Laut Cina Selatan merupakan kawasan yang telah lama diperbincangkan karena sengketa perbatasan yang melibatkan beberapa negara di Asia. Konflik ini telah terjadi sejak puluhan tahun lalu, lebih tepatnya bermula pada tahun 1947 yang ditunjukkan dengan klaim Cina melalui eleven-dash-line. Seiring berjalannya waktu, klaim tersebut berubah menjadi nine-dash-line dan ten-dash-line berturut-turut pada tahun 1950-an dan 2009.Â
Klaim sepihak Cina atas kawasan Laut Cina Selatan meningkatkan eskalasi konflik di Benua Asia, khususnya terhadap Malaysia, Filiphina, Vietnam, Taiwan, dan Brunei Darussalam sebagai negara yang turut memperebutkan wilayah tersebut. Konflik ini semakin memburuk dengan adanya penemuan sumber daya alam seperti cadangan minyak dan gas di bawah Laut Cina Selatan pada tahun 1970-an.Â
Melalui perspektif Hubungan Internasional (HI), faktor utama yang menyebabkan situasi ini terjadi adalah kepentingan nasional (national interest)Â masing-masing negara yang terlibat. Menurut Joseph Nye, kepentingan nasional negara tidak terbatas pada satu aspek saja, melainkan ada elemen-elemen lain yang lebih luas, seperti keamanan, kekuasaan, ekonomi, lingkungan, dan nilai-nilai kemanusiaan.Â
Sehingga berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Nye, kepentingan nasional negara-negara yang terlibat dalam perebutan kawasan Laut Cina Selatan berkaitan erat dengan kepentingan ekonomi. Penemuan cadangan minyak dan gas di kawasan tersebut dapat menyokong pertumbuhan ekonomi suatu negara dan mendukung pembangunan nasional.
Dampak dari tidak ditemukannya penyelesaian dalam sengketa Laut Cina Selatan, membuat konflik ini justru meluas dan meningkatkan ketegangan di negara-negara sekitarnya, khususnya ASEAN. Indonesia sebagai salah satu negara di ASEAN pun turut terseret dalam konflik Laut Cina Selatan, lebih tepatnya terkait nine-dash-line milik Cina yang mencakup sebagian Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna. Hal ini menyebabkan kedaulatan Indonesia terancam karena adanya berbagai konfrontasi yang pernah terjadi, seperti insiden penangkapan ikan di mana kapal-kapal nelayan Cina memasuki wilayah perairan Natuna yang termasuk dalam ZEE Indonesia.Â
Kedaulatan Indonesia atas konflik Natuna yang berawal dari sengketa perbatasan Laut Cina Selatan ini juga memiliki relevansi dengan bidang ekonomi, yakni dengan adanya kekayaan sumber daya alam dan kelautan yang dimiliki oleh Natuna. Sumber daya alam tersebut menjadi salah satu aset besar Indonesia khususnya untuk menyokong ekonomi, namun menjadi terancam dengan adanya konflik perbatasan dengan Cina. Berangkat dari ancaman atas kedaulatan ini, Indonesia pun berupaya untuk meningkatkan kapasitas militer untuk melakukan patroli di sekitar wilayah yang berkonflik dan melakukan berbagai diplomasi untuk menegaskan teritorialnya.
Indonesia terus menegaskan bahwa klaim nine-dash-line yang dikeluarkan oleh Cina tidak memiliki dasar hukum menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, yang diakui oleh Indonesia. Indonesia juga tidak mengakui klaim Cina atas perairan di sekitar Natuna dan menekankan bahwa perairan tersebut sepenuhnya berada dalam ZEE Indonesia.Â
Pada tahun 2017, pemerintah Indonesia secara resmi memberi nama pada bagian utara dari ZEE di sekitar Kepulauan Natuna sebagai "Laut Natuna Utara" untuk menegaskan kedaulatan dan memberikan identitas yang jelas pada wilayah tersebut dalam upaya diplomatik dan hukum internasional.
Adapun dalam lingkup regional, Indonesia terlibat secara aktif dalam diplomasi, terutama melalui kerja sama dengan negara-negara ASEAN dan forum-forum multilateral lainnya, untuk memperjuangkan penyelesaian damai dan berbasis hukum terhadap sengketa di Laut Cina Selatan. Negara-negara anggota ASEAN pun telah menunjukkan dukungan solidaritas terhadap Indonesia dalam sengketa Natuna, menegaskan pentingnya prinsip-prinsip kedaulatan, keamanan, dan kesejahteraan bersama di kawasan tersebut.
Berdasarkan hal yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa sengketa perbatasan Laut Cina Selatan yang melibatkan Cina, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Filiphina, dan Brunei Darussalam yang belum terselesaikan justru meluas dan melibatkan Indonesia.Â
Dalam hal ini, kedaulatan Indonesia pun menjadi terancam karena adanya klaim tumpang tindih atas wilayah maritim, kepentingan ekonomi, dan konfrontasi atas insiden penangkapan ikan. Indonesia pun telah merespons dengan tegas dan terorganisir untuk mencari penyelesaian yang adil dan berkelanjutan dalam kerangka hukum internasional.