Fenomena kriminalisasi guru di Indonesia telah menjadi perhatian serius dalam dunia pendidikan yang membutuhkan penanganan komprehensif dari berbagai pemangku kepentingan. Problematika ini semakin mencuat ke permukaan seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat dan mudahnya akses terhadap informasi melalui media sosial.Â
Beberapa kasus menunjukkan bahwa tindakan pendisiplinan yang dilakukan guru terhadap siswa berujung pada tuntutan hukum dari orang tua, yang seringkali dipicu oleh miskomunikasi atau perbedaan persepsi tentang batasan tindakan pendisiplinan yang wajar.Â
Berbagai bentuk tindakan pendisiplinan, mulai dari teguran verbal hingga konsekuensi edukatif, kini dapat berpotensi menjadi sengketa hukum yang melelahkan. Hal ini menciptakan dilema bagi para pendidik dalam menjalankan tugas mereka untuk membentuk karakter dan mendisiplinkan siswa, mengingat peran ganda mereka sebagai pengajar dan pembentuk karakter generasi bangsa.
 Para guru kini harus lebih berhati-hati dalam mengambil setiap keputusan terkait pendisiplinan, bahkan untuk pelanggaran-pelanggaran ringan sekalipun. Situasi ini telah menciptakan ketakutan di kalangan guru untuk mengambil tindakan tegas dalam mendisiplinkan siswa yang melanggar aturan sekolah, yang pada akhirnya dapat mengancam kualitas pendidikan secara keseluruhan.
     Kriminalisasi guru merupakan fenomena di mana guru menghadapi tuntutan hukum atas tindakan pendisiplinan yang mereka lakukan terhadap siswa, sebuah realitas yang mengkhawatirkan dalam dunia pendidikan Indonesia. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada individu guru yang terkena kasus, tetapi juga menciptakan efek domino dalam sistem pendidikan secara keseluruhan.Â
Menurut data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sejak tahun 2016 hingga 2023 terdapat peningkatan signifikan kasus kriminalisasi guru, dengan berbagai variasi kasus mulai dari tuduhan kekerasan verbal hingga intimidasi psikologis.Â
Peningkatan ini mencerminkan pergeseran paradigma dalam masyarakat mengenai hubungan guru-siswa dan batasan-batasan dalam pendisiplinan. Berdasarkan penelitian Sukardi (2021), 78% guru mengaku ragu-ragu dalam memberikan sanksi kepada siswa yang melanggar aturan karena khawatir akan tuntutan hukum, sebuah statistik yang mencerminkan tingginya tingkat kecemasan di kalangan pendidik.Â
Ketakutan ini semakin diperparah oleh pemberitaan media yang seringkali memicu reaksi publik yang berlebihan. Kondisi ini berdampak pada menurunnya efektivitas pembelajaran dan pembentukan karakter siswa di sekolah, karena guru cenderung mengambil pendekatan yang terlalu hati-hati atau bahkan menghindari konfrontasi sama sekali dengan siswa bermasalah.
     Dalam menghadapi permasalahan ini, pendekatan partisipatif dengan melibatkan siswa dalam pembuatan aturan kelas dan konsekuensinya merupakan langkah strategis yang dapat ditempuh untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih demokratis dan bertanggung jawab. Pendekatan ini tidak hanya memberikan ruang bagi siswa untuk bersuara, tetapi juga membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya kedisiplinan dalam proses pembelajaran.Â
Menurut teori pembelajaran sosial Bandura, keterlibatan aktif siswa dalam pembuatan aturan meningkatkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab terhadap peraturan tersebut, sebuah prinsip yang telah terbukti efektif dalam berbagai konteks pendidikan.Â
Proses ini juga membantu mengembangkan keterampilan negosiasi, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan pada siswa. Siswa yang dilibatkan dalam proses pembuatan aturan cenderung lebih memahami dan mematuhi aturan yang telah disepakati bersama, karena mereka merasa memiliki andil dalam pembentukan aturan tersebut.Â
Pendekatan ini juga membantu membangun komunikasi yang lebih terbuka antara guru dan siswa, serta menciptakan atmosfer pembelajaran yang lebih positif dan konstruktif. Keterlibatan orang tua juga sangat krusial dalam menciptakan sistem pendisiplinan yang efektif.
 Penelitian Widodo (2022) menunjukkan bahwa kolaborasi antara guru dan orang tua dalam pendisiplinan siswa meningkatkan keberhasilan pembentukan karakter sebesar 65%. Orang tua perlu dilibatkan dalam penyusunan tata tertib sekolah, komunikasi rutin mengenai perkembangan anak, dan evaluasi kebijakan sekolah. Komunikasi yang intensif antara guru dan orang tua dapat mencegah kesalahpahaman yang berpotensi menimbulkan konflik.
     Dalam penerapan hukuman edukatif, penting untuk memahami prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan dalam teori behaviorisme Skinner. Hukuman harus bersifat mendidik dan bertujuan mengubah perilaku, bukan sekadar memberikan efek jera. Dr. Thomas Gordon dalam bukunya "Teacher Effectiveness Training" menekankan pentingnya konsekuensi logis dibanding hukuman konvensional.Â
Hukuman yang diberikan harus bersifat konstruktif, berorientasi pada perbaikan perilaku, dan mempertimbangkan aspek psikologis siswa tanpa mengandung unsur kekerasan. Implementasi hukuman edukatif dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan yang melibatkan sistem poin dan reward, serta penerapan konsekuensi logis. Sistem pencatatan pelanggaran dengan poin dapat diimbangi dengan pemberian penghargaan untuk perilaku positif.Â
Konsekuensi logis seperti membersihkan kelas jika mengotori atau membuat karya tulis reflektif dapat memberikan pembelajaran bermakna bagi siswa. Aspek legal dan perlindungan guru juga perlu diperhatikan dalam implementasi sistem pendisiplinan.Â
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 memberikan payung hukum bagi guru dalam menjalankan tugas profesionalnya. Sekolah perlu memiliki dokumentasi yang baik terkait kesepakatan dengan orang tua, pencatatan sistematis pelanggaran, dan prosedur standar pemberian sanksi.
      Dalam pelaksanaannya, sekolah harus memiliki protokol penanganan masalah yang jelas dan terstruktur. Prosedur baku dalam menangani pelanggaran siswa harus mencakup tahapan pemberian peringatan, mekanisme konsultasi dengan orang tua, dan sistem eskalasi penanganan masalah. Setiap tindakan pendisiplinan harus didokumentasikan dengan baik untuk menghindari kesalah pahaman di kemudian hari.Â
Evaluasi dan monitoring implementasi program pendisiplinan perlu dilakukan secara berkala melalui evaluasi tim guru, pertemuan rutin dengan orang tua, dan survei kepuasan stakeholder. Keberhasilan program dapat diukur melalui indikator seperti penurunan angka pelanggaran, peningkatan prestasi akademik, perbaikan iklim sekolah, dan tingkat kepuasan orang tua.Â
Dalam implementasinya, program ini memerlukan tahapan yang sistematis mulai dari persiapan hingga pelaksanaan. Tahap persiapan meliputi sosialisasi program, pembentukan tim pelaksana, penyusunan SOP, dan pelatihan guru serta staf. Sedangkan tahap implementasi mencakup penerapan sistem secara bertahap, monitoring berkelanjutan, evaluasi berkala, dan penyesuaian program sesuai kebutuhan.
       Keberhasilan program ini sangat bergantung pada komitmen seluruh stakeholder, konsistensi pelaksanaan, komunikasi yang efektif, dan dokumentasi yang baik. Sekolah perlu mengembangkan sistem pendisiplinan yang komprehensif dan terdokumentasi dengan baik, meningkatkan kapasitas guru dalam manajemen kelas dan pendisiplinan positif, memperkuat komunikasi dan kolaborasi dengan orang tua, serta melakukan evaluasi dan penyesuaian program secara berkala.Â
Dengan menerapkan pendekatan kolaboratif dan edukatif dalam sistem pendisiplinan siswa, diharapkan dapat tercipta lingkungan pembelajaran yang kondusif tanpa menimbulkan risiko kriminalisasi bagi guru. Kerjasama yang baik antara guru, siswa, dan orang tua menjadi kunci utama dalam menciptakan sistem pendidikan yang efektif dan bermartabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H