Di gerbang dadamu,
senja sedang mengamuk.
Kesedihanmu bangkit dari
wajah masa kecil. Buram
dan begitu patah. Kadang,
kau ingin pulang ke masa
kecilmu itu. Kampung halaman
di mana kekecewan tak punya
harapan untuk tumbuh dalam
dadamu yang bau pagi.
Kau tak pernah berkhayal,
bahwa air terjun rindu telah
membuatmu begitu tenggelam
ke dasarnya. Kau saat ini sering
dibangunkan oleh kicauan rumput
di belakang rumah. Di mana orang-
orang dari jauh mengusir dingin
dengan kayu bakar kekhawatiran.
Kau memang takut. Tapi bisa
Kauhapus dalam beberapa tahun kemudian.
Kecuali kekecewaan yang menjalar di
tubuhmu saat ini: begitu tajam dan dengan
secara kasar seolah mengatakan,
kau lebih baik menorehkan pisau
ke leher sendiri. Sebab sudah
tak lagi dirindukan.
Kesiur angin, membaca
kekecewaanmu. Maka dia terus
menamparmu dengan kabar-kabar
baik. Bahwa, kata dia, hidup
adalah guguran daun. Siapa saja bisa
terhempas ke tanah. Layu dan
terabaikan. Tapi, dia melanjutkan,
setelah kau berhasil memerangi dirimu
sendiri, mengapa kalah hanya dengan
sebuah kekecewaan?
Kau pun tertawa, dan, sedetik
kemudian, kau melumat semua
nyeri itu dengan meninggalkan
kekecewaanmu. Persis seperti gugur daun;
tapi kau tak terhempas ke tanah,
namun ke langit. Biru dan begitu
laut seperti luas dadamu. Dan kau
pun berlayar ke muara masa depan.
JAKARTA, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H