soviet dan negara-negara OPEC menjadi kalang kabut untuk menanggulangi kerugian dari jatuhnya harga minyak ini. Majalah Time, pada tahun 1981, menulis bahwa banjir minyak mentah ini disebabkan oleh diperketatnya anggaran pembangunan di beberapa negara pengekspor minyak. Beberapa negara miskin yang menggantungkan hidupnya pada minyak seperti Meksiko, Nigeria, Aljazair, dan Libya cenderung gagal menanggulangi permasalahan ini. Perekonomian negara-negara eksportir minyak tersebut yang perekonomiannya berkembang sepanjang 1970-an berada diambang kebangkrutan. Bahkan kekuatan ekonomi seperti Arab Saudi secara signifikan melemah akibat penurunan harga minyak.
Uni Soviet yang telah menjadi produsen minyak selama puluhan tahun juga mengalami imbas dari penurunan harga minyak dunia ini, dimana krisis tersebut cukup berkontribusi terhadap keruntuhan negara ini. Di Amerika, eksplorasi minyak di dalam negeri mengalami penurunan drastis dimana jumlah pengeboran aktif menurun hampir setengah pada tahun 1982. Produsen-produsen minyak kembali mencari ladang minyak baru karena takut kehilangan investasi mereka. Houston dan New Orleans merupakan kota-kota di Amerika yang mengalami pertumbuhan pesat ketika harga minyak tinggi mengalami resesi yang cukup parah karena imbas turunnya harga minyak dunia.
Sebagai kesimpulan, saya merasa bahwa apa yang terjadi pada periode akhir-akhir ini hampir sama dengan yang terjadi pada periode 1980-an. Harga minyak dunia sekarang berada dikisaran US$60-an per barrel setelah sebelumnya berada pada harga US$100 per barrel dan sempat menyentuh titik terendah di US$43 per barrel.
Lalu harus bagaimana yah teman?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H