Mohon tunggu...
Tri Adi Siswanto
Tri Adi Siswanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pembaca yang bijak, 'silahkan mininggalkan jejak'.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Masih Temanmu

3 Oktober 2014   17:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:31 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teman, barangkali salah satu dari berbagai macam jenis ‘hubungan’ yang tak memerlukan kesepakatan-kau temanku dan aku temanmu. Seperti ‘hubungan’ kakak-adik, orantua-anak, dan ‘hubungan’ kekeluargaan lainnya. Kita tak akan pernah mengenal istilah perceraian dalam ‘hubungan’ macam itu. Teman adalah ‘hubungan’ yang secara alami tumbuh dan berjalan bigitu saja, kan, Kirana? Bukankah kita telah membicarakan ini bertahun-tahun yang lalu, kita tak akan mendifinisakan apa itu ‘teman’.

***

“Kau bukan temanku, sekarang kau kaya dan melupakanku.”

“Aku masih temanmu dan aku tak pernah melupakanmu, aku tak lupa janjiku, dan aku sudah kaya dari dulu. Tak ada yang berubah dariku, kecuali isi dompet dan bertambahnya saldo di rekening tabunganku.”

“Kau bukan temanku.” Katanya lagi.

“Aku masih temanmu.”

“Tapi kau tak pernah memperhatikanku.”

“Aku memperhatikanmu, barangkali kamu yang tak memperhatikannya,” jawabku, “Berteman tak harus selalu saling memperhatikan, kan? Kadang kau yang perlu perhatian padaku, kadang aku yang memberikan perhatian padamu, kadang kita sama-sama tidak tahu jika kita sedang diperhatikan.”

“Kau bukan temanku.” Katanya.

“Aku masih temanmu.”

“Tapi kau tak pernah mengirim kabar atau menanyakan kabarku, kau tak pernah lagi rajin SMS seperti dulu.”

“Aku tak yakin bisa merangkai kata-kata seindah dulu, aku takut membuatmu tersinggung, atau salah sangka dengan pesanku. Bukankah kita sepakat, kata-kata tak seutuhnya bisa mewakili nada bicara kita, aku tak lagi yakin bisa bercanda dengan ‘pesan singkat’ seperti dulu.”

“Kalau memang seperti itu, kenapa kau tak meneleponku?” nada bicara Kirana meninggi.

“Kau sudah tahu jawabannya, kadang kupikir kau lebih mengenalku daripada aku mengenal diriku sendiri. Aku masih ingin berbincang lama-lama denganmu seperti ketika kita sering bertemu, selebihnya kau tahu alasanku, bertatap muka masih lebih berharga dari segalanya.” Jawabku, “Kau juga tak pernah mengirimkan SMSmu padaku, kau juga tak meneleponku, dan aku baik-baik saja.”

“Kau bukan temanku.”

“Aku masih temanmu. Aku masih sering berdoa untukmu.”

Setalah percakapan itu, dia pergi. Semoga, nanti sampai di rumah dia ingat-semua atau sebagian saja tentang apa-apa yang kita obrolkan betahun-tahun yang lalu, tentang ‘apa itu teman’ yang dia mengangguk saat mendengarnya keluar dari mulutku.

Ting… nada pesan singkat telepon genggamku.

-Kau masih temanku, kapan kita bisa bertemu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun