Mohon tunggu...
Celonyta Calysta
Celonyta Calysta Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

memiliki hobi di dunia seni peran dan kuliner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika Arm Races Asia: Korea Utara, Kandidat Superpower Selanjutnya?

10 September 2024   22:06 Diperbarui: 10 September 2024   22:18 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Negara-negara superpower umumnya diidentifikasi dengan Amerika Serikat dan Rusia, sebuah persepsi yang dibentuk oleh dinamika sejarah global yang kompleks. Sejak akhir Perang Dunia II, kedua negara ini menonjol sebagai kekuatan utama dunia, didukung oleh kekuatan militer, ekonomi, serta pengaruh geopolitik yang signifikan. Pasca-Perang Dunia II, Amerika Serikat dan Uni Soviet (sebelum terpecah menjadi Rusia dan negara-negara lainnya) mendominasi sistem internasional dalam konteks bipolaritas, sebuah tatanan dunia yang tercermin jelas dalam rivalitas ideologis dan militer selama Perang Dingin. Amerika Serikat, dengan kapitalisme dan liberalismenya, bersaing secara langsung dengan Uni Soviet yang mewakili sosialisme dan komunisme.
     Persaingan ini terwujud dalam pengembangan aliansi militer seperti NATO dan Pakta Warsawa, serta perlombaan senjata nuklir yang memuncak pada ancaman kehancuran global. Kekuatan militer dan teknologi nuklir mereka tidak hanya menjadi penanda utama dari status superpower, tetapi juga alat dominasi yang memperkuat pengaruh global mereka. Hingga kini, warisan dari era Perang Dingin masih menjadi alasan utama mengapa kedua negara ini tetap dipandang sebagai kekuatan superpower di panggung internasional. Berdasarkan kondisi ini, apakah negara lain selain Amerika Serikat dan Rusia yang memiliki senjata nuklir juga dianggap kuat? Mengapa kepemilikan senjata nuklir sering dijadikan tolok ukur dalam menilai apakah suatu negara layak disebut sebagai superpower atau tidak? Apakah kawasan Asia juga akan mengalami dinamika perlombaan senjata atau arm races akibat kepemilikan senjata nuklir oleh Korea Utara?
      Pertanyaan–pertanyaan dapat dijawab melalui pandangan historis terlebih dahulu. Negara-negara selain Amerika Serikat dan Rusia yang memiliki senjata nuklir memang dianggap memiliki kekuatan signifikan, tetapi belum tentu dikategorikan sebagai “superpower”. Dalam pandangan hubungan internasional, kekuatan negara diukur berdasarkan beberapa faktor, seperti kemampuan militer, ekonomi, dan pengaruh diplomatik global. Meski kepemilikan senjata nuklir meningkatkan status militer suatu negara, hal tersebut bukan satu-satunya kriteria untuk menjadi superpower. Negara seperti Tiongkok dan India, yang juga memiliki senjata nuklir, dianggap sebagai kekuatan regional yang kuat, tetapi pengaruh global mereka belum sebanding dengan Amerika Serikat dan Rusia, yang telah lama terlibat dalam membentuk tatanan internasional sejak Perang Dunia II dan Perang Dingin.
     Kepemilikan senjata nuklir menjadi tolok ukur penting karena memberikan negara tersebut kekuatan penangkal (deterrence) yang signifikan. Dalam teori hubungan internasional, terutama teori realis, kekuatan militer dan kemampuan untuk menghancurkan lawan menjadi dasar utama dalam menjaga kedaulatan dan keamanan nasional. Negara-negara yang memiliki senjata nuklir tidak hanya dianggap memiliki kemampuan militer besar, tetapi juga memiliki leverage diplomatik yang lebih kuat di arena global. Misalnya, Amerika Serikat dan Rusia telah menggunakan kekuatan nuklir mereka untuk mempengaruhi keputusan-keputusan penting di dalam berbagai forum internasional dan menjaga status quo dalam sistem keamanan internasional.
      Adapun mengenai kawasan Asia, kemungkinan terjadinya perlombaan senjata atau arm races sangat mungkin terjadi seiring dengan kepemilikan senjata nuklir oleh Korea Utara. Dalam konteks historis, kawasan yang memiliki ketegangan geopolitik seperti Asia Timur rentan terhadap dinamika persenjataan. Korea Utara, dengan arsenal nuklirnya, telah memicu kekhawatiran bagi negara-negara tetangganya, terutama Korea Selatan, Jepang, dan Tiongkok. Ini dapat mendorong negara-negara tersebut untuk memperkuat kapasitas militer mereka sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan. Menurut teori keamanan internasional, peningkatan kekuatan militer oleh satu negara sering kali diikuti oleh peningkatan kekuatan oleh negara lain untuk mencegah dominasi, yang pada akhirnya memicu perlombaan senjata. Hal ini pernah terjadi di masa Perang Dingin, ketika perlombaan senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet menciptakan ketegangan global yang berkelanjutan. Oleh karena itu, situasi di Asia berpotensi mengarah pada dinamika serupa, dengan negara-negara yang merasa terancam oleh kekuatan nuklir Korea Utara memperkuat pertahanan mereka.
      Adapun posisi Korea Utara dalam dinamika nuklir ini cukup unik. Negara ini, meskipun memiliki ekonomi yang relatif lemah dan mengalami isolasi internasional, telah berhasil menggunakan senjata nuklir sebagai alat politik yang efektif. Kepemilikan nuklir oleh Korea Utara telah memberi mereka leverage yang lebih besar dalam perundingan internasional, memungkinkan mereka untuk mendapatkan konsesi politik dan ekonomi meskipun di bawah berbagai sanksi. Dalam perspektif realis, senjata nuklir menjadi instrumen penting untuk memastikan kelangsungan rezim Kim Jong-un, yang menggunakan ancaman nuklir untuk mengamankan posisi domestiknya dan menghalangi intervensi asing. Dalam jangka panjang, meskipun Korea Utara tidak mungkin diakui sebagai superpower global, ia tetap menjadi “wild card” dalam arsitektur keamanan regional yang dapat memicu ketidakstabilan dan memaksa negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia untuk terus menyeimbangkan pengaruh mereka di Asia.
      Ancaman yang dihadirkan oleh Korea Utara juga tidak terbatas pada dimensi militer saja. Senjata nuklir mereka berfungsi sebagai ancaman diplomatik, memperumit upaya untuk mencapai kesepakatan multilateral mengenai perlucutan senjata dan keamanan kawasan. Keengganan Korea Utara untuk menyerahkan senjata nuklirnya menciptakan ketegangan yang berkelanjutan, dan hal ini semakin meningkatkan risiko konfrontasi yang dapat melibatkan kekuatan global lain, seperti Amerika Serikat yang memiliki aliansi militer dengan Korea Selatan dan Jepang. Selain itu, ancaman tidak langsung dari Korea Utara adalah potensi proliferasi nuklir. Ada kekhawatiran bahwa Korea Utara dapat menjual teknologi nuklir atau rudal balistik kepada aktor negara atau non-negara yang bermusuhan, yang pada akhirnya akan memperburuk ketidakstabilan global.
      Secara keseluruhan, masa depan Asia sangat dipengaruhi oleh bagaimana negara-negara di kawasan ini merespons ancaman dari Korea Utara. Jika perlombaan senjata semakin intens, ada potensi bagi kawasan ini untuk memasuki fase ketegangan baru, mirip dengan apa yang terjadi selama Perang Dingin. Di sisi lain, jika diplomasi berhasil memoderasi ambisi nuklir Korea Utara, ada peluang untuk stabilitas yang lebih besar. Namun, untuk saat ini, Korea Utara tetap menjadi elemen destabilisasi utama dalam dinamika nuklir Asia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun