Artikel bebas. Ditulis oleh Cemié Lee, masih muda.
Seperti biasa, problematika anak muda yang saya bahas selalu diawali dari apa yang terjadi di sekitar saya. Walau saya tidak selalu mengalami sendiri, setidaknya dengan mendengar penuturan demi penuturan terkait satu masalah, saya suka jadi ‘ngeh’ dan gatal ingin mengangkatnya jadi tulisan. Jadi begini ceritanya:
Hari itu teman saya yang sebut saja namanya Doni, tiba-tiba berkeluh kesah pada saya padahal sedari tadi kami ngopi sambil membicarakan sepakbola, tapi namanya obrolan ‘kan mengalir begitu saja. “Aku merasa miskin nih semenjak punya cewek.” Ujarnya. Karena saya adalah pendengar yang baik, maka dengan seksama saya biarkan dia mengeluarkan unek-uneknya dengan teratur. “Masa tiap makan aku yang bayar. Nonton juga. Lalu kemarin kami main ke Trans Studio yang bukan main mahal itu. Dompetku menangis nih.” Lanjutnya. Saya hanya menyeruput kopi, juga ikut berpikir.
Sepintas terdengar sepele. Tapi dengan melihat raut muka yang sedemikian ‘jangar’ si Doni saat bercerita, pastinya ada sesuatu yang begitu prinsip dan ideologis dari perkara ini, haha.
“Memangnya cewekmu itu bilang kalau dia minta dibayari, Don?” tanya saya. Kemudian dia menjawab, “Secara langsung tidak. Tapi saat berhadapan kasir atau penjaga loket, dia tidak ada gelagat mengeluarkan dompet. Malah seperti pura-pura bodoh. Ya itu ‘kan berarti minta dibayarin.” Cerocosnya. Saya hanya bergumam, “Hm…”
“Mungkin aku akan memberi saran, tapi tidak hari ini. Biarkan aku berpikir dan melaksanakan riset dulu, ya.” Saya mengakhiri. Dengan ekspresi gembira, dia tersenyum, sepertinya saya telah memberinya harapan. Tapi memangnya apa yang bisa saya lakukan?
*********
Jadi, membayar itu kewajiban siapa?
Dalam Islam –saya tidak tahu seperti apa di agama lain- , istri adalah tanggungan suami. Patut digarisbawahi, pacar itu bukan istri, jadi tidak ada kewajiban cowok menanggung keperluan si cewek. Tapi kalau si cowok punya uang lebih, ya tidak apa-apa sih, toh jadinya si cewek makin cinta ‘kan? Ha ha.
Tetapi ada anekdot yang sepertinya sudah menjalari sel-sel otak hingga alam bawah sadar para pelaku pacaran, yaitu “Di mana harga diri cowok kalau cewek harus bayar sendiri”. Pernah dengar? Kalau tidak, ya memang tidak ada yang bicara itu di kuping anda, jadi wajar kalau tidak pernah dengar.
Jika ungkapan itu dicetuskan oleh wanita, pasti dia bukan kaum feminis yang pro emansipasi. Karena feminis dan emansipasi ‘kan intinya kesetaraan antara pria dan wanita, termasuk dalam tatanan sosial masyarakat. Oleh sebab itu, wanita yang menginginkan kesetaraan pastinya sudah merasa tidak perlu minta dibayari. Keterlaluan jika seorang wanita yang menuntut kesetaraan tapi masih ingin menjadi tanggungan kaum lelaki. Bukan begitu?
Kembali keanekdot menyesatkan itu, memangnya harga diri seorang laki-laki bisa ditebus dengan membayari makan wanita? Bagaimana jika kalimatnya sedikit diubah, “Di mana harga diri cewek jika terus-terusan minta dibayari. Istri juga bukan?” . Ha ha menarik ya. Ini terdengar seperti omongan orang-orang pelit yang perhitungan sama pacar sendiri, padahal ada masalah pemahaman dan ideologis di dalamnya.
Tapi memang dasar di Doni yang sial. Tidak kaya-kaya amat, tapi punya pacar manja. Toh saya tanya-tanya ke teman lain tentang masalah siapa yang bayar, jawabannya beragam. Ada yang bilang kalau yang ngajak lah yang bayar, ada yang mengaku selalu patungan alias masing-masing, ada juga yang mengaku kadang mentraktir kadang ditraktir, bergantung keadaan keuangan masing-masing.
Jadi tidak semua kalau pacaran adalah tanggungan pihak cowok. Semua bergantung pada (1) siapa ceweknya, (2) sifatnya, (3) dan keterbukaan masing-masing. Saya lupa untuk bertanya lebih jauh pada Doni, nanti saya tanyakan, apakah dia pernah bilang ke si cewek bahwa dia tidak punya uang? Dan meminta untuk (minimal) ceweknya bayar sendiri apa yang dimakan? …
Pacaran ‘kan bukan untuk memiskinkan salah satu pihak. Seharusnya Doni terbuka saja bahwa selama ini dia itu bersusah payah untuk membayari ceweknya, lalu lihat apakah si cewek punya pengertian. Saya tahu baik Doni dan pacarnya sama-sama mahasiswa yang belum kerja dan masih bergantung ke orang tua, jadi mengapa Doni yang harus bayar? Apa karena dia cowok? . Kalau seperti itu caranya, lama-lama uang jajan Doni habis dong, sedangkan uang jajan ceweknya awet wet wet. Haha.
Jadi sebaiknya bagaimana? Saya tidak ingin menyalahkan sifat bertanggung jawab Doni yang keterlaluan, walau pasti motovasinya adalah tampil keren. Saya hanya ingin menekankan pada keterbukaannya sebagai laki-laki, yang jangan dijajah begitu saja.
Mungkin mengucapkan “Eh, kita bayar sendiri-sendiri ya” lebih berat daripada mengeluarkan Rp80.000 plus pajak toko 10% hanya untuk dua pizza kecil dan garlic bread sebesar sabun batang yang jadi menu si Doni kalau makan berdua. Tapi yakinlah, pacarmu itu adalah orang yang seharusnya sangat dekat dan mengenalmu. Juga karena pacaran sejatinya adalah proses penjajakan (bukan penjajanan, apalagi penjinahan), maka sebaiknya memang tidak ada yang ditutup-tutupi. Daripada keterusan, menyiksa diri sendiri, dan mungkin ceweknya ternyata ingin membayar sendiri tapi ragu (entah keenakan dibayari atau mungkin menghargai cowok yang sudah berniat membayari), lebih baik berterus teranglah. Caranya sih pintar-pintarnya si cowok, tapi konsepnya adalah “Kalau aku tidak membayarimu makan, apa kamu masih cinta?” … Yihaaaa.
Anda para cowok yang kelebihan uang pasti berkomentar “Apa sih makan aja dipermasalahkan, pacaran itu untuk senang-senang, uang itu bukan masalah.” … Iya ‘kan?
Bukankah tidak semua cowok mapan? Apalagi kalau kita mencermati betapa mengerikannya konsep “mapan” yang dipahami para remaja cewek, maka Doni benar-benar tersiksa oleh masalah prinsip. Di satu sisi dia ingin menyenangkan pacarnya, di sisi lain dompetnya menjerit-jerit.
Masalah bayari makan ‘kan hanya seujung kecil, seperti fenomena gunung es. Cowok yang mesti terlihat cukup uang, pasti juga harus berpura-pura keren seperti pakai motor bagus, hape bagus, dll. Kalau belum kerja, yang repot siapa? ‘kan orang tua juga yang susah. Ayolah wahai Doni-Doni yang lain, terbuka saja. Siapa tahu cewekmu jadi sadar dan berhenti merepotkan. Ya… sesial-sialnya kamu diputusin karena ternyata cewekmu itu tipe cewek matre. Hahaha, itu lebih baik.
Untuk anda yang sudah saling terbuka dengan pacar, selamat. Itu adalah awal yang baik untuk hubungan yang mencintai apa adanya (baca: apa adanya seseorang, tetap dicintai dengan sepenuh hati). Untuk Doni-Doni yang lain, ikutilah saran saya yang tidak jelas tapi mungkin bermanfaat itu.
Karena pacaran itu tidak boleh ada paksaan apalagi memiskinkan. Tapi kalau tidak terpaksa ya tidak apa-apa. Oke?
*********
Karena intinya hanya keterbukaan, maka sudah saya suruh si Doni untuk melaksanakannya, dia pun mengiyakan. Seminggu kemudian di kedai bakso kami berbincang lagi. “Bagaimana, sudah coba terbuka?” tanya saya. Dia menjawab mantap, “Tidak.” Saya langsung batal menendok tauge. “Mengapa?” tanya saya penasaran. “Ya, selain malu dan gugup. Hitung-hitung latihan kelak jadi suami yang menafkahi istrinya.” Jawabnya mantap, lalu cengengesan. Saya menghela nafas, “kalau begitu, bayari bakso yang kumakan ini.” Ujarku. Giliran dia yang bertanya, “Mengapa?!”
Saya bangkit, lalu enteng menjawab. “Hitung-hitung latihan kelak jadi bapak, menafkahi anak-anakmu.”
Lalu saat kami keluar dari kedai bakso, lewatlah sepasang kekasih pakai motor. Saya hanya bergumam, “Pacaran itu ribet ya, makanya saya malas punya pacar.”
*********
Ditulis oleh Cemie L, masih muda.
Follow @cemiehotspur
Kritik dan tanggapan silakan sampaikan secara budiman & terpelajar //:D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H