Mendengar itu, kuajak adik-adikku pergi dari kampung itu. Sungguh tak sanggup rasanya menahan malu bila warga mengetahui kabar buruk itu. Meski dengan duit pas-pasan, kuberanikan diri untuk mengajak mereka merantau. Singkat cerita kini aku, Sirashi, dan Orewa perlahan mulai meniti karir. Usaha-usaha semakin membuahkan hasil. Tak ayal terkadang bertengkar karena cucian kotor yang menumpuk.Â
Ayah! Lihat adik-adikku! Berhasil juga aku mendidik mereka. Bahkan tak jarang mereka mulai mengenalkan pasangan mereka padaku. Sirashi bulan ini akan menikah dengan gadis pilihannya. Dan aku... Entahlah! Biarlah begini! Menua sendiri tanpa seorang teman hidup. Miris pula rasaku  jika aku mendapatkan pasangan yang seperti ayah. Aku terlalu sibuk mencarimu ayah. Dendam ini masih membara menggelepar  ingin menghabisimu. Saat Sirashi menikah nanti, akan kubuat pesta adat yang begitu terhormat. Tunggung. Begitu dalam bahasa kami. Aku yang akan menjadi pendampingnya sewaktu menjemput gadis pilihannya ke pelaminan. Dan kau, entahlah. Sudahkah jadi abu, atau terhimpit dalam alur debu, bukan lahi urusanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H