Nenek Aminah, demikian Ia sering disapa. Setelah pensiun dari BAPPEDA Propinsi Sultra, bersama suaminya, Ia memilih menetap di pondok kecil samping Masjid At-Taqwa Sodohoa. Baginya, merawat rumah Tuhan dan membuat nyaman para jamaah tidak saja untuk mendapat tambahan pahala. Tapi sebagai cara terbaik menjalani sisa usia. Ia tidak saja membersihkan masjid dua lantai atau mencuci mukenah dan sajadah-sajadah, tetapi juga memastikan ketersediaan air wudhu dan air di kamar kecil. Selain itu, Nenek Aminah juga menanam dan merawat ragam bunga. “Biar masjid kita semakin indah,” kataya. Di Kendari bahkan di seluruh Sulawesi Tenggara, sosok seperti Nenek Aminah bisa dihitung jari. Kalaupun ada, masa pengabdian mereka terhadap masjid sulit menyamai sang nenek.
Di suatu sore, kira-kira 10 tahun silam, saya pernah bertanya, “Nek, sampai kapan mau ngurusin masjid?” Ia tak langsung menjawab saya, tapi tersenyum lebih dulu. Ciri khas ini yang Ia tularkan kepada kami, remaja masjid, untuk selalu membiasakan tersenyum kepada siapa saja dan pada situasi apapun. Saya lalu melabeli ciri ini dengan sebutan, the power of a smile. Siapa saja yang mengerti dan memahami kekuatan ini, maka Insya Allah wajahnya akan selalu tampak riang, bening, dan cerah. Hatinya akan terasa lebih damai. Langkahpun terasa ringan. Bagi orang sekitar, tak lebay lah bila mereka berujar, “Saya nyaman berada di samping setiap orang yang tersenyum.”
Pernah saya mencoba menghitung matematis pendapatan sang Nenek per bulan. Pendapatannya bersumber dari gaji pensiun PNS golongan rendah, dana kemakmuran masjid, dan dari anak-cucunya serta para jamaah. Sumbernya lumayan banyak, tapi jangan tanya tentang jumlahnya; sedikit dan tidak menentu. Tapi subhanallah, dengan jumlah matematis seperti itu, selama tiga tahun kami bersama sang Nenek di masjid, tak pernah sekalipun Ia menunjukkan wajah masam. Tak ada raut kesusahan, tak pernah ada kata, “Nak Amar, dapur tak berasap dulu hari ini”. Yang ada adalah kata, “Nak, harta itu bukan soal jumlah, tapi berkah. Meski kita kurang harta, mari tetap member.” Masya Allah!!!
“Nenek akan meninggalkan masjid ini bila Saya dipanggil pulang oleh Gusti Allah, Nak. Suami Nenek sebelum meninggal berpesan untuk tidak meninggalkan rumah tuhan ini sebelum Nenek juga menyusul suami”. Again, Sang Nenek mengajarkan kami tentang keteguhan sikap dalam menjaga amanah dan kesetiaan seorang istri kepada suami. Wahai para istri, masihkan kalian meminta ijin kepada suami sebelum keluar rumah? Mengapa masih berani berdusta dan khianat atas nama kebebasan berekspresi, di luar rumah?
Waktu terus berlalu. Kira-kira di awal 2008 Masjid diperluas, kian dibuat anggun. Pondok Nenek Aminah terpaksa dirobohkan. Tapi alhamdulilah, pengurus masjid mengizinkan Nenek menempati satu ruangan kecil di antara tempat wudhu dan menara masjid. Bakti sosial-religinya terus berlanjut. Di tahun itu, saya meminta ijin untuk meninggalkan Nenek sebab mesti sekolah lagi.
Tahun berganti, ramadhan demi ramadhan berlalu, dua Aidil pun begitu. Beliau tetap di masjid, untuk masjid dan para jamaah. Sepulang dari Belanda, saya tak lagi menetap bersama beliau. Tapi alhamdulilah, saya masih bisa menyempatkan diri menyapanya, menyicip masakannya termasuk sambal khas Nenek yang uenakkkk tenannnnn.
---------------------
Kira-kira dua atau tiga hari sebelum saya melawat ke Inggris di awal September 2013, saya menyempatkan diri menemui beliau. Seperti biasa, setiap ada yang hendak saya lakukan, saya terlebih dulu menemuinya, meminta restunya. Tapi kali ini saya tak lagi berjumpa dengannnya di area masjid. Oleh keluarganya, Nenek dipapah pulang ke rumah anak bungsunya. Jaraknya kira-kira 10 meter saja dari area masjid. Bayangkan! Ia rela untuk tidak menikmati zona “nyaman” bersama anak dan cucu-cucunya hanya untuk tetap bisa dekat dengan rumah Tuhan. Beliau tidak ingin menjadi beban bagi orang lain, bahkan kepada keluarganya sekalipun. Beliau mandiri dan merasa merdeka dengan kesederhanaannya.
Badannya telentang kurus di atas kasur. Tapi wajahnya subhanallah, bersih. Matanya masih jernih meski pandangannya sudah terbatas. Tapi yang paling istimewa, She still recognize me!
“Nek, dua hari lagi saya ke Inggris. Di sana saya akan bertemu Pangeran Charles. Mohon doa restu Nenek ya”. Beliau cepat merespon dengan menyebut lafadz, “Alhamdulilah. Selamat Nak Amar. Kamu tahu, Nenek selalu mendoakan kamu”. Bulir-bulir air matanya tiba-tiba menetes…
Dada saya sontak sesak sebab baru kali ini saya tahu bila ternyata selalu ada doa buat saya. “Ya Allah, terima kasih untuk selalu mendekatkan saya dengan orang-orang yang penuh dengan cinta, yang sabar juga ikhlas.”
“Nenek gak usah berwudhu, tayamum saja ya”, lanjutku. “Iyami Nak Amar. Nenek juga cuma bisa sholat sambil baring saja. Sudah tidak bisa duduk”.
------------------
Allaahu akbar.. Allaahu akbar.. Allaahu akbar.....
Laa - ilaaha - illallaahu wallaahu akbar.
Allaahu akbar walillaahil - hamd.
15 Oktober 2013.
Selepas sholat Ied Adha di Masjid At-Taqwa Sodohoa, saya mengajak serta Ustadz Zainul Giat, Imam Sholat Ied untuk menjenguk Nenek Aminah. Di dalam kamar kecil, beliau tetap terbaring. Tapi kondisinya semakin menurun, semakin kurus. Tulang-tulangnya semakin jelas terlihat, termasuk tengkorak kepalanya. Matanya juga tertutup.
“Assalamualaikum. Nek, apa kabar? Ini Amar nek”. Mendengar suara saya, pelan-pelan Ia membuka matanya dan subhanallah, beliau berusaha untuk tersenyum meski saya tahu itu susah sekali baginya. “Nak Amar”, jawabnya pelan. Mulutnya sudah tidak bisa terbuka sempurna. Saya lalu memegang dan menguap-ngusap lengannya yang tersisa tulang dibalut kulit tipis.
“Nenek sholat pake isyarat saja ya.” Beliau menatap saya sambil mengangguk pelan, pelan sekali. Saya yakin bila beliau mengamini kata saya.
Selepas lima menit, saya dan ustadz Zain pamit. “Nak Amar, Tuhan balas ya Nak”
Dalam perjalanan pulang, hati saya berkata, “Nek, padahal tadi saya mau curhat lagi. Masih tentang jodoh dan jodoh. Pengen banget nyebut namanya di depan Nenek. Malu Nek, kalau-kalau saya dah menyebut namanya, tapi gagal maning, gagal maning. Belakangan ini saya merasa Ia cenderung menjauhi saya. Mungkin memang belum jodoh lagi ya Nek”. Nenek Aminah pernah berpesan, “Nak Amar kalau mau nyari istri, nyari yang agamanya kuat nak. Jangan nikahi wanita hanya karena dia itu cantik atau kaya sebab biasanya yang begitu itu palsu. Cari yang sehati, bisa nerima Nak Amar apa adanya dan mau berbagi kekurangan.”
Satu lagi, “nyari jodoh di masjid, jangan di pasar.” Alamakkkk Nek, masjid isinya kebanyakan nenek-nenek. Cewek-cewek hanya datang untuk taraweh di awal-awal ramadhan saja. Saat itu, mana cukup waktu buat saya untuk lirik-lirik. Posisi saya lebih banyak di belakang mimbar Nek, jaga sound system. You know that.
-------------------
Pukul 19.30 WITA, 16 Oktober 2013. Saya masih di kantor FOCIL bersama Pak Yamin dan Juragan Mul. Kami sibuk membolak-balik koran lokal, mencari beberapa opsi tempat tinggal bagi tamu kami, Ibu Cecile dan Brian suaminya. Pak Yamin sedang menelpon calon vendor saat Aco, salah seorang santri saya menelpon. “Kak, Nenek Aminah meninggal sore tadi pukul 5”.
Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun. Qadr Allahu wa Masha Fa'al.
Saya hanya bisa terdiam, sejenak mematung. Ya Allah, sungguh kematian itu amat dekat, kematian yang memutus segala nikmat keduniaan. Setiap yang hidup pasti akan merasakan kematian. Mari bersiap sebab ini sudah sunnatullah.
------------
17 Oktober 2013. Pukul 12.30 siang. Allahu Akbar. Kami ikut menyalati jenazah nenek. Setelah takbir kempat, imam sejenak diam berdiri lalu mengucapkan satu kali salam dengan tidak keras seraya menoleh ke arah kanan.
Keranda itu lalu diangkut pergi. Ngiung ngiung ngiung ngiung….
Pukul 1 siang lewat beberapa menit. Saya berdiri tepat di samping liang lahat. Jasad Nenek Aminah perlahan diturunkan, dimasukkan ke liang lahat. Tak lama berselang, Ia ditimbun dengan tanah, kembali ke asalnya.
Nek, terima kasih telah berbagi keceriaan hidup bersama saya. Terima kasih telah mengajarkan saya kesederhanaan, kesabaran dan juga konsistensi beribadah kepada Allah SWT. Terima kasih untuk setiap senyum tulus yang engkau lemparkan ke saya, sesuatu yang kemudian banyak membantu saya dalam membungkus kesedihan-kesedihan saya. Tak hanya itu Nek, your power of smiling sungguh menginspirasi saya dalam memediasi konflik apapun. Dari rebutan lahan mancing, suksesi kepemimpinan fakultas, hingga cinta segi tiga!
Terima kasih pula telah menunjukkan cara untuk berbagi kebahagiaan kepada siapa saja, tapi pada saat yang sama merasakan kepedihan cukup untuk diri sendiri. Kesedihan itu tidak untuk diumbar.
Terima kasih untuk setiap makanan dan minuman yang engkau suguhkan ke kami. Sambal olekmu seng ada lawan Nek! Terima kasih untuk selalu menguatkan saya ketika saya kembali terfitnah. Terima kasih untuk selalu menyadarkan saya bila harta itu bukan soal jumlah, tapi tentang berkah. Ini yang banyak membuat saya mudah memaafkan orang yang tidak memberi saya sebagaimana harusnya. Terima kasih untuk selalu mengingatkan saya Nek, bahwa jodoh tak lari kemana. YOU ARE MY BEST HERO.
“Ya Allah ampunilah orang yang masih hidup maupun orang yang sudah mati di antara kami, orang yang hadir maupun orang yang tidak hadir di antara kami, orang yang masih kecil maupun orang yang sudah tua di antara kami, yang laki-laki maupun perempuan di antara kami. Ya Allah barangsiapa yang Engkau hidupkan di antara kami maka hidupkanlah ia di atas Islam. Dan barangsiapa yang Engkau wafatkan di antara kami maka wafatkanlah ia di atas iman. Ya Allah jangan Engkau haramkan (halangi) kami dari mendapat pahala (atas musibah kematian)-nya dan jangan Engkau sesatkan kami sepeninggalnya.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H