Aku ketitipan keponakan kelas 3 SD. Orang tuanya sedang ke luar kota karena ada keluarga sakit. Untunglah keponakan perempuan yang satu ini tidak lasak seperti keponakanku yang laki-laki. Selesai makan malam, kami duduk santai bersama. Aku duduk di sofa dan mencari-cari saluran televisi melalui remote. Cia, keponakanku, duduk dilantai dengan tangan bertumpu di sofa yang aku duduki. di sebelahku. Matanya terpaku pada gawai ditangannya yang lebih besar dari telepon genggamku.
Bosan tak menemukan film yang bagus, aku melirik Cia. Sedang sibuk dia memainkan sebuah permainan di gawainya. Penasaran, aku beringsut agar lebih dekat. Nampak serius penuh konsentrasi. Aku jadi tertarik dan mulai ikut memperhatikan. Permainan itu tidak asing bagiku. Namanya Candy Crush. Aku pernah mencoba beberapa versi permainan ini. Sayangnya tidak pernah bertahan lama. Lebih sering mati kehabisan kesempatan bermain. Tidak mampu menyelesaikan tantangan permainan lima kali, mengakibatkan permainan tidak bisa dilanjutkan. Bila mampu menyelesaikan tantangan yang diberikan, jatah kesempatan bermain tidak berkurang dan bisa melanjutkan permainan sampai mendapatkan akumulasi kekalahan lima kali. Setelah mencapai batas itu, permainan akan berakhir. Babak baru akan bisa dimainkan lagi setelah jangka waktu tertentu sesuai waktu yang muncul.
Dalam diam aku ikut menikmati permainannya. Piawai juga anak ini, pikirku. Tersisa dua langkah sebelum permain berakhir. Kutolehkan kepalaku, anak ini masih nampak tenang tapi serius menghadapi permainan yang sudah diujung tanduk.
“Nampaknya akan kalah, Ci. Biskuitnya masih belum tercelup coklat semua. Berhenti saja bermainnya. Matamu diistirahatkan dulu.”
“Ini belum mati kok…. Jalannya masih ada. Siapa tahu, kalau kita mainkan jalannya jadi terbuka.”sahutnya dengan mata masih tetap menatap gawainya.
Jleeeep…perkataan Cia serasa menembus hatiku. Apa yang dikatakan bocah sembilan tahun ini memberiku sebuah pencerahan. Jangan dulu menyerah meski dead-end – jalan buntu, didepan mata.
Saat itu, aku sedang menghadapi sebuah “permainan” dikehidupan kantor tempatku bekerja. Aku sedang menghadapi dilema dengan salah seorang bawahan yang membuat semua orang menjadi sakit kepala. Pegawai yang satu ini menurutku smart. Tim pewawancara yang mewawancarainya saat melamar masuk melihat potensi besar pada diri anak muda ini. Herannya, hampir semua kepala tim mengeluh. Tak bisa kerja. Lambat. Tidak mau membantu.
Kurang inisiatif. Itu keluhan yang kucatat. Rotasi kebeberapa tim sudah dilakukan, hasilnya belum juga kelihatan. Belum nampak kemampuannya yang sebenarnya. Keluhan mengenai dia masih juga belum berkurang. Posisiku hampir sama dengan permainan yang dimainkan Cia. Jika tidak ada kemajuan, mungkin permainan harus berakhir. Game over – baginya . Haruskah aku bersabar? Menyerah? Angkat tangan dan cari orang baru supaya tidak pusing berkepanjangan?.
Kesabaran Cia menghadapi permainan di gawainya, membuatku berfikir lagi. Sebelum habis langkah, apa salahnya aku gunakan satu kesempatan pada pegawai yang satu itu. “Siapa yang tahu, kalau kita mainkan jalannya jadi terbuka.” Itu komentar Cia yang bergema dikepalaku. Bagaimana bisa tahu berhasil atau tidak jika tak dicoba, bukan?.
Kupanggil Beni hari berikutnya. Dia datang dengan kepala tertunduk, nampak takut. Kucoba mencairkan suasana supaya ketakutannya mereda. Obrolan ringan kulempar untuk menggali informasi. “Saya masih mendapat laporan bahwa kinerjamu belum membaik. Masih kurang kooperatif, tidak suka membantu anggota tim lain. Suka menghilang dan tidur saat jam kerja. Bisa jelaskan alasannya?.” Akhirnya terlontar juga pertanyaan itu. Beni tampak pasrah akan hasilnya saat aku menutupnya dengan informasi akan melapor pada pimpinan.