Human trafficking bukanlah sebuah isu hanya yang baru-baru saja ini kita dengar. Human trafficking atau perdagangan manusia merupakan suatu isu genting yang sudah sejak dahulu ada dan terjadi. Bahkan, di era modern seperti sekarang ini, masih cukup banyak terdapat pemberitaan yang menyiarkan kasus-kasus mengenai perdagangan manusia atau human trafficking, yang terjadi pada banyak masyarakat terkhususnya kaum perempuan dan anak-anak di bawah umur yang menduduki peringkat tertinggi sebagai korban akhir-akhir ini.
Terdapat berbagai macam faktor yang menjadi pemicu akan terjadinya human trafficking, salah satunya adalah adanya ketidaktahuan masyarakat terhadap pemahaman umum akan human trafficking, hal ini dikarenakan oleh banyaknya masyarakat yang memiliki keterbatasan dalam hal pendidikan dan pengetahuan, yang sebagian besar dari mereka merupakan masyarakat yang berasal dari kalangan keluarga tidak mampu, serta mereka yang terjun ke dalam permasalahan ekonomi, politik, juga sosial. Hal tersebut terjadi tidak lepas sebagai akibat dari melonjaknya angka pengangguran di Indonesia, terlebih lagi semenjak terjadinya pandemi COVID-19 yang berlangsung sejak 2020 silam. Beraneka ragam kebutuhan hidup yang semakin sulit didapatkan serta terbatasnya lapangan pekerjaan membuat beberapa orang memutuskan untuk mengambil cara yang lebih instant untuk meraup keuntungan.
Di tengah zaman yang terjadi dan terdapat kelajuan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, juga adanya signifikansi pada kenaikan jumlah pengguna dan penikmat jejaring internet terkhususnya media sosial, human trafficking tentu saja menjadi jauh lebih mudah dan lebih leluasa untuk dilakukan oleh para pelaku dari kejahatan ini. Berbagai macam jenis aplikasi yang ditujukan untuk dapat memudahkan penggunanya dalam mengirimkan pesan instan yang dapat dilakukan dengan menggunakan status anonim alias tanpa identitas, seakan-akan menjadi jalan yang akhirnya memberikan ruang lebar untuk para pelaku human trafficking ini untuk dapat melancarkan aksinya. Dikarenakan para pengguna dari aplikasi pesan instan yang hadir pada saat ini datang dari berbagai umur dan kalangan, maka tidaklah heran jika bukan hanya orang dewasa saja yang menjadi korban dari human trafficking ini, namun terdapat juga anak di bawah umur yang menjadi korbannya.
Jika kita merujuk pada perspektif hukum, pengertian perdagangan manusia atau human trafficking sendiri sesuai Undang-undang No. 21 Tahun 2007, yaitu "perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi."
Perdagangan manusia yang biasanya terjadi pada perempuan dan anak di Indonesia kebanyakan sebagai pornografi, prostitusi, pembantu rumah tangga dan peminta-minta. Perdagangan manusia atas perempuan dan anak merupakan pelanggaran konkret atas hak asasi manusia, baik secara terang-terangan maupun secara tertutup. Perempuan dan anak sebagai makhluk ciptaan Tuhan memiliki hak dan kewajiban yang hendaklah dilindungi dan memiliki harga diri, bukan diperdagangkan layaknya barang dengan menggunakan tipu daya. (Wulandri & Wicaksono, 2014:16)
Faktor ekonomi adalah salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya dan berlangsungnya perdagangan anak di Indonesia. Oleh karena keluarga memiliki banyak fungsi dan peran dalam perkembangan anak, faktor ekonomi di dalam keluarga mampu mempengaruhi keluarga tersebut secara positif maupun negatif terhadap tumbuh kembang si anak. Segala pengetahuan serta kecerdasan intelektual manusia berawal dari orang tua dan lingkungan keluarga sendiri. Hal ini dikarenakan jika ditilik dalam perspektif pendidikan, keluarga merupakan sumber pendidikan yang utama.
Eksploitasi ekonomi yang terjadi pada korban perdagangan anak tidak terlepas dari adanya kesulitan ekonomi yang dialami. Belum lagi pada era pandemi seperti saat ini, terdapat perubahan komposisi angkatan kerja Indonesia yang diakibatkan oleh adanya wabah virus corona (COVID-19). Telah diprediksi juga bahwa akan ada peningkatan tajam dari jumlah pekerja paruh waktu dan setengah menganggur pada tahun 2020. Hal tersebut menjadi salah satu faktor terjadinya eksploitasi secara ekonomi dalam tindak pidana perdagangan anak.
Faktor penyebab terjadinya perdagangan manusia yang selanjutnya adalah faktor sosial atau faktor lingkungan. Lingkungan merupakan suatu kondisi baik berbentuk benda, keadaan, dan pengaruh yang terletak pada ruangan yang kita tinggali dan memiliki pengaruh pada hal-hal yang hidup, termasuk manusia di dalamnya itu sendiri. Lingkungan sosial akan meninggalkan pengaruh yang cukup besar kepada seseorang terutama terhadap proses perkembangan pribadi seorang anak. (Ardianto, 2013:13)
Dalam faktor ideologi mencakup budaya yang menjadi penyebab dari adanya perdagangan manusia. Human trafficking tidak pernah lepas dari adanya budaya dari setiap daerah yang telah terwujud dalam beberapa situasi, seperti peran anak dalam tanggungjawab mereka kepada orang tuanya. Dalam budaya ini mempunyai kemampuan yang nantinya memiliki pengaruh terhadap terjadinya trafficking. Seperti contoh, anak-anak rawan saat menghadapi tuntutan dan pengharapan dari orang tua mereka. Hal ini dipengaruhi adanya keyakinan bila anak-anak tidak boleh bertanya macam-macam kepada orang tua mereka. (Laurensius 2016:7)
Contoh dari budaya sebagai faktor penyebab terjadinya perdagangan manusia adalah adanya budaya perkawinan dini. Di beberapa daerah di Indonesia, masih banyak masyarakatnya yang membiasakan adanya perkawinan di bawah umur atau yang biasa disebut dengan perkawinan dini. Jika dilihat dari segi hukum, di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menyatakan bahwa usia yang legal atau usia yang sah bagi perempuan untuk melaksanakan perkawinan adalah usia 16 tahun. Akan tetapi, dalam realitanya masih banyak sekali di luaran sana perempuan-perempuan yang usianya belum genap 16 tahun namun sudah melaksanakan perkawinan yang diberikan izin oleh kedua orang tuanya atau pengadilan yang justru menaikkan umur tetap agar dapat melangsungkan perkawinan. Perkawinan dini menjadi salah satu penyebab dari tingginya angka perceraian yang akhirnya berujung kepada rawannya terjadi tindak trafficking. Ketika bercerai, perempuan menjadi memiliki beban untuk menghidupi dirinya (juga bersama dengan anak-anaknya), apalagi jika diikuti dengan adanya keterbatasan dari segi pendidikan serta keterampilan yang dimiliki. Hal ini akan menjadikan perempuan tersebut dihadapkan pada sempitnya pilihan akan pekerjaan.
Faktor geopolitik yang turut menyumbang sebagai penyebab dari terjadinya tindak perdagangan manusia adalah adanya perang, konflik, serta operasi militer. Sally Cameron (2008:1991) memiliki pernyataan jika kerusuhan politik serta konflik turut serta dalam peningkatan resiko perdagangan manusia dalam aspek prostitusi. Sebagai contoh, di Guatemala para pelaku human trafficking menjadikan perempuan yang menjadi korban dari adanya kekerasaan seksual yang dalam arti sempit dikatakan pemerkosaan selama terjadinya konflik bersenjata untuk diperdagangkan.