Mohon tunggu...
Celine Dwita
Celine Dwita Mohon Tunggu... -

Biology Education Ungraduated

Selanjutnya

Tutup

Nature

BBM Naik, Ayo Ganti Dengan Ganggang

22 Desember 2014   00:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:46 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Indonesia merupakan negeri yang kaya akan sumber daya alam (energi) yang melimpah dan beraneka ragam jenisnya, baik yang terkandung di dalam laut maupun perut bumi Indonesia. Namun sayang, kekayaan alam tersebut tidak dikelola dengan bijak, berkeadilan dan terpadu. Tak pelak kekayaan alam ini pun malah menjadi kutukan sumber daya alam (Resources Curse)dan tidak bisa dinikmati secara murah/gratis oleh rakyatnya yang sebagian besar miskin. Hal ini disebabkan kebijakan energi nasional dikelola tanpa arah, antara satu sektor kebijakan dengan sektor lainnya seolah tidak terkait satu sama lain. Begitu juga belum adanya payung hukum (undang-undang induk energi) yang bisa mengatur kebijakan pengelolaan energi nasional secara komprehensif.

Perilaku/gaya hidup masyarakat merupakan salah satu faktor penyebab tingginya konsumtifitas energi di negara kita, khususnya terjadi pada masyarakat menengah ke atas. Kita lihat saja, banyak orang-orang kaya memiliki lebih dari sepuluh rumah tinggal yang tidak dimanfaatkan sama sekali dan kesepuluh rumah itu menyerap energi yang sama. Jadi bila dilakukan perbandingan jumlah kepala keluarga dengan pemakaian energi maka hal ini sungguh sulit terlihat berapa penyerapan energi perkeluarga. Oleh karenanya, gaya hidup seperti ini juga menyebabkan tingginya penggunaan energi

Permasalahan ini muncul seiring dengan kebutuhan manusia akan energi. Semakin maju kehidupan manusia khususnya dalam bidang teknologi, maka semakin besar ketergantungan manusia akan kebutuhan energi. Sehingga muncullah beberapa masalah yang mengganggu ketersedian energi utama yang ada di bumi, oleh karena itu manusia harus menemukan energy alternative lain atau dengan menganekaragamkan sumber energy lain, sehingga penggunaan energi minyak dan gas akan dapat dikurangi dan dihemat, bahkan dapat dialihkan menjadi energy lain. Kami mengusungkan satu inovasi untuk mengganti energy tersebut yaitu dengan menggunakan salah satu jenis ganggang yaitu Ulva sebagai penghasil bioetanol dan biodiesel. Meskipun masih dalam tahap riset yang mendalam, potensi Ulva sebagai penghasil bioetanol dan biodiesel sangat menjanjikan dimasa mendatang.

Apakah kamu tahu  apa itu Ulva? Ulva adalah ganggang dengan ukuran besar atau disebut makro alga yang tumbuh di laut. Ulva ini berpotensi mengasilkan bioethanol dengan kualitas baik dan siap untuk digunakan.

Mengapa harus bioethanol dari Ulva? Mari kita ingat kembali  bahwa sebagian besar wilayah Indonesia adalah perairan, sedangkan daratan yang kurang luas ini banyak di penuhi dan digunakan untuk lahan pemukiman, sehingga untuk lahan bercocok tanam sangat krisis. Nah Ulva ini tumbuh di permukaan air laut dan mudah berkembangbiak, tidak seperti bioetahol yang sudah banyak  yaitu jagung, sereal, gandum, dan lainnya yang penanamannya membutuhkan tanah yang cukup luas dan bila ditimbang dari segi kebergunaannya lebih baik digunakan sebagai bahan pangan yang kita konsumsi. Adapun bila dibandingkan dengan mikro alga atau ganggang yang ukurannya lebih kecil, kita dapat menghasilkan bioethanol lebih banyak dari bahan dasar Ulva. Selain itu Ulva juga dapat kita panen setiap minggunya, sehingga produksi bioethanol dapat terus berlangsung tanpa takut habis stok.

Apa sih sebenarnya kandungan Ulva ini? Ulva mengandung klorofil, protein, fosfor, kalium, zat besi, vitamin A, vitamin C dan tinggi selulosa. Untuk pembuatan bioethanol,  sellulosa yang sangat diandalkan, pada sellulosa ini terdapat gugus gula yang dapat di hidrolisis oleh mikroorganisme, dari gugus gula yang kompleks dengan fermentasi dipecahlah kembali menjadi asam piruvat, kemudian menjadi asetal dehid dan akhirnya Bioethanol.

Nah, bagaimana cara membuat bioethanol dari Ulva ini? Kita dapat mengambil Ulva dari laut langsung ataupun Ulva ini di kembangbiakan terlebih dahulu kita dapat gunakan lahan di permukaan air laut/ pantai dan kemudian kita panen. Ulva yang telah dipanen kemudian bi potong halus diberikan perlakuan dengan memberikan jamur Saccaromyces cerevisiae  dan menutup rapat tempat perlakuan  kemudian biarkan sehingga terjadi fermentasi dari Ulva tersebut. Dari hasil fermentasi dihasilkan bioethanol 95 % dengan destilasi dan dapat ditingkatkan lagi konsentrasinya menjadi 99, 7 % dengan purifikasi.

Setelah mengetahui apa itu bioethanol Ulva, tentunya kita ingin mengetahui apa sajakah keuntungan kita menggunakan bioethanol Ulva ini, yaitu: (1) hemat lahan (2)  lebih ramah lingkungan dibanding dengan BBM fosil yang kita gunakan saat ini dilihat dari penipisan lapisan ozon, perubahan iklim, toksik penyebab kanker bagi manusia, pencemaran udara, dan knoking lebih rendah (3) dapat diperbaharui, karena mudah dikembangbiakan (4) menghasilkan bioe thanol lebih banyak dibanding mikro alga.

Dengan mengetahui keuntungan dan keunggulan bioethanol Ulva ini, baiknya kita bisa pertimbangkan penggunaan bioethanol ini untuk dijadikan alternative pengganti BBM fossil yang kita gunakan sekarang, karena BBM fossil ini lambat laun akan berkurang dan akhirnya habis. Sehingga kita akan mendapatkan masalah besar bila tidak mencari alternative yang tepat. Info terbaru bahwa Amerika Serikat, Jepang dan Kanada telah menargetkan penggunakan alga sebagai bahan dasar pembuatan bahan bakar. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah akan bergantung pada BBM fossil yang akan habis?  Semua pilihan tergantung anda, terimakasih

Referensi:

Limayem A., Steven C. Ricke. (2012). Lignocellulosic biomass for bioethanol production: Current perspectives, potential issues and future prospects. Progress in Energy and Combustion Science. Vol 38, Pp 449-467

Nanda S., Mohammad J., Reddy S.N., Kozinski J.A. & Dalai A.K. (2013). Pathways of lignocellulosic biomass conversion to renewable fuels. Biomass Conv. Bioref. DOI 10.1007/s13399-013-0097-z

Pradinaud C., J. Champenois, M. Benoit, D. Brockmann,  A. Hélias. (2014). Environmental assessment of bioethanol from onshore grown Ulva.  9th International Conference LCA of Food San Francisco.

Saprativ P. Das, Arabinda Ghosh, Ashutosh Gupta, Arun Goyal, and Debasish Das. (2013). Lignocellulosic Fermentation of Wild Grass Employing Recombinant Hydrolytic Enzymes and Fermentative Microbes with Effective Bioethanol Recovery. Hindawi Publishing Corporation. DOI 10.1155/2013/386063

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun