Mohon tunggu...
Cenruang Alung
Cenruang Alung Mohon Tunggu... Lainnya - Libertas

Even if the skies were shorter than my knees, I would not kneel

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Menakar Nyali sang Jenderal dalam Sengketa Laut Cina Selatan

28 Mei 2024   21:35 Diperbarui: 28 Mei 2024   21:46 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Jalesveva Jayamahe (koleksi pribadi)

Sengketa Laut China Selatan (LCS) senantiasa menjadi isu hangat dalam percaturan kekuasaan geopolitik dunia. Klaim tumpang tindih nine dash line Tiongkok tidak hanya menjadi ancaman kedaulatan negara-negara Asia Tenggara, lebih dari itu konflik LCS merupakan ajang perebutan kekuasaan geopolitik antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Ada kekhawatiran tentang kemungkinan konfrontasi militer karena penempatan sistem pertahanan udara dan rudal oleh Tiongkok di pulau-pulau yang berada di bawah kendalinya di LCS. Untuk melindungi kebebasan navigasi, AS dan sekutunya memperluas kehadiran militer mereka dan melakukan latihan bersama di daerah tersebut sebagai reaksi terhadap hal ini (Ciorciari, 2008). Masalah ini, yang melibatkan beberapa negara dengan klaim wilayah yang tumpang tindih, memiliki konsekuensi penting bagi ekonomi dan keamanan global. Standar internasional dan organisasi regional akan sangat penting dalam mengelola ketegangan dan mencegah eskalasi militer selama penyelesaian konflik melalui diplomasi yang hati-hati dan inisiatif multilateral (Koessetianto et al., 2024).

Sengketa LCS, khususnya di sekitar Kepulauan Natuna Utara, membawa konsekuensi yang cukup besar bagi Indonesia. Akibat pelanggaran kapal-kapal Tiongkok terhadap Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, timbul ketegangan yang membahayakan kedaulatan dan keamanan teritorial Indonesia.

Dengan mengerahkan lebih banyak kapal patroli dan memperkuat kehadiran militernya di Natuna, Indonesia memperkuat pertahanan maritimnya. Perang ini juga berdampak pada perekonomian Indonesia, terutama pada ekstraksi dan pemanfaatan sumber daya alam. Dari sudut pandang diplomatik, Indonesia berusaha untuk mencapai keseimbangan antara menegakkan integritas teritorialnya dan membina hubungan yang positif dengan Tiongkok (Sulaiman, 2019). Indonesia secara aktif berpartisipasi dalam forum-forum regional seperti ASEAN dalam upaya menengahi perselisihan secara damai. Mengingat pentingnya LCS bagi perdagangan internasional dan keamanan Asia Tenggara, stabilitas regional juga menjadi perhatian serius (Waluyo, 2023).

Terkait isu LCS, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi) memiliki perspektif yang berbeda. Di bawah kepemimpinannya dari tahun 2004 hingga 2014, SBY memprioritaskan netralitas dan diplomasi. Selain memprioritaskan peran ASEAN dalam menyelesaikan sengketa melalui Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DoC) dan upaya untuk merealisasikan Code of Conduct (CoC), SBY juga berperan sebagai penengah yang tidak memihak dan mendorong komunikasi antara negara-negara yang bertikai. Selain itu, Indonesia secara aktif berpartisipasi dalam sejumlah forum internasional untuk menggarisbawahi pentingnya keamanan dan stabilitas regional sambil menghindari penggunaan kekuatan.

Sebaliknya, Presiden Jokowi (menjabat sejak 2014) telah mengambil sikap yang lebih tegas terhadap kedaulatan nasional, terutama di perairan Natuna yang berbatasan dengan klaim Tiongkok. Jokowi meningkatkan penegakan hukum maritim, mengambil tindakan tegas terhadap kapal-kapal asing yang melanggar ZEE Indonesia. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal dan mendukung klaim kedaulatan, Kepulauan Natuna juga telah memperkuat kehadiran militer dan infrastruktur mereka. Jokowi telah mempertahankan pendekatan diplomatiknya sambil dengan tegas menentang klaim Tiongkok yang melanggar hukum internasional, khususnya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Selain itu, pemerintahan Jokowi terus mendorong ASEAN untuk menyelesaikan CoC dan berkolaborasi dengan negara-negara kuat lainnya seperti Amerika Serikat dan Jepang untuk menggarisbawahi pentingnya kebebasan navigasi dan keamanan di LCS.

Tahun 2024, Indonesia memiliki Presiden baru, Prabowo Subianto. Seorang tokoh militer dan politik Indonesia yang juga menjabat menjabat sebagai Menteri Pertahanan Indonesia sejak Oktober 2019 dalam kabinet Presiden Joko Widodo. Sebelumnya, ia dikenal sebagai seorang perwira tinggi TNI Angkatan Darat dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal. Sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo fokus pada modernisasi alutsista (alat utama sistem senjata) TNI dan peningkatan kapasitas pertahanan Indonesia. Prabowo juga memainkan peran penting dalam diplomasi pertahanan, memperkuat hubungan militer dengan berbagai negara. Maka sebagai sebagai sosok yang memiliki pengalaman segudang dalam bidang militer dan politik, Sang Jenderal yang sebentar lagi resmi menjadi nahkoda NKRI, konflik LCS ini menjadi ajang untuk menunjukkan seberapa besar nyali bermanuver baik dalam pergerakan militer maupun diplomasi Indonesia terkait konflik tersebut.

Urgensi LCS dalam Percaturan Geopolitik

Karena merupakan jalur pelayaran yang signifikan untuk perdagangan internasional dan kaya akan sumber daya alam termasuk ikan, minyak, dan gas, LCS merupakan wilayah yang penting secara strategis. LCS juga sangat berharga secara militer. Melalui nine dash line, batas yang pertama kali muncul di peta pada tahun 1947, Tiongkok mengklaim hampir seluruh LCS. Klaim ini mencakup sejumlah besar pulau, atol, dan formasi karang yang telah diubah oleh Tiongkok menjadi pulau-pulau buatan yang dilengkapi dengan peralatan militer. Menjelang KTT G20 di India pada 28 Agustus 2023, Kementerian Sumber Daya Alam Tiongkok meluncurkan peta baru yang dikenal sebagai “ten dash line.” Sebagian wilayah Taiwan, India, dan Filipina juga diklaim ketika klaim sembilan garis putus-putus diubah dan satu garis putus-putus ditambahkan di sisi timur Taiwan.

Meskipun tidak memiliki klaim teritorial di LCS, AS dengan tegas menentang klaim Tiongkok, yang sering kali bertentangan dengan klaim Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan, di antara negara-negara terdekat lainnya. Klaim-klaim semacam itu dipandang AS sebagai tantangan terhadap hukum internasional dan prinsip kebebasan navigasi. Amerika Serikat melakukan operasi kebebasan navigasi (FONOP) sebagai tanggapan atas dugaan klaim maritim Tiongkok yang melampaui batas. Klaim Tiongkok, menurut AS dan sekutunya, membatasi akses ke rute laut yang vital dan membahayakan keamanan regional. Sementara itu, Tiongkok menyandarkan klaimnya pada sejarah korespondensi yang panjang serta catatan sejarah yang menunjukkan aktivitas administratif dan eksplorasi di daerah tersebut (Pasaribu & Prakoso, 2023).

Beijing mengabaikan putusan Pengadilan Arbitrase Internasional pada tahun 2016 yang menyatakan bahwa klaim LCS Tiongkok tidak memiliki dukungan hukum. Ketegangan di wilayah ini juga diperburuk oleh kepentingan asing, terutama negara-negara yang perdagangannya bergantung pada jalur laut tersebut. Bersama dengan ASEAN, negara-negara seperti Australia dan Jepang sedang mencari solusi untuk masalah-masalah ini tanpa meningkatkan permusuhan. Cadangan hidrokarbon yang signifikan juga dapat ditemukan di Laut Cina Selatan, yang membuatnya menjadi lokasi yang diinginkan untuk eksplorasi dan pengembangan energi. Negara-negara yang mengklaim wilayah tersebut berupaya mengeksploitasi sumber daya ini, sering kali dengan menentang klaim negara lain atau menghadapi hambatan terhadap operasi mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun