Berbagai kasus korupsi terjadi di Indonesia. Korupsi yang terjadi di jajaran elit rata-rata memakan anggaran dengan angka miliyar Rupiah untuk setiap kasusnya. Kasus-kasus korupsi yang terjadi bukan hanya dalam hitungan jari, melainkan sudahtak terhitung lagi. Pada tahun 2009 KPK sempat menangani kasus korupsi pengadaan anggaran alat kesehatan di Dinas Kesehatan yang tercatat menimbulkan kerugian Negara sekurang-kurangnya 70 Miliyar Rupiah. Itu hanya satu kasus korupsi di Dinas Kesehatan yang terungkap di tahun 2009, dari sejumlah banyak kasus korupsi lainya di dinas tersebut yang tidak terungkap. Diluar itu, dinas-dinas/ departemen-departemen lain dalam jajaran eksekutif tentunya juga memiliki segudang kasus korupsi tersendiri. Jika satu kasus korupsi dari satu dinas di lembaga Eksekutif saja memakan anggaran Rp 70 Miliyar maka ada berapa banyak anggaran Indonesia yang dikorupsi keseluruhanya jika dihitung di seluruh sektordan departemen dari seluruh lembaga, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, dalam kurun awal reformasi hingga 13 tahun reformasi bergulir ini? Mungkin angka yang akan didapatkan dari perhitungan tersebut dapat mencengangkan dan bahkan kalkulator pun tidak akan mampu menjangkaunya.
Dana yang telah dikorup di negara ini yang jumlahnya sudah tidak terhitung lagi tersebut adalah baru sebagian dari total anggaran yang dimiliki Indonesia. Sering kali bahkan angka-angka yang telah dikorupsi tidak pernah diperhitungkan dalam menganalisis seberapa kaya negara ini, sehingga hanya angka diluar itu saja yang dianggap sebagai kekayaan lancar Indonesia. Kalau di total secara keseluruhan maka kekayaan Indonesia pastilah lebih besar dari itu. Hal ini tidak dapat kita pungkiri meskipun dalam kenyataanya kekayaan tersebut tak mampu menyejahterakan bangsa ini. Akan tetapi harus tetap kita akui bahwa Indonesia itu “kaya” dan kita harus berbangga akan hal ini, karena hanya dengan berbangga memiliki kekayaan tersebutlah rasa derita akan kemelaratan dan kebodohan akan terasa sirna.
Indonesia adalah Negara yang sangat kaya, sehingga logikanya Indonesia harusnya mampu menjalankan operasional Negara dan menyejahterkan masyarakat dengan kekayaan yang dimiliki tanpa harus bergantung pada pinjaman luar negeri. Itu sangat mungkin terjadi, jika rasa miskin dan pesimis tidak melanda bangsa ini. Dan jika pemerintah dapat mengelola dengan baik dan tepat kekayaan Negara. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Selama ini hanya angka-angka defisit yang selalu muncul dalam realita keuangan Indonesia, yang juga telah menimbulkan rasa pesimisme dan rasa miskin. Hal itu pula yang selalu menjadi alasan untuk tidak berani melakukan program-program Negara yang lebih besar dan penting secara mandiri, karena pemerintah dan masyarakat selalu beranggapan bahwa anggaran tidak akan cukup. Akan tetapi alangkah lucunya jika ternyata anggaran yang dianggap defisit tersebut selalu cukup untuk pesta korupsi bermiliyar bahkan triliun angkanya. Bukankah seharusnya dana Indonesia juga cukup untuk menyejahterakan rakyat jika untuk dikorup saja cukup?
Seharusnya pendapatan Negara Indonesia jumlahnya memang besar, akan tetapi dalam kenyataanya jumlah itu menjadi kecil karena banyak yang mengalir ke pos-pos fiktif dan kantong pribadi oknum. Akibatnya dana bersih yang dapat dikelola dan disalurkan demi kepentingan negara hanya yang berjumlah kecil dan yang selalu defisit itu. Kondisi demikian yang terjadi secara terus- menerus dan berulang memunculkan paradigma bahwa dana Indonesia adalah Negara miskin yang tidak dapat menjalankan negaranya tanpa pinjaman LN. Dampak nyata dari hal ini adalah rasa pesimis dan rasa miskin, sehingga tidak percaya lagi pada kemampuan dan kekayaan negara yang dimiliki. Ketidakpercayaan pada kemampuan dan kekayaan negara tersebut yang mendorong terus dilakukanya hutang-hutang ke luar negeri untuk menutup defisit. Padahal jika dipikirkan lebih seksama maka seharusnyajumlah anggaran negara adalah sebesar dana yang telah dikorupsi ditambah dana yang masih aman dari korupsi, yang tentunya lebih banyak dari yang kita perkirakan selama ini. Hitung-hitungan ini hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan kekayaan Indonesia baik yang real maupun yang berupa sumber daya alam yang masih terpendam. Sehingga seharusnya dengan kekayaan sedemikian besarnya Indonesia mampu menyejahterakan masyarakat dengan kemampuan sendiri.
Dalam realita yang terjadi, dibalik kekayaan yang dimiliki Indonesia tersebut, hanya sedikit kalangan masyarakat yang menikmatinya. Sebagian besar tidak pernah mengecap kenikmatan akan angka-angka yang sesungguhnya teramat besar tersebut. Dalam permasalahan ini kata umum yang sering dipakai adalah ketimpangan. Dimana distribusi kekayaan negara hanya menjangkau kalangan-kalangan tertentu saja, sehingga ada masyarakat yang menikmati kekayaan tersebut dengan sangat mudah dan berlebih, serta sebaliknya ada pula yang tidak sedikitpun merasakannya. Kondisi demikian yang dalam kajian ilmu sosial memicu munculnya dinding pemisah antara kelompok masyarakat yang menikmati kekayaan dengan yang tidak menikmati kekayaan. Dinding pemisah yang semakin tebal dan tinggi pada akhirnya melahirkan kelas-kelas sosial kaya-miskin. Demikian dalam kajian sosiologisnya. Sementara itu secara ilmu ekonomi ketimpangan semacam ini tidak serta merta dilimpahkan pertanggungjawabanya pada ketidakmerataan distribusi kekayaan negara, melainkan terjadi akibat perbedaan efisiensi dan efektvitas kegiatan ekonomi masing-masing rumah tangga dalam masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang mampu melakukan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan ekonomi rumahtangganya akan dapat menikmati kekayaan dan bagi yang tidak mampu maka tidak dapat menikmatinya. Dari sinilah konsep ketimpangan sosial kaya-miskin dalam ekonomi muncul, yakni akibat perbedaan pendapatan (perbedaan produktivitas) masing-masing rumah tangga. Akan tetapi apakah permasalahan ketimpangan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah ataukah merupakan sepenuhnya tanggung jawab masing-masing rumah tangga masyarakat ?? Disinilah letak kunci permasalahannya.
Dapat ditarik sebuah benang penghubung antara “Indonesia yang kaya” dengan kondisi “social masyarakat Indonesia yang timpang”. Benang penghubung tidak selamanya merupakan kunci permasalahan, dalam perkara ini benang tersebut malah merupakan “permasalahan”. Benang penghubung antara kekayaan Indonesia dan ketimpangan adalah “masalah”, yang artinya sesuatu yang tidak tepattelah terjadi dalam mengelola kekayaan Indonesia. Bagaimana tidak, benang penghubung tersebut secara matematis dapat digambarkan sebagai angka negative. Sementara secara teori dalam aturan ilmiah dapat dituliskan bahwa “Jumlah kekayaan negara Indonesia berbanding terbalik dengan peningkatan keksejahteraan masyarakat Indonesia”. Lantas, apa “masalah” tersebut? Masalah tersebut adalah segala sesuatu yang menyebabkan “Indonesia yang kaya” melahirkan “ketimpangan social dalam masyarakat”, antara lain alokasi kekayaan yang tidak merata, pengelolaan kekayaan yang tidak tepat, penyelewengan penggunaan kekayaan negara oleh oknum (korupsi), serta kebijakan pemerintah yang salah. Kesemua permasalahan tersebut pada dasarnya bersumber pada sistem pemerintahan negara Indonesia.
Ketika benang telah terlihat jelas, namun benang tersebut bukanlah sebuah solusi dan malah merupakan masalah, maka sudah tentu itu saatnya untuk memotong benang penghubung negatife tersebut. Kemudian tugas besar yang harus segera dilakukan adalah mencari benang baru yang memiliki fungsi sebagai penghubung “positif” untuk menggantikan benang lama yang negatif, sehingga nantinya antara “Indonesia yang kaya” dengan “kesejarhteraan masyarakat Indonesia” memiliki hubungan yang positif dan searah. Saatnya mengubah hubungan negatif antara kekayaan Indonesia dengan kesejahteraan masyarakat menajdi positif. Dengan kata lain, kini sudah saatnya menjadikan kekayaan Indonesia sebagai sumber kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia secara merata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI