Cerita dibawah ini terinspirasi dari kisah nyata dengan pengembangan cerita di kanan dan kirinya. Cerita ini juga dibuat untuk mengenang salah satu teman dari kami…agar keberadaannya selalu berada dekat dalam hati kami.
„Tidak…lepaskan aku…aku ngga gila…aku ngga mau tinggal disini!!!“
Ailsa meronta-ronta dengan sekuat tenaga berusaha melepaskan kedua tangannya dari cengkeraman pria-pria bule yang berbadan besar.
Mira trenyuh melihat keadaan adik perempuan semata wayangnya itu. Sesungguhnya pun ia tidak ingin memasukkan Ailsa ke rumah sakit jiwa. Namun ia terpaksa melakukannya setelah adiknya kedapatan mencoba bunuh diri lagi, setelah tiga percobaan sebelumnya berhasil digagalkan.
“Aku ngga gila, Mir. Tolong aku. Aku ngga mau disini.“pinta Ailsa lesu.
Kalimat yang keluar dari mulutnya selalu sama. Ailsa tahu, meronta tidak berguna bagi dirinya. Tubuhnya yang hanya 155 cm dengan berat 47 kg tidak akan mampu melawan kedua pria yang menahan tangan kanan dan kirinya, yang masing-masing memiliki tinggi badan setidaknya 170 cm dengan berat 75 kg. Namun Ailsa tahu, lirih yang keluar dari mulutnya akan membuat Mira berpikir 10 kali untuk meninggalkannya di rumah sakit jiwa ini. Hanyalah Mira harapan terakhirnya, hanya Mira yang dianggap telah mengerti isi hatinya.
“Ailsa, aku udah ngga punya pilihan lain lagi. Kamu udah empat kali nyoba bunuh diri dan kamu sama sekali ngga mau cerita sama kami apa masalah kamu. Kami sekeluarga prihatin sama keadaan kamu, Sa. Makanya kamu harus rehabilitasi disini. Aku juga ngga mau benernya ninggalin kamu disini, tapi kami ingin yang terbaik buat kamu.”ucap Mira akhirnya setelah tidak tahan lagi melihat raut wajah adiknya yang sudah terlihat letih itu. Rambutnya yang dulu cerah kini menjadi kusam dan lengket karena peluh yang telah dikeluarkannya sewaktu meronta tadi. Kantung mata hitam terlihat jelas di wajahnya. Padahal Ailsa yang dikenalnya adalah gadis yang selalu terlihat ceria dan selalu berprestasi. Sepanjang pengetahuan Mira, teman-teman Ailsa pun tidak sedikit. Bahkan tak jarang Ailsa dijadikan sandaran bagi teman-temannya yang ingin berbagi cerita.
„Kalau kalian sayang sama aku, ijinkan aku mati. Hidupku udah ngga ada gunanya lagi. Aku ngga gila, Mir. Aku cuma mau mati ajah. Mira….kamu tahu itu kann? Aku denger kamu ngomong gitu sama mama. Kamu tahu kan kalo itu mauku? Please, Mir….“
Mira tertegun mendengar kalimat yang mengalir dari mulut Ailsa dengan sangat lancarnya.
„Sayang, kamu jangan ngomong gitu. Kamu butuh bantuan. Aku ngga bilang kamu gila, Sa. Tapi kamu butuh bantuan untuk ngatasin masalah kamu, makanya kamu dibawa kesini. Karena dokter-dokter disini bisa langsung bantuin kamu.“
Mira tetap berusaha meyakinkan Ailsa untuk tinggal di rumah sakit jiwa itu. Hari ini Mira sudah bertekad untuk tidak kalah melawan Ailsa yang memang terkenal keras kepala di keluarga mereka, sama seperti papa.
„Kalau kamu sayang kami, keluarga kamu. Kamu harus mau berobat disini, Sa. Rumah sakit ini ngga kayak rumah sakit jiwa di Grogol. Aku udah pernah masuk buat liat-liat. Suasananya kayak hotel. Kamu ngga akan ngerasa di rumah sakit.“
Ailsa tertunduk dan tidak membalas Mira dengan satu kalimatpun. Mira kemudian mengangkat dagu Ailsa perlahan dan mengucapkan kalimat yang sama sekali dibencinya, kalimat yang tidak ingin dikatakannya namun terpaksa dikatakannya juga, „kamu sayang mama papa kan? Lakukan ini untuk mereka kalau kamu tidak mau lakukan ini untuk kamu sendiri, setelah itu aku janji, aku akan mengijinkan kamu untuk berbuat apa yang kamu mau.“ucap Mira kepada adiknya itu.
Ailsa mengangguk lemah.
„Kamu coba tinggal disini seminggu ya. Seminggu aja, demi mereka. Kalau kamu masih ngga betah, aku janji bakal ngeluarin kamu dari sini. Gimana?“
Mira mencoba membujuk Ailsa sama seperti bila ia sedang membujuk anaknya dirumah yang baru saja berumur 4 tahun.
„Seminggu? Tiga hari aja ya?“
Mira tersenyum mendapati bujukkannya berhasil, „Sa, seminggu dong. Kasih waktu dokter buat ngerti masalah kamu.“
Ailsa terdiam dan mengangguk sebagai jawaban, namun kepalanya tetap tertunduk. Mira tidak pernah menyangka, bahwa Ailsa tidak akan pernah lagi mengangkat kepalanya dengan bangga untuk menghadapi dunia.
„Tapi kamu akan pegang janji kamu, kann? Aku boleh berbuat apa yang aku mau.“
Mira menawarkan jari kelingking kanannya untuk dikaitkan dengan jari kelingking Ailsa.
„Aku janji,“ucapnya setelah jemari mereka berdua saling terkait.
*
Ailsa termenung di dalam kamarnya sembari menatap kosong ke pemandangan yang terlihat dari jendela kamarnya. Hari ini adalah hari ketiga ia berada di rumah sakit ini. Ia enggan berkomunikasi dengan dokter di rumah sakit itu, jadi selama tiga hari ini ia diamkan saja dokter-dokter bule itu. Memang betul ucapan Mira, rumah sakit ini tak berbeda dengan rumah-rumah disampingnya, hanya saja kalau rumah disampingnya dikatakan memiliki satu kavling, nah rumah sakit ini berada di atas dua kavling, jadi jumlah kamarnya bisa dua kali lipat rumah biasa. Karena besar kamar di rumah sakit ini tidak sebesar rumah biasa, maka jumlah kamar di rumah sakit ini bisa 5 kali rumah biasa. Tidak banyak memang, mungkin hanya orang-orang kaya yang agak gila saja yang berobat di rumah ini, atau mungkin memang pemiliknya ingin terkesan eksklusiv. Sama sekali tidak terdengar teriakan orang gila seperti yang sering ia lihat di drama-drama yang disiarkan di televisi. Bahkan mungkin ia yang bisa dikira lebih gila dibandingkan yang lainnya mengingat Ailsa meronta dan berteriak kencang saat dimasukkan ke rumah sakit ini. Pakai bahasa Indonesia pula, padahal mereka sedang berada di Australia. Namun tetap saja sebagus apapun tempat tinggalnya untuk seminggu kedepan itu, walalupun suasana di dalamnya seperti hotel, rumah ini menyandang nama rumah sakit jiwa dan Ailsa tidak betah disana. Dalam lubuk hatinya yang terdalam Ailsa tahu, hanya dia yang dapat mengatasi penderitaan batinnya itu.
Kamar Ailsa tergolong mungil. Di dalam kamar itu hanya terdapat satu ranjang single, lemari mungil di sebelah ranjang dan kamar mandi ala kadarnya. Jendela dan pintu dikunci, terutama jendela ditambah teralis, untuk menghindari pasien yang ingin melarikan diri. Dari kamar jendelanya, Ailsa dapat mengamati keadaan di sekitar rumah sakit itu. Kamarnya menghadap ke arah jalanan, jadi Ailsa sering menghabiskan waktu di sisi jendela untuk mengamati kehidupan di luar sana, walaupun boleh dibilang kompleks itu tergolong sepi, namun Ailsa cukup terhibur melihat anak-anak kecil bermain sepeda disana setiap sorenya. Agar terlihat rindang, pohon – pohon besar ditanam di sepanjang trotoar agar sinar matahari tidak terasa terlalu terik di musim panas, seperti saat ini.
Pintu kamar Ailsa terdengar terbuka, Ailsa tidak peduli dan tetap memandang keluar jendela. Menurut perhitungannya, itu pasti perawat yang mengantarkan makan siangnya.
“Waktunya makan siang.”ucap perawat yang sudah berumur kurang lebih 40 tahun itu dengan ceria seperti baby sitter yang mengajak bicara anak berumur 2 tahun, tentunya dalam bahasa inggris.
Ailsa menoleh kearahnya dan memberikan senyuman, namun tidak menjawab.
„Sudah lapar?“tanya perawat itu lagi, berusaha untuk mendapatkan jawaban dari Ailsa.
„Belum.“jawab Ailsa singkat. Kata pertama yang ia ucapkan setelah dua hari membisu.
Perawat itu langsung tersenyum lebar mendengar suara Ailsa yang merdu, padahal waktu di ruangan suster tadi ia sudah diwanti-wanti tidak perlu berbicara, karena sang pasien tidak akan menjawab. Maklum, hari ini adalah hari pertamanya bekerja setelah cuti dua minggu, jadinya ia tidak tahu peringai Ailsa dua hari sebelumnya.
„Ternyata kamu bisa berbicara. Kenapa semua rekan kerjaku bilang tidak perlu bicara sama kamu, ya?“cerita perawat itu tanpa diminta Ailsa.
Kembali Ailsa menjawab dengan senyum.
„Atau jangan-jangan kamu tidak pintar berbahasa inggris?“
„Enak saja.“jawab Ailsa dalam hati, diluar ia hanya kembali tersenyum.
„Ok..aku taruh makanan kamu disini ya, nanti kalau kamu sudah lapar harus dimakan. Aku harus keliling dulu untuk kasih makan yang lainnya. Nanti kalau kerjaan aku sudah selesai, aku pasti datang lagi untung ngobrol sama kamu.“
„Thanks.“jawab Ailsa agar perawat itu lekas pergi dan ia dapat kembali menikmati pemandangan di luar jendela kamarnya.
„Masih belum laper? Udah jam 2 lho.“
Ailsa hampir pingsan mendengar ada orang yang menyapanya dalam bahasa Indonesia. Spontan Ailsa membalik tubuhnya, ingin tahu siapa gerangan yang baru saja menyapanya.
„Siapa kamu? Gimana caranya kamu masuk? Aku ngga denger kamu buka pintu. Kamu kok bisa bahasa Indonesia?“tanya Ailsa spontan. Setengah takut setengah penasaran.
Pria di hadapannya itu terlihat berada di awal tiga puluhan. Potongan rambutnya seperti Brad Pitt, tapi tentu saja warna rambutnya berbeda. Rambut pria ini berwarna hitam. Wajahnya ramah dan lumayan ganteng. Jauh lebih ganteng dibandingkan mantan pacar Ailsa. Dan satu hal lagi yang menarik dari pria ini, pastinya ia blasteran. Tidak kalah ganteng apabila dibandingkan dengan Ashraf Sinclair.
“Wow..wow…banyak amat pertanyaannya. Well, bahasa Indonesia kan bukan bahasa dewa. Dan aku bisa banyak bahasa. Katakanlah aku indo. Jadinya aku bisa bahasa Indonesia juga.”jawab pria itu.
“Kamu kerja disini?”
“Nope..aku tahu kamu sejak kamu kerja di café sandwich.”jawab pria itu lagi dengan senyum patennya.
“Darimana kamu tahu aku disini? Gimana cara kamu bisa masuk kesini.“
„Well, in fact aku yang secara tidak langsung menyarankan agar kamu dibawa kesini.“
Pria itu mengimbangi langkah Ailsa yang beranjak pelan dari jendela, sedangkan dirinya melangkah pelan dari pintu masuk. Keduanya kemudian bertemu di samping ranjang.
„Kamu kenal kakakku?“tanya Ailsa sungguh-sungguh penasaran.
„Nope…never in my life. Ok let’s cut it out. Namaku Sam dan aku ada disini bukan karena suruhan siapapun. Aku lihat kamu di rumah sakit, dan aku ingin tahu keadaan kamu setelah kamu disini, karena kamu ada disini atas saran aku. Terus aku lihat you seem lonely and you get bored staying here. Tapi tenang saja, aku tidak akan berbuat jahat. Aku hanya ingin kenal kamu. Jadi jangan takut.“
„Ok..you can read my mind. That’s scary.”ucap Ailsa melangkah menjauh dari Sam.
“Everyone who sees your face right now will see how scared you are.”
Melihat wajah Sam, Ailsa menyadari bahwa raut wajahnya memang setengah ketakutan.
„Are you relax now? Do you want to drink?“
Ailsa mengangguk, menjawab kedua pertanyaan yang dilontarkan oleh Sam. Sam meraih minuman yang ada di atas nampan makanan dan memberikannya pada Ailsa, lalu menyuruh Ailsa untuk duduk di atas ranjang.
“Aku hanya ingin jadi teman kamu. I just want to befriend with you. Is that wrong?”tanya Sam sembari membungkukkan badannya di depan Ailsa. Mencari kepastian di mata Ailsa.
“Sorry. Tentu saja boleh.”
Ailsa meletakkan gelas itu ke atas lemari mungil di sebelah ranjangnya sebelum ia melanjutkan kalimatnya, “tapi nanti kamu bisa dikira gila.”
Sam tersenyum geli mendengar kalimat Ailsa.
“Kenapa? Karena kamu merasa dengan kamu ada disini kamu itu orang gila?”
Ailsa mengangkat kedua bahunya dan pertanda itu membawa Sam cukup yakin bahwa lawan bicaranya sudah mau menerima dirinya, jadi Sam memberanikan diri untuk duduk disebelah Ailsa.
„Menurut aku kamu tidak gila, tapi kamu bermasalah. Kamu tidak mau cerita masalah itu dan kamu pilih suicide. Kenapa kamu tidak selesaikan masalah kamu?“
„It’s a long story.“desah Ailsa.
“Well..I have plenty of time.”
Ailsa memandang ke arah Sam, “Why do you want to know about me. And why I should tell you the whole story?”
“Because if I’m not mistaking, I fell that you still want to do the suicide. You can’t be stopped until you die.”
Ailsa tertegun mendengar ucapan Sam.
“I won’t stopping you, I’m just curious with the reason. That’s all. I can’t guarantee that I can solve your problem. I’m not a psychiatrist after all.”
“And for that reason you are following me to this place.”
“You can say so.”
Ailsa takjub dengan ucapan Sam. Sam sungguh berbeda dengan semua orang yang pernah ia temui. Semua yang melihat caption di Friendster Ailsa hanya menanyakan apa permasalahannya namun Ailsa yakin mereka tidak 100% peduli akan keadaannya, karena tidak seorangpun yang menghampiri dirinya ketika Ailsa menulis caption itu di Friendster. Mereka hanya meninggalkan pesan tanpa ada seorangpun yang berusaha menghubunginya. Juga papa mama dan Mira. Mereka tidak ingin tahu alasannya bunuh diri. Mereka hanya menanyakan mengapa Ailsa mengambil jalan pintas ini, padahal di mata mereka Ailsa adalah seorang anak yang berpendidikan dan berakal panjang. Mereka cenderung menyalahkan ketimbang membantu.
“Can I trust you?”tanya Ailsa akhirnya.
“’Trust’ is not something you can ask to someone else. ‘Trust’ is something that you feel to someone else. You should ask that question to yourself, not to me.”jawab Sam tegas.
Ailsa kembali tertegun. Ia hanya tahu nama pria di hadapannya. Ia bahkan tidak tahu latar belakangnya. Namun hanya dalam waktu yang singkat, Sam dapat membuka mata dan hatinya. Ailsa seakan menemukan seseorang yang dengan tulus mau mendengar ceritanya. Seseorang yang sejak lama tidak ada di sisinya. Bukan karena meninggalkan Ailsa, tapi karena Ailsa yang meninggalkannya. Sejak itulah Ailsa mulai terpuruk, tidak memiliki seseorang untuk berbagi cerita dan tidak memiliki seseorang yang dapat mengerti dirinya.
“Well…the truth is, akulah yang memulai semua masalah ini.”ucap Ailsa mengawali ceritanya.
Sam memberikan wajah tenangnya dan dari wajah itu Ailsa tahu, ia diijinkan untuk melanjutkan ceritanya.
“Kamu tahu, dari kecil aku selalu berprestasi. Aku selalu masuk di rangking 3 besar di kelasku. Aku juga aktif di organisasi. Mama pernah bilang, kalau aku terus berprestasi aku boleh kuliah di luar negeri. Jadinya aku terus berusaha untuk selalu berprestasi. Dan aku berhasil. Sesuai janji, mama mengijinkan aku untuk kuliah di luar negeri. Pikirku, agar tidak terlalu membebani keluarga, aku memilih untuk kuliah di Jerman. Karena saat itu kuliah disana tidak dipungut biaya. Pengeluaran hanyalah untuk biaya hidup sehari-hari.”
Saat Ailsa ingin melanjutkan ceritanya perutnya berontak. Dari perut Ailsa keluar suara yang sangat tidak diharapkan Ailsa saat itu.
“Sepertinya kamu lapar.”ucap Sam tersenyum geli.
Ailsa hanya bisa malu dibuatnya.
„Come grab some food and get your strength back together. I’m happy that you are willing to tell me your story. I have to go now, but I promise you I’ll be back to hear the rest of your story.”
Sam menggenggam tangan Ailsa erat, membuat Ailsa yakin bahwa Sam pasti akan datang lagi untuk mendengar ceritanya.
“Hello again dear.”
Ailsa terkejut mendengar suara perawat yang tadi mengantar makanannya. Keterkejutannya itu membuat Ailsa tidak sempat melihat kapan Sam pergi.
“Do you want to take the tray?”
Perawat itu mengikuti pandangan mata Ailsa yang menatap ke arah nampan makannanya.
“Ya ampun…kamu belum makan ya? Kamu mau makan sekarang?”
Ailsa mengangguk.
„Ok..aku akan datang lagi nanti. Take your time, dear. Oh ya, siapa yang baru mengajakmu bicara?”
„Hmm..teman.“jawab Ailsa sembari mulai memakan hidangannya.
Makanan yang kemarin terasa tidak enak hari ini terasa berbeda. Entah karena Ailsa baru saja menemukan teman, atau karena saat ini ia sangat lapar.
„Teman baikmu?“
Ailsa menatap perawat itu, „hmm..you can say so. I just met him today.”
“I’m happy for you. But .. I wish that I can be your friend to. Feel free to tell me your story, okay.”
Ailsa mengangguk dan memberikan senyumannya kepada perawat itu. Ciri khas budaya timur yang melekat erat dalam darahnya. Selalu tersenyum apabila kau tidak bisa menjawab atau berkata apapun. Maklum, saat itu mulut Ailsa penuh dengan makanan yang sedang dikunyahnya.
„Aku tinggal kamu yach, biar kamu bisa makan dengan tenang.“
Begitu perawat itu menutup pintu kamarnya, Ailsa melanjutkan makan siangnya.
Sam baru datang pada malam harinya. Sesudah makan malam dibersihkan dari kamar Ailsa.
„Sorry baru datang sekarang, kamu belum ngantuk kan?“tanya Sam lembut.
„Belum kok. Aku justru lagi bosan, jadi kamu datang tepat pada waktunya.“
“So..apa lanjutan cerita kamu itu?”
“Kita tadi sampai di aku pergi ke Jerman yach?”
Sam mengangguk.
„Begitu sampai di Jerman, aku sadar. Aku harus berjuang keras agar tidak mengecewakan papa dan mama. Sebisa mungkin aku belajar dua kali lebih giat dari orang Jerman. Sejak awal aku belajar bahasa 5 kali lebih giat dari teman-teman Indonesia lainnya. Setahun pertama di Jerman aku nyaris tidak punya teman, karena aku lebih memilih belajar dibandingkan menghabiskan waktu diluar. Namun kebiasaan belajar 5 kali lebih giat itu mulai berubah sejak kehadiran Martin.“
Ailsa beranjak dari atas ranjang menuju ke tempat favoritnya, tepi jendela. Sedangkan Sam tetap duduk diatas ranjang. Sembari memandang ke luar Ailsa melanjutkan ceritanya.
„Martin jauh berbeda dari aku. Dia itu orangnya cenderung santai. Tapi kesantaiannyalah yang akhirnya membuat aku merasa nyaman berada di sisinya. Kalau dengan Martin aku merasa bisa bercerita. Ia bisa mengembalikan otot-ototku yang tegang dengan candanya. Pacaran bersama Martin selama 7 tahun adalah hal terindah dalam hidupku. Martin tidak pernah menuntut apapun. Dia menyayangiku apa adanya. Mungkin malah aku yang lebih sering menuntutnya.”
Tatapan Ailsa terlihat kosong dan sedih. Ia sempat menghentikan ceritanya sejenak, namun setelah menarik napas panjang, Ailsa melanjutkan ceritanya kembali.
„Seperti yang aku bilang tadi, Martin tidak seperti aku. Ia sering menemui kesulitan dalam menghadapi ujian. Aku sering mendorongnya untuk belajar lebih giat. Aku bahkan rela ikut begadang untuk belajar bersama. Pada intinya, aku sering memaksa Martin untuk berusaha sampai titik darah penghabisan. Aku ingin apabila kami menikah nanti, maka pendidikan kami sepadan. Sama-sama lulusan Jerman, aku sama sekali tidak mau apabila Martin putus sekolah di tengah jalan.“
Ailsa mendesah, seakan menyesali perbuatannya.
„Akhirnya aku yang selesai kuliah duluan. Selama aku mencari pekerjaan, aku terus membangkitkan semangat Martin untuk terus belajar, padahal saat itu Martin sudah mengutarakan niatnya untuk pulang ke Indonesia dan mengajakku bersamanya. Niatan itu aku tolak karena aku sangat mengharapkan untuk dapat kerja di Jerman. Aku merasa rugi apabila kepandaianku ini hanya akan kuterapkan di perusahaan di Indonesia yang menurutku saat itu pasti tidak akan berani membayar gajiku.“
„Lalu…apa yang terjadi?“tanya Sam.
Ailsa tertawa lirih, “bahkan Jerman pun tidak mau memberiku pekerjaan. Memang saat itu perekonomian Jerman sedang tidak terlalu baik. Tenaga kerja lebih dititik beratkan untuk warga negaranya sendiri, sehingga kami bangsa asing harus rela mendapatkan nomor antrian paling bontot. Walaupun kami sudah lolos interview dan perusahaan itu mau memperkerjakan kami, kami masih saja dihadangkan pada kesulitan untuk mendapatkan visa kerja dari pemerintah. Perusahaan yang mau menerima kami diharuskan untuk memasang iklannya di dinas tenaga kerja, sehingga memberikan kesempatan bagi warga negara asli untuk melamar pekerjaan. Hanya perusahaan yang betul-betul membutuhkan kami yang mau menunggu sampai tiga bulan dan tetap membantu kami. Namun, perusahaan tempatku diterima bekerja tidak mau membantuku.“
„Sa…kamu tidak perlu cerita lagi hari ini kalau kamu merasa susah. Aku bisa datang lagi besok.”
Ailsa menggeleng.
“Ngga, Sam. Saat ini adalah saat yang tepat. Aku merasa lebih tenang sejak aku cerita sama kamu. Kalau aku tenang, aku pasti bisa dengan cepat minta dikeluarkan dari sini.”
“Ok..kalau kamu sendiri yang bilang begitu. Then..please continue.”
“Akhirnya aku mengalah. Karena ijin tinggalku tidak bisa diperpanjang lagi, aku memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Martin juga ikut pulang bersamaku. Saat itu aku merasa berada pada titik terendah dalam hidupku. Aku sudah tidak punya kekuatan lagi untuk menyemangati Martin agar tetap tinggal di Jerman sampai dengan titik darah penghabisan. Aku tidak berkomentar akan keinginannya untuk ikut pulang bersamaku.”
“Jadinya kalian pulang bersama? Ke kota yang sama?”tanya Sam penasaran.
Ailsa membalik badannya dan menatap Sam, “Oh aku lupa cerita ya? Kami berasal dari kota yang sama. Martin bahkan adalah teman seangkatanku. Kami seangkatan tapi aku tidak pernah mengenalnya selama kami berdua duduk di bangku SMU.”ucap Ailsa sembali berjalan ke arah ranjang dan lalu duduk di samping Sam.
“Terus apa yang terjadi?”
“Kamu tahu, Sam? Martin yang lebih dulu mendapatkan kerja dibandingkan aku. Bayangkan. Mau ditaruh dimana mukaku ini? Selama ini aku selalu memaksanya belajar. Selalu mengatakan bahwa ia akan lebih mudah mencari pekerjaan apabila dia lulus kuliah. Namun pada kenyataannya dia bisa mencari pekerjaan sekalipun ia putus sekolah. Sedangkan aku? Setahun menunggu di Jerman dengan tanpa hasil dan lalu pulang ke Indonesia juga tanpa hasil. Akhirnya aku memutuskan hubunganku dengan Martin.”
“Dan Martin tidak menolak sama sekali?”
Ailsa menggeleng, “Martin rajin menanyakan alasan padaku. Tapi aku selalu menghindar. Sampai akhirnya Martin menyerah setelah 3 bulan berusaha. Selama tiga bulan itu bukan hanya Martin yang kuhindari. Aku juga menghindari pertemuan dengan teman-temanku. Sejujurnya aku merasa kesepian. Aku memang tidak biasa berkeluh kesah ke orang, biasanya Martin tempatku bersandar. Tapi mana mungkin aku berkeluh kesah padanya setelah aku sempat menganggapnya sebagai orang yang gagal karena pulang ke Indonesia tanpa memperjuangkan titel yang bisa didapatinya di Jerman.“
Ailsa mulai terisak. Tangisnya terasa perih. Sam pun menundukkan kepalanya, seakan mengerti kepedihan hati Ailsa. Ia ingin menepuk punggungnya, namun niatan itu dibatalkannya.
„Lalu mama datang padaku dan mengatakan bahwa aku bisa bekerja sebagai resepsionis salon saudara kami sembari menunggu panggilan kerja. Itu hanya sementara agar aku tidak bosan. Sesungguhnya aku tidak mau, tapi mama berkata dengan kalimat wasiatnya yang sama sekali tidak bisa kulawan, ‘ayolah, Sa. Kalau kamu sayang mama, kamu terima tawaran ini. Mama kan ngga bisa nolak tante Ratna. Dia udah bela-belain nelpon buat nawarin kamu kerjaan. Salon tante Ratna kan elite. Bukan salon rumahan atau yang banyak di mal-mal. Daripada kamu bengong juga di rumah.’Itulah kalimat mama yang membuatku tak berkutik. Sedari kecil aku selalu takut mengecewakan mama. Jadilah aku bekerja disana.”
“Kamu betah kerja di sana?“
Ailsa menggeleng, „seperti yang aku bilang tadi. Aku melakukan ini demi mama.“
„Sa, muka kamu terlihat lelah. Kita hentikan cerita ini untuk hari ini. Istirahatlah. Aku janji, pada saat kamu bangun besok pagi, sebelum perawat sempat mengantarkan sarapan. Aku sudah ada disini.”
“Apa kamu bosan dengar cerita aku? Kamu bosan ya? Kamu bosan kan?”
Ailsa terlihat gelisah dan takut.
„Kamu pasti ngga akan datang lagi besok. Menurut kamu ceritaku ini mengada-ada kann?“
Sam segera meletakkan kedua tangannya di bahu Ailsa dan menatap tegas ke arah Ailsa.
„Ailsa…Ailsa….tenang…lihat aku…lihat aku…“paksa Sam.
Ailsa menurut dan mengangkat wajahnya ke arah Sam.
„Ailsa kamu jangan pikir aneh-aneh. Aku akan datang besok. Aku janji. Kenapa kamu seperti ini? Apa yang terjadi sama kamu?”
Ailsa menggelengkan kepalanya, “aku cuma takut kamu seperti dia.”
“Siapa ‘dia’?”
Ailsa menggelengkan kepalanya lagi, “janji kamu datang besok? Apa cerita aku membosankan?”
“Aku janji akan datang besok. Seperti yang aku bilang nanti, ketika kamu buka mata kamu, aku sudah ada disana untuk kamu. Ok? Dan satu hal lagi, tidak ada satupun cerita hidup yang membosankan.”
Ailsa sudah terlihat tenang, ia menyeka air mata yang keluar dari kedua matanya.
“Sekarang kamu tidur. Aku akan disini sampai kamu tertidur.”
Ketika Ailsa sedang mengulet dan membalik badannya, tiba-tiba ia merasa melihat sebuah bayangan. Untuk memastikannya Ailsa dengan berat hati membuka kedua matanya yang masih terasa berat. Betapa terkejutnya Ailsa mendapati Sam telah duduk di kaki ranjangnya, menatap langsung ke arah dirinya.
„Aku datang kann?“tanya Sam dengan begitu santainya.
Ailsa tersenyum, hatinya terasa tenang. Ternyata Sam berbeda dengan ‚dia‘. Ailsa merubah posisi tubuhnya dari tiduran menjadi duduk bersandar pada kepala ranjangnya yang terbuat dari besi itu.
„Sudah merasa lebih segar?“
Ailsa mengangguk menjawab pertanyaaan Sam.
„Sebentar lagi perawat datang untuk mengantarkan sarapan. Aku akan kembali setelah kamu mengisi penuh perutmu. Sekarang pergilah ke kamar mandi untuk menyegarkan dirimu, aku akan pergi sebentar.“
Entah apa yang membuat Ailsa mau menuruti perkataan Sam. Padahal seumur hidupnya ia tidak pernah dengan mudahnya percaya dengan orang. Terlebih lagi dengan Sam ia bisa bebas bercerita, padahal kalau mau jujur Ailsa adalah tipe orang yang introvert.
Ailsa pun langsung melanjutkan ceritanya ketika ia melihat kedatangan Sam.
„Aku sudah siap untuk bercerita.“ucapnya sembari menepuk kasur di hadapannya, menyuruh Sam untuk duduk disana.
Sam menuruti keinginan Ailsa, ia duduk bersila dihadapan Ailsa yang juga duduk bersila sambil memangku bantal.
„Aku sudah siap untuk mendengarkan.“jawab Sam setelah mendapatkan posisi yang pas.
„Dua minggu setelah aku bekerja, aku mendengar berita tentang Martin. Kariernya sukses. Bahkan oleh bosnya, ia sudah mulai dikirim ke luar kota untuk ikut training-training. Aku mulai terpuruk. Pekerjaanku membosankan, tidak ada tantangan, tidak sesuai dengan kepintaranku. Dan itulah pertama kalinya aku mencoba bunuh diri dengan minum baygon. Aku sudah lelah dengan hidupku.”
“Siapa yang menemukanmu?”
“Papa. Dia langsung membawa aku ke rumah sakit. Aku bisa merasakan kepanikannya sewaktu ia menggendongku dan menggengam tanganku selama dalam perjalanan. Ketika tersadar, mama sudah berada di samping ranjangku.”
Ailsa terdiam sebentar, raut wajahnya menegang, tulang rahang Ailsa terlihat jelas, seakan kejadian itu kembali terulang di depan matanya.
“Mama langsung memarahi aku. Selama 10 menit mama tidak berhenti memarahi aku, sampai harus dikeluarkan oleh dokter dari ruanganku. Selepas mama pergi, aku baru sadar bahwa di ruangan itu ada papa. Papa hanya mengenggam tanganku dan berkata ‚Ailsa jangan berbuat itu lagi ya, papa takut‘. Namun tidak satupun dari mereka yang ingin tahu tentang alasanku untuk bunuh diri. Mereka seakan memiliki pemikiran sendiri, tanpa memikirkan keadaanku.“
*
Hari itu hari kedua Ailsa dirawat di rumah sakit karena pencobaan bunuh diri untuk yang pertama kalinya. Pihak rumah sakit sudah menawarkan dokter kejiwaannya untuk mengetahui permasalahan Ailsa, namun mama Ailsa menolaknya dengan tegas.
„Anak saya tidak gila, Dok. Saya tahu permasalahan anak saya. Saya yang melahirkan dia, Dok. Saya yang lebih mengenal dia dibandingkan dengan dokter. Apalagi Dokter ini masih muda, belum banyak pengalaman. Biarkan saya yang menangani masalah anak saya, Dokter tidak perlu ikut campur dalam urusan keluarga saya.”
“Ibu, saya tidak pernah bilang Ailsa itu gila. Tapi, Bu. Terkadang ada suatu hal yang seorang anak tidak bisa menceritakan pada orangtuanya. Makanya saya sarankan Ailsa untuk terapi dengan dokter senior yang saya kenal.”
“Dokter jangan kurang ajar ya. Dokter sengaja menahan Ailsa di rumah sakit ini agar komisi Dokter bertambah kan? Asal tahu saja ya, Dok. Saya akan keluarkan Ailsa dari rumah sakit ini. Biar saya saja yang merawat Ailsa di rumah.”
Dokter itu hanya bisa berdiri lemas dan tak berdaya ketika mama Ailsa bersikeras untuk mengeluarkan Ailsa dari rumah sakit. Ailsa yang masih lemas karena ulahnya sendiri itu pun hanya bisa pasrah dan menuruti kemauan mamanya.
Ketika malamnya Ailsa sedikit terjaga dari tidurnya, Ailsa mendengar pembicaraan kedua orangtuanya yang sedang berdiri mengamatinya dari pintu kamarnya.
“Mama, apa kamu yakin Ailsa tidak perlu ke dokter? Dia berubah sejak pulang dari Jerman, mungkin Ailsa memang butuh bantuan, Ma.”
„Papa nih gimana sih? Mama tuh tahu masalah Ailsa. Ngapain ke dokter segala? Kalau ketahuan teman-teman mama dan saudara-saudara gimana? Kan malu, Pa.”
“Tapi kan demi kebaikan anak kita, Ma.”
„Pa, tau ngga? Masalah Ailsa itu benernya juga MALU, Pa. Dia pasti malu sampai sekarang ngga dapet kerja dan malah kerja di salon. Itu pasti penyebabnya. Makanya kalau kita bisa dapetin dia kerjaan lain ya ngga akan masalah. Itu doang kok.“ucap mama Ailsa dengan yakin.
“Mama juga sih, kenapa Ailsa tidak diijinkan kerja saja dulu di perusahaan yang menerima dia. Mama selalu larang dia karena gajinya menurut mama kurang. Tapi kan gaji bisa cepet naik.”
„Papa tuh taunya jaga toko sih. Jadi ngga ngerti masalah ginian. Ailsa kan lulusan Jerman, Pa. Masa gajinya kurang dari 5 juta. Udah deh papa tenang aja, biar Ailsa setelah sembuh mama suruh cari kerja lagi.”
*
“Jadi, sebenarnya kamu bukan tidak diterima bekerja, tapi karena mama kamu tidak setuju dengan gaji yang kamu terima. Kenapa kamu cerita seakan kamu tidak dapat kerja.”tanya Sam penasaran setelah mendengar cerita Ailsa tentang percobaan bunuh dirinya yang pertama.
“Aku menarik kesimpulan seperti itu. Yang mama inginkan sesungguhnya tidak muluk, sesuai dengan kemampuanku. Tapi mungkin memang seharusnya kami lebih menerima dan tidak terlalu sombong dengan kemampuanku itu. Mungkin memang salahku juga yang selalu menuruti omongan dan kemauan mama.“
„Lalu…kamu berusaha cari kerja lagi?“
Ailsa mengangguk. Kali itu tidak hanya di Jakarta saja, aku mencoba melamar di seluruh perusahan di kota manapun.”
“Berhasil?”
Ailsa turun dari ranjang dan kembali ke tempat favoritnya, pinggir jendela. Tatapannya kosong ke arah luar sewaktu ia memberikan jawaban melalui gelengan kepalanya.
„Aku tidak yakin apakah ini benar, tapi aku merasa bahwa baygon yang kuminum itu telah merusak beberapa sel otakku. Sejak kejadian itu aku merasa sulit berkonsentrasi. Sewaktu aku dipanggil untuk interview kedua aku gugup setengah mati sewaktu aku tidak tahu jawaban apa yang harus kuberikan. Aku gagal lagi. Saat itu aku merasa hidupku sudah tidak ada artinya lagi. Dan aku mencoba bunuh diri lagi dengan mengiris nadiku.”
“You really got guts.”ucap Sam tidak percaya.
“Tapi aku sungguh sampai detik ini tidak mengerti, kenapa aku selalu selamat. Aku tertolong karena kakakku yang baru saja datang dari Australia menemukanku.“
Sam beranjak dari ranjang dan berjalan ke arah Ailsa, „Sa, aku harus pergi sekarang. Aku tidak bisa datang lagi hari ini. Tapi aku akan datang besok, di jam yang sama. Bagaimana? Aku lihat, raut wajahmu sudah jauh lebih segar, dan aku ingin membuatnya menjadi benar-benar segar. Jadi aku boleh datang lagi besok untuk mendengar cerita kamu, ya?”
Ailsa membalik badannya dan menatap Sam dengan senyum. Senyum yang sudah lama tak hadir di bibirnya. Ailsa tidak sadar bahwa senyumnya itu diperhatikan oleh seseorang dari balik jendela kamarnya.
“Ok. Datang ya besok.”jawab Ailsa, „tapi, Sam. Aku harus ke kamar mandi sekarang, aku tidak mengantar kamu pergi ya.”
„Aku tahu kok jalan keluarnya. Sampai besok.“
Ailsa segera bergegas ke kamar mandi setelah kembali tersenyum.
Sekeluarnya Ailsa dari kamar mandi, telah menunggu perawat yang kemarin datang dengan nampan makanan untuk Ailsa di atas ranjang.
„Hello again, dear.“
Entah mengapa hari ini Ailsa bersemangat untuk menjawab sapaan perawat itu.
„Hi.“
„Kamu terlihat segar. Ada kejadian yang menarik?”tanyanya.
“Hmm..bisa dibilang begitu.”jawab Ailsa.
„Melihat keadaan kamu, aku punya ide. Bagaimana kalau kita makan siang bersama? Kebetulan nampan ini adalah nampan terakhir yang harus kuantar. Aku tahu tempat yang menyenangkan. Berminat?”
“Indoor or outdoor?”tanya Ailsa.
“Outdoor.”
“Can I?”tanya Ailsa tidak yakin.
“Yes you can. I’ll accompany you anyway. You will be a good girl, won’t you.”
“Oh yes I will.”jawab Ailsa seperti anak TK.
“You won’t run away?”
“No I won’t, I promise.”Ailsa menggeleng untuk menekankan jawabannya. Dan tindakan itu membuat sang perawat tersenyum.
“Then…come with me.”
Tempat yang dimaksud oleh perawat yang bernama Sarah itu ternyata taman di belakang rumah sakit itu.
“I can’t run away anyway.”ucap Ailsa kesal begitu tahu tempat yang dimaksud, namun tak urung hatinya senang bisa kembali menghirup udara segar.
Apalagi taman itu termasuk nyaman walaupun tidak terlalu besar. Ailsa tertarik pada sebuah pohon yang terlihat tua dan rindang di ujung taman. Dibawah pohon itu sinar matahari itu hanya mampu mengintip malu-malu, terlebih lagi di dahannya bernaung burung-burung mungil yang saling unjuk gigi pamer suara. Entah mereka itu sedang bertengkar atau mengobrol atau bahkan bernyanyi. Terlepas dari pohon yang rindang taman itu tidak terlalu menarik. Tidak ada air mancur atau kotak pasir untuk bermain, tidak ada bangku atau ayunan, yang ada hanyalah hamparan rumput. Maklum, luas taman itu paling hanya seluas garasi yang mampu memuat 4 mobil sedan.
“I just want to make sure.”jawab Sarah dengan senyum candanya.
“Can we sit under the tree?”pinta Ailsa.
“That’s exactly my favorite place.”
Ailsa dan Sarah pun mencari posisi terenak di bawah pohon yang rindang itu. Beruntungnya mereka karena hari itu angin bertiup sepoi-sepoi, sehingga udara musim panas menjadi terasa menyenangkan.
“Aku punya makanan yang menarik, pasti kamu suka.”ucap suster itu sembari membuka bungkusan yang dibawanya. Ailsa pun menunggu dengan penasaran.
“Aku pasti suka?”ucap Ailsa penuh tanda tanya.
“Yap. Aku tahu makanan kesukaan kamu ini dari kakak kamu.“
Suster itu kemudian membuka kotak makanan yang dibawanya. Ailsa sungguh terkejut melihat isi di dalamnya.
“Wah…ini makanan padang. Aku suka sekali ini.”ucap Ailsa dengan mata berbinar-binar.
„Aku sudah lama tidak makan makanan ini. Oh..thank you so much. Apa ini buat aku?”
Sarah mengangguk penuh kasih saying, layaknya seorang ibu yang membelikan makanan kesukaan anaknya, “tentu saja, aku tidak suka makanan yang terlalu spicy ini.”jawabnya.
Dalam sekejap keduanya sibuk memakan bekalnya masing-masing. Ailsa sendiri menikmati setiap suapan yang masuk ke dalam mulutnya. Seumur hidupnya ia tidak pernah menyangka akan betapa nikmatnya menyantap makanan kesukaannya itu.
“Ailsa. Aku sudah konsultasi dengan dokter, kamu bisa pulang hari ini. Jadi kamu bisa merayakan ulangtahun kamu di rumah. Jauh lebih baik daripada kamu melewatkan ulangtahunmu disini, kan?”ucap Sarah setelah keduanya menyantap habis porsi makan siangnya masing-masing.
Ailsa tertegun menyadari bahwa besok adalah hari ulangtahunnya.
„Aku bingung kenapa semua orang ingin aku hidup, sedangkan aku ingin mati.“ucap Ailsa sembari menyenderkan kepalanya ke pohon tua di belakangnya itu.
„Karena semua orang ingin kamu menikmati hidup ini, susah dan senangnya.“jawab Sarah tanpa berpikir panjang.
„Kau tahu betapa lelahnya hidupku, Sarah? Sejak aku mencoba bunuh diri yang ketiga aku berpikir, mungkin hanya kematian yang akan mendamaikan aku. Aku merasa tenang sewaktu aku dibawah sadar. Aku merasa frustasi sewaktu dokter berhasil menyadarkanku.“
Sarah terkejut mendengar pernyaataan yang menyeramkan itu mengalir tenang dan tanpa beban dari bibir mungil Ailsa.
„Aku banyak mendenger tentangmu. Aku penasaran. Apa yang membuat kamu bunuh diri setelah kau ikut kakakmu ke Australia?”
Sarah terdiam. Bingung antara harus bercerita atau tidak. Sesungguhnya ia ingin cepat pulang ke kamarnya, disana mungkin Sam sedang menantinya. Lagipula cerita hidupnya hanya dipercayakan untuk Sam, bukan untuk orang lain. Selain itu hal terakhir yang ingin Ailsa lakukan adalah menyulitkan orang lain.
“Untuk apa aku bercerita? Aku tidak ingin membebanimu dengan ceritaku.”ucap Ailsa berdalih.
“Aku bekerja disini untuk membantu mengurangi beban orang. Percayalah, telinga ini sudah sering mendengar cerita yang tidak kalah serunya dengan ceritamu pastinya.”Sarah berusaha meyakinkan Ailsa.
Ailsa terdiam, dirinya masih bimbang dan ragu.
“Mungkin memang lebih menyenangkan untuk bercerita di alam terbuka, lanjutkanlah ceritamu.”
Ailsa terkejut mendengar suara Sam yang datang dari hadapannya, Sam dalam balutan baju putihya sedang berjalan dengan langkah pasti ke arahnya dan lalu duduk disebelah kanannya. Ailsa mengangguk dan tersenyum ke arah Sam. Memang betul kata Sam, Ailsa pun lebih suka bercerita di alam terbuka dibandingkan di dalam kamarnya. Disini udara tidak terasa pengap, Ailsa tidak merasa bagaikan terpenjara.
“Tentu saja aku tidak akan memaksamu, apabila kau tidak mau.”Sarah menimpali dari sisi kiri Ailsa.
“Kakak memaksaku untuk ikut bersamanya ke Australia. Bahkan kedatangannya ke Jakarta seakan sudah dipersiapkan untuk membawaku. Ia membawa surat undangan dan dalam seminggu dia di Jakarta tidak ada hal lain yang dilakukannya selain mengurus segala sesuatunya untuk keperluanku mendapatkan visa.“
„Jadi sebenarnya kamu tidak mau kesini?“tanya Sarah.
„Aku yang sudah tidak punya tujuan hidup hanya bisa pasrah. Aku pergi ke Australia semata-mata untuk menyenangkan mama dan kakak. Aku yakin, mama yang sudah memaksa kakak untuk membawaku kesini. Kalau kakak tidak berhasil, mama akan memarahi kakak. Dan berbeda denganku yang selalu menurut, kakak adalah tipe orang yang selalu membantah. Aku tidak mau mendengar kakak dan mama bertengkar. Jadi aku mengalah dan menurut untuk pergi ke Australia.”
„Hubungan kamu dengan kakakmu sepertinya tidak terlalu baik.“
Ailsa memandang burung yang bertebangan di awan dengan tatapan kosong. Karena memang pikirannya tidak pada burung itu, melainkan pada ucapan Sarah.
„Kami seakan tidak ada hubungan. Aku dan kakak beda 8 tahun. Mungkin mama dan papa memutuskan untuk membuatku karena kakak tidak pernah mau menurut pada mama. Kalau kakak bangga dengan kebangkangannya, aku bangga dengan kemenurutanku terhadap mama, tanpa sadar bahwa sifat itulah yang akhirnya membawaku pada keadaan ini.”
“Boleh aku tebak? Sesungguhnya kamu mau melawan mamamu, tapi kamu tidak bisa, jadi akhirnya kamu mencoba untuk bunuh diri?”
Ailsa terdiam. Tebakan Sarah tidak salah dan tidak benar. Di satu sisi, memang Ailsa tidak pernah dan tidak mau melawan mamanya. Walaupun hampir seluruh hidupnya diatur oleh mama, tapi mama juga menyayanginya, mencukupi kebutuhannya. Terlebih lagi, Ailsa orangnya tidak cukup sulit. Selama ia masih mampu melakukan, ia akan melakukannya untuk membahagiakan mama. Daripada mendengar mama ngomel, lebih baik lakukan saja apa yang mama mau. Karena selama ini Ailsa merasa, mama tahu apa yang terbaik untuknya. Mama tahu kebahagiaan apa yang dibutuhkan Ailsa. Ailsa baru tersadar bahwa selama ini pikirannya salah. Kesalahan Ailsa yang terbesar adalah ia sudah merasakan antara hidup dan mati dan ia menyukai ketenangan di bawah sadar. Disanalah ia menemukan kebahagiaan. Makanya ia tidak pernah takut untuk bunuh diri.
„Well…Disini aku memiliki banyak teman baru, aku juga bertemu dengan teman lama. Sembari kuliah dan mencoba mencari kerja aku kerja part time seperti dulu sewaktu aku di Jerman.“
Ailsa membelokkan ucapan Sarah, karena ia tidak mau Sarah terlalu cepat menilainya.
„Pada awalnya aku merasa menemukan kembali kehidupanku yang telah hilang. Aku merasa seperti kembali ke Jerman. Tapi sayang kebahagiaan itu tidak lama. Aku sadar, kepandaianku tidak lagi seperti dulu. Aku sulit menyerap bahan kuliah, tidak hanya itu, aku bahkan sering dimarahi di tempat kerjaku.”
“Saat itu aku sadar. Kehadiranku di dunia ini seakan tidak ada lagi artinya. Aku mencoba bercerita ke teman dekatku. Tapi yang kudapatkan adalah ia memarahiku karena merasa aku mengeluh dan mengeluh terus. Perlahan tapi pasti aku mulai menjauhkan diri dari mereka, dan juga menjauhkan diri dari kakakku. Aku mencoba berdoa. Tanpa sadar seusai doa aku malah mencoba menyayat tanganku.”
“Dan lagi-lagi kau terselamatkan?”tanya Sarah lagi. Ailsa sungguh heran, mengapa siang ini Sam begitu diam. Ia hanya bersandar pada batang pohon sembari memejamkan mata. Namun Ailsa yakin, Sam mendengarkannya jadi sekalipun heran, Ailsa tidak ambil pusing.
„Iya…Aku sungguh tidak mau membuka mataku lagi. Tapi mata itu terbuka. Kau tidak bisa bayangkan betapa terherannya aku melihat wajah cemas kakakku di sampingku. Matanya sembab seakan tidak tidur dan menangis semalam suntuk. Tangan kiriku sampai memutih di genggamnya. Aku hanya bisa mendesah dalam hati, ‚ah…mengapa tak mereka biarkan saja aku mati?‘, kini aku harus hidup lagi. Entah untuk siapa, entah untuk apa.“
Sarah terdiam, tidak tahu harus mengatakan apalagi. Gadis mungil disampingnya sungguh berkeinginan untuk mengakhiri hidupnya. Seumur hidupnya, Sarah belum pernah menemui kasus seperti ini. Kebanyakan dari mereka yang stress dan tidak puas dengan hidupnya akan kemudian membentuk dunianya sendiri yang bagi orang waras disebut dengan gila. Dalam dunia itu mereka melarikan diri dari kenyataan. Walaupun bagi orang lain mereka itu gila, tapi mereka bahagia dalam dunia maya yang mereka ciptakan. Sangat berbeda dengan Ailsa. Ailsa tidak membentuk dunia sendiri. Ia hidup layaknya orang waras lainnya. Bekerja, berinteraksi, dan bersosialisasi. Hanya saja jauh di bawah sadarnya ia merasa terkekang dan tidak puas akan hidup yang ia jalani. Dan hanya kematianlah yang mampu menyelamatkannya. Alih-alih membentuk dunia sendiri, Ailsa mengharapkan ketenangan batin yang abadi.
“Apa kau merasa tidak ada seorangpun di dunia ini yang bisa mengerti keadaanmu?”tanya Sam sembari tetap menatap langit dan memainkan tangkai daun yang dihisapnya.
“Aku sempat merasa Mira mengerti keadaanku. Makanya aku kaget sewaktu ia mengirimku kesini.“
„Apa yang membuatmu merasa Mira mengerti keadaanmu?“tanya Sarah kemudian.
„Aku tidak sengaja mendengar obrolan antara mama dengan Mira sewaktu aku mulai mendapatkan kesadaranku.“
Ailsa pun mengingat kembali obrolan keduanya itu.
*
“Kamu pasti bikin adik kamu tertekan, jadinya dia bunuh diri lagi. Ya kann?“
Terdengar ucapan amarah mama terhadap Mira di dalam ruangan VIP tempat Ailsa dirawat. Keluarganya sama sekali tidak sadar bahwa telinga Ailsa ikut mendengarkan pembicaraan itu, dan keluarganya sama sekali tidak sadar bahwa Ailsa masih mencari suara kehadiran papanya.
“Kenapa mama selalu nuduh? Kenapa mama ngga tanya sendiri sama anaknya, kenapa dia bunuh diri? Ini udah yang keempat kalinya, Ma. Dan selama ini mama selalu merasa anggapan mama yang benar. Seakan-akan mama tahu apa yang Ailsa pikirin. Jangan-jangan ego mama juga yang bikin Ailsa sampai seperti ini. Apa mama masih kurang puas memperlakukan Ailsa tidak seperti manusia tetapi sebagai boneka?“
Nada jawaban Mira tidak sampai menggelegar dan membangunkan seisi rumah sakit, namun kalimat yang dipilihnya sangat tepat mengenai sasaran mama dan juga membangunkan emosi mama yang memang cepat meledak.
„Kamu jadi anak dari dulu selalu saja kurang ajar. Selalu membantah mama.“
„Ma…tenang…nanti suster datang kita malah diusir.“
Akhirnya Ailsa dapat mendengar suara papa yang menenangkan mama. Pasti papa juga sibuk memeluk mama untuk menenangkan amarahnya, sama seperti yang seingat Ailsa selalu dilakukannya apabila mama memarahi Mira.
„Aku sebenernya juga ngga pernah mau membantah mama. Aku juga selalu iri karena mama memanjakan Ailsa. Tapi lama-lama aku sadar dan aku jadi kasian sama Ailsa. Mama menganggap Ailsa adalah mama, hanya karena Ailsa berprestasi sewaktu disekolahnya. Mama merasa Ailsa lah yang nanti bisa meneruskan cita-cita mama yang dulu ngga pernah tercapai. Apa mama pernah nanya maunya Ailsa apa? Jangan-jangan kemauan dia setahun belakangan ini adalah meninggal.”
Plak!
Ailsa menduga mama telah menampar Mira. Berbeda dengan perlakuan mama pada dirinya, terhadap Mira mama boleh dibilang cukup ringan tangan.
„Mira…jaga omongan kamu. Mana ada manusia yang punya keinginan untuk meninggal?“
„Maaf, Ma. Mama boleh nampar Mira berpuluh-puluh kalipun. Tapi Mira ngga akan berhenti untuk menyadarkan mama terhadap kenyataan. Mama boleh benci sama Mira, dulu juga Mira benci sama mama. Tapi Charles sendiri yang telah menyadarkan Mira, dan apa yang Mira perbuat sekarang karena Mira sayang sama mama.“jawab Mira.
Tidak terdengar balasan dari mama. Papa pun tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Suasana dalam kamar VIP itu mendadak hening. Ailsa hanya dapat menunggu adegan berikutnya dengan tidak sabar.
„Mama…kita pulang dulu saja ke hotel. Ailsa juga belum sadar. Sekarang sudah malam. Besok pagi-pagi kita datang kesini lagi. Sejak dari Airport kan kita belum istirahat.”terdengar suara papa yang berat mencoba mendinginkan suasana.
„Iya. Betul kata papa. Kita pulang dulu. Aku juga harus mengurus suami dan anakku sebentar. Biar mama dan papa istirahat malam ini, setelah mengantar mama dan melihat keadaan suami dan anakku, aku akan kembali ke rumah sakit ini. Disini hanya boleh satu orang saja yang menginap.“jawab Mira.
*
“Ketika mereka pulang ke rumah Mira, aku diam-diam bangun dan berjalan ke arah jendela kamarku. Ternyata aku dirawat di lantai 4. Tanpa pikir panjang aku langsung membuka jendela dan melompat keluar. Saat itu aku sudah lega dan tidak ada beban. Setidaknya kalau aku meninggal, aku tahu bahwa Mira sesungguhnya menyayangi Mama.”ucap Ailsa melanjutkan ceritanya.
„Seumur hidupku belum pernah bertemu orang sepertimu. Aku yang dulunya prihatin terhadapmu kini berubah menjadi kagum terhadap kegigihanmu. Kau begitu yakin dengan hidupmu, aku cukup yakin kamu adalah orang yang pantang menyerah. Satu hal yang aku sayangkan, kegigihanmu ini bukan untuk memperpanjang hidupmu, tapi untuk mengakhirinya.“ucap Sarah.
Baru pertama kali ini ada yang kagum terhadap Ailsa. Kagum terhadap kegigihannya untuk mengakhiri hidupnya. Apabila orang lain sibuk membicarakannya, prihatin terhadapnya namun tidak berbuat apapun untuk membantunya, Sarah justru kagum terhadapnya. Hal ini membuat Ailsa semakin suka terhadap Sarah. Cara pandangnya berbeda dengan orang-orang disekitar Ailsa selama ini. Alih-alih bosan dan mengatainya, Sarah terlihat menikmati mendengar cerita hidupnya.
„Sarah. Mana ada sih orang di sekitar kita yang mengatakan, sebaiknya kita mati saja. Mereka pasti akan mengucapkan sebaiknya kita hidup saja, tanpa mereka mau ikut mengerti apa yang ada di pikiran orang tersebut.”
“Memangnya apa yang ada dipikiranmu sehingga kamu menganggap lebih baik kamu meninggal?”
“Semua usaha ini adalah konsekuensi dari percobaanku yang pertama. Saat itu aku terlalu gegabah. Aku berpikir pendek. Lambat tetapi pasti aku tahu hidupku tidak akan sama seperti dulu. Aku merasa diriku tidak bisa membahagiakan mama lagi. Sedangkan selama ini tujuan hidupku adalah membahagiakan mama, melanjutkan cita-cita mama yang tidak tercapai. Sukses sekolah di luar negeri dan memiliki pekerjaan yang baik. Aku memang sukses sekolah di luar negeri, tapi setelah itu aku gagal.“
„Mengapa kamu tidak membuat tujuan hidup yang baru? Misalnya saja berkeluarga, memiliki anak?“
Angin berhembus lembut menerpa wajah Ailsa dan Sarah. Menerbangkan dedaunan yang ditatap kosong oleh Ailsa.
„Selama aku hidup. Tujuan hidupku adalah tujuan yang dibentuk oleh mama. Aku tidak bisa menolaknya. Sendiri tanpa mama, aku adalah boneka tanpa nyawa. Seandainya dulu aku berani memberontak, mungkin hidupku tidak akan seperti ini. Seandainya aku mendapatkan pekerjaan yang baik, mungkin aku tidak akan pernah sadar bahwa aku adalah boneka mama. Niat baik mamalah yang akhirnya menghancurkanku.”
Kini tersirat amarah yang tidak pernah tersalurkan sebelumnya dari nada Ailsa. Sarah pun sadar, gadis ini sudah terlambat untuk membebaskan diri dari bayang-bayang mamanya. Namun amarah itu bukannya disalurkan dengan membunuh mamanya, melainkan untuk mengakhiri hidup Ailsa sendiri.
“Ailsa…aku akan menasehati kamu satu hal. Kamu boleh dengar dan kamu juga boleh acuhkan.“ucap Sarah setelah keduanya lama terdiam menikmati lembutnya sore hari itu.
Tidak hanya Ailsa, Sam juga tertarik untuk mendengar nasehat Sarah.
„Aku harus jujur kepadamu. Aku selalu benci orang yang bunuh diri. Bukan karena mereka bermasalah, tapi karena mereka menyiayiakan hidup yang diberikan oleh Tuhan. Aku benci mereka, karena mereka tidak menghargai betapa sulitnya perjuangan seorang ibu untuk melahirkan mereka ke dunia ini, tidak menghargai bahwa sang ibu mempertaruhkan nyawanya untuk sang anak.“
„Kamu bukan satu-satunya orang yang membenciku.“jawab Ailsa tanpa merasa emosi sedikitpun mendengarkan ucapan Sarah.
„Hei…aku belum berhenti berbicara. Tentu saja aku berharap kamu bisa berubah pikiran setelah kegagalanmu yang keempat. Bahkan ketika mendengar berita bahwa ada seorang gadis yang mencoba bunuh diri sebanyak empat kali secara berturut-turut aku sempat shock. Aku pikir, gadis macam apa dia.“
„Ternyata?“pancing Ailsa.
„Ternyata gadis itu adalah gadis yang menyenangkan. Ramah. Manis. Sedikit tertutup, namun apabila sudah merasa nyaman ia tidak akan ragu untuk bercerita. Namun sayang, apabila ada masalah ia memilih caranya sendiri untuk menyelesaikannya. Sifatnya yang keras kepala membuatnya sulit untuk dipengaruhi orang lain. Bahkan untuk melepaskan diri dari bayang-bayang mamanya, ia memilih untuk bunuh diri.”
Tanpa sadar Ailsa meneteskan air mata. Ia belum lama mengenal Sarah. Bahkan hari ini adalah untuk pertama kalinya Ailsa berbicara banyak dengan Sarah. Namun dalam waktu yang begitu singkat, Sarah usah dapat menilainya dengan tepat.
“Ailsa. Kamu harus lebih mencintai dirimu sendiri. Lebih menghargai hidupmu. Bertemanlah lebih lama denganku. Tidak perlu di rumah sakit ini. Aku akan menunjukkan kepadamu bahwa walaupun dunia ini terasa sudah gelap bagimu, tapi aku akan menunjukkan cahaya yang baru untukmu. Kamu bayangkan, betapa sedihnya keluargamu apabila kamu meninggalkan mereka.”
“Terima kasih, Sarah. Untuk seluruh perhatianmu. Aku senang berteman denganmu. Aku hanya ingin satu hal. Bisakah kau bantu aku untuk merayakan hari ulangtahunku besok dengan keluargaku? Bisakah kau meyakinkan mereka bahwa aku sudah baik-baik saja?”
“Bantu dia, Sarah. Dia memerlukannya. Sudah lama mereka tidak menghabiskan waktu bersama.”ucap Sam.
Sarah terkejut mendengar ucapan Sam. Mengapa Sam yang dari tadi terdiam kali ini ikut membela Ailsa?
„Aku akan berusaha semampuku.“
Entah bagaimana caranya Sarah meyakinkan dokter Ailsa, Ailsa tidak pernah tahu. Satu hal yang ia ketahui dengan pasti, malam itu juga Ailsa dijemput oleh Mira. Walaupun mereka berdua tidak pernah dekat, namun hari itu hubungan keduanya bagaikan sepasang sahabat yang telah dekat selama lebih dari 20 tahun.
Mira memilih untuk tidur berdua dengan adiknya, sedangkan suaminya harus mengalah untuk tidur bersama anak mereka yang baru berumur 2 tahun. Mama dan Papa tidur di ruang tamu yang dilengkapi sofabed sehingga dapat dirubah menjadi kamar tamu apabila ada yang datang untuk menginap.
Ketika Mira dan Ailsa sudah berada di bawah selimut tipis dan lampu kamar telah dipadamkan, Mira mencoba berbicara dengan adiknya. Pembicaraan yang selama ini belum pernah ia lakukan.
„Bagaimana persaanmu, Sa? Sudah enakkan?“
“Aku senang tidak perlu ada di rumah sakit itu lagi.”jawab Ailsa memandang lembut wajah kakak semata wayangnya itu.
“Aku juga senang kamu tidak perlu ada disana lagi. Jujur.“ucap Mira seperti berbicara pada Jason, anaknya.
“Iya, aku percaya.”
“Mir, sering main ke Indo ya. Papa pasti kangen sama kamu. Kasian papa, sering tertindas mama. Kalo ngga ada yang bisa bikin mama seneng, pasti mama uring-uringan, terus papa yang kena.”
„Kamu sayang banget ya sama papa?“tanya Mira kemudian.
“Aku sayang dua-duanya. Aku cuma kasihan sama papa. Aku ngerti papa karena aku mirip sama papa. Papa ngga pernah bisa membantah mama. Cuma kamu yang bisa membantah mama dan menyadarkan mama.”
“Sa…Happy B’day.”ucap Mira bersamaan dengan dering handphonenya yang memang telah dipasang alarmnya untuk mengingatkan dia apabila jam 12 tiba.
Mira kemudian mendekatkan diri ke arah Ailsa dan kemudian memeluknya dan mencium dahinya. Entah apa yang menggerakkan Mira untuk berbuat hal itu.
“Kamu memiliki hidup yang indah, Mir. Treasure it. Kamu memiliki suami yang baik, anak yang lucu dan pintar. Walaupun kamu hanyalah seorang assisten stylist saat ini, tapi aku yakin kamu pasti akan sukses. Kamu memiliki bakat dan kamu menggunakannya dengan baik.“
„Hei…harusnya aku yang mengucapkan kalimat seperti itu. Kok malah kamu yang menasehati aku? You too is a great girl, you know? Kamu cuma harus mencari apa yang kamu inginkan. Bukan yang mama harapkan atau inginkan. Kamu harus berani untuk mencari jalan sendiri.“
„Thanx.“ Ailsa menjawab namun kemudian ia menguap.
„Ayo kita tidur sekarang, kamu udah ngantuk juga kann? Besok aku udah rencanain acara jalan-jalan keluarga. Jadi kita harus tidur sekarang, kalo ngga besok kita ngantuk lagi.“
Ailsa mengikuti ajakan Mira untuk tidur.
Kira-kira pukul tiga dini hari, Ailsa membuka matanya. Sesungguhnya tidurnya pun tidak nyenyak, banyak hal yang dipikirkan dan dipertimbangkannya. Ailsa keluar dari selimutnya dan berjalan keluar dari kamar dengan tidak mengeluarkan suara sedikitpun.
Ketika melihat kedua orangtuanya yang tidur terlelap diatas sofa bed, Ailsa tergugah untuk mendekati mereka. Padahal tujuan pertamanya adalah untuk pergi ke kamar mandi. Ailsa kemudian membenarkan posisi selimut yang sudah berantakan diatas tubuh kedua orangtuanya itu. Ailsa melihat laptopnya berada diatas meja dapur rumah itu, Ailsa pun kemudian beranjak ke arah laptopnya dan mengurungkan niatnya untuk ke kamar mandi. Selama kurang lebih satu jam lamanya Ailsa duduk dibalik laptopnya. Baru setelah itu ia pergi ke kamar mandi, sesuai dengan tujuan pertama.
Mira terbangun oleh goyangan di tangannya. Begitu matanya terbuka, Mira melihat Jason sedang menggoyang-goyangkan tangannya dengan sekuat tenaganya.
„Ada apa, sayang?“tanya Mira yang masih mengantuk.
“Mau pipis. Tapi kamar mandinya dikunci.”jawab Jason dengan nada yang tak kalah mengantuknya. Matanya hanya terbuka sedikit, kedua kakinya sudah menekuk ke arah dalam menandakan keinginannya untuk buang air kecil sedang ditahan dengan sekuat tenaga.
“Biar mama lihat ya.”
Mira berusaha sepelan mungkin untuk bangun agar tidak membangunkan Ailsa yang dikiranya masih tidur disisinya. Kemudian Mira menggendong Jason dan berjalan ke arah pintu. Saat itulah Mira sadar, Ailsa sudah tidak lagi tidur disisinya. Ranjang itu kosong sama sekali, dan melihat hal tersebut membuat perasaan Mira langsung tidak enak.
“Sayang. Kamu pipis di dapur aja ya.”
Dengan bergegas Mira membawa Jason ke dapur dan menyuruhnya pipis di tempat cuci piring. Mira tidak menutup keran air agar tidak membuang waktu dan juga agar tempat cuci itu terbebas dari air seni Jason. Sembari menggendong Jason, Mira berjalan cepat ke arah kamar tidur anaknya itu, untuk membangunkan suaminya.
„Sayang…Bangun.“Mira mengguncang-guncangkan tubuh suaminya itu.
„Ada apa, Mir?“tanya Charles kaget.
„Jason, kamu tidur lagi ya.“
Mira meletakkan Jason di atas ranjangnya dan kemudian menyelimutinya sebelum ia menggandeng suaminya keluar dari kamar.
„I’m afraid something bad happen.“ucap Mira diluar kamar.
“Ada apa, Mir?”
Mira terkejut mendengar suara papa. Ia betul-betul lupa bahwa papa dan mama tidur di ruang tamu, dan ia betul-betul lupa bahwa papa memiliki kuping yang sangat peka. Sekalipun dalam tidurnya yang nyenyak, papa bisa langsung terjaga apabila mendengar suara yang menyentuh gendang telinganya.
“Tolong dobrak pintu kamar mandi, Say.”pinta Mira tak sabar pada suaminya.
Suaminya yang segera mengetahui ketakutan Mira segera melaksanakan permintaan Mira. Papa juga segera mendekati kamar mandi untuk membantu Charles.
“Apa kita perlu kursi?”tanya papa.
“Ngga, Pa. Aku punya kuncinya. Kita coba buka pakai kunci dulu.”
Jason segera mengambil sebuah kunci dari tempat persembunyian, lalu mencoba membuka pintu kamar mandi itu tanpa kekerasan.
Usaha Charles membuahkan hasil. Ailsa sama sekali tidak menghalangi pintu. Namun pemandangan yang mereka dapati tidaklah membahagiakan. Mira sendiri hampir pingsan dibuatnya, ia tidak mampu berteriak bahkan tidak mampu mengeluarkan suara melihat keadaan adiknya. Charles segera merangkul istrinya itu dan membawanya menjauh dari kamar mandi untuk menghubungi tim paramedis, sedangkan papa segera berjalan ke arah Ailsa yang terduduk lemas di pinggir bath tub kamar mandi Mira. Air hangat yang terus mengalir membawa darah dari nadi tangan Ailsa dimatikan oleh papa. Rupanya Ailsa telah memikirkan segalanya. Ia tidak ingin meninggalkan satu tetes darahpun untuk dilihat anggota keluarganya. Setelah mematikan keran, papa mengambil sehelai handuk yang tergantung di kamar mandi itu dan kemudian membalut luka Ailsa lalu kemudian memindahkan wajah anaknya yang masih menyisakan nafas-nafas pendek itu ke dadanya.
„Ailsa…Ailsa ngga boleh nyesel ya dengan keputusan Ailsa.“ucap papa menahan air matanya.
Ailsa membuka matanya dan mencoba untuk tersenyum sekuat tenaga.
“Kamu mau maafin mama sama papa kan?”
Papa bisa merasakan jawaban Ailsa dari pandangan mata anaknya itu.
“Kamu harus tahu, mama sama papa sangat menyayangimu. Kamu adalah anak yang berharga. Papa sedih kamu harus mengambil jalan ini, kalau boleh papa ingin membantu kamu.”
Ailsa meneteskan air mata mendengar ucapan papa. Ucapan itu belum pernah ia dengar seumur hidupnya. Andai saja ucapan itu tidak datang terlambat, mungkin Ailsa tidak memilih jalan ini. Namun sekalipun baru kali ini papa mengucapkannya, Ailsa sama sekali tidak menyesal.
“Kalau sampai dokter belum datang dan kamu sudah harus pergi, maka papa akan merelakanmu. Tapi apabila mereka datang sebelum kamu pergi kamu harus hidup.“ucap papa kemudian.
Dengan sekuat tenaga papa menahan laju darah yang warnanya mulai mendominasi handuk berwarna biru muda yang dililitkan papa tadi. Papa terus berdoa, terus berharap dan terus meneteskan air mata. Mira yang ikut melihat kejadian itu pun ikut berdoa, ikut berharap dan ikut meneteskan air mata. Sedangkan mama, di atas ranjang tamunya, meneteskan air mata. Ia tidak berani turun untuk menyaksikan penderitaan anaknya, ia tidak memiliki keberanian untuk meminta maaf, namun ia ikut berdoa, ikut berharap sehingga dapat memperbaiki kesalahannya.
Ailsa melihat wujud Sam di belakang tubuh papa. Hal itu cukup membuatnya terkejut.
“Terkejut? Aku datang untuk menjemputmu, Sa. Kali ini untuk selamanya. Apa kamu siap?“tanya Sam.
“Jadi kamu adalah malaikat kematian?”tanya Ailsa dalam hatinya.
“Nama lengkapku adalah Sammael, yang memiliki arti malaikat nyawa, yang mengantarkan nyawa itu ke surga.”jawab Sam yang dapat mendengar pertanyaan Ailsa.
“Kenapa kau baru datang sekarang?”tanya Ailsa lagi.
„Aku sama seperti Sarah. Tidak suka dengan orang yang bunuh diri apabila tidak menemui jalan keluar dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Makanya aku tidak menjemputmu dulu.”
“Lalu kenapa kamu menjemputku sekarang?”
“Aku hanya menjalankan tugasku.”
“Maafkan aku Sam. Telah membuatmu benci padaku.”ucap Ailsa.
“Sudah siap sekarang? Papamu masih terus berdoa, mengharapkan nyawamu. Bahkan mamamu pun sedang berdoa di atas ranjang itu.”
“Aku siap.”ucap Ailsa.
Ailsa kembali menatap kedua mata papanya. Mencoba untuk memberikan kata terakhir.
“I love u, pa.”
Hanya gerak bibir Ailsa saja yang dapat dibaca papa, karena suara Ailsa sudah tidak lagi keluar.
“I love u, Sa.”ucap papa penuh dengan derai air mata sembari mengecup kening Ailsa, “papa beruntung sempat memilikimu. Maafkan papa dan mama ya, Sa.”ucap papa lagi.
Namun mata Ailsa tidak pernah terbuka lagi untuk menimpali ucapan papa. Ailsa hanya mampu menangis saat menerima uluran tangan Sam.
“Ailsa juga beruntung, sempat memiliki papa, mama dan Mira”ucap Ailsa sebelum pergi bersama Sam.
Ma,
Dengan sifat mama yang tegar, mama pasti mampu menerima Ailsa pergi. Ailsa tidak pernah mau meninggalkan sebuat surat. Kesannya terlalu seperti film-film. Tapi Ailsa terakhir sudah sulit berbicara dengan mama, terutama sejak pulang dari Jerman.
Ailsa minta maaf, tidak dapat melanjutkan cita-cita mama. Ailsa minta maaf karena sudah gagal. Perbaikilah hubungan Mama dengan Mira. Kalian memiliki sifat yang sama.
Love,
Ailsa.
Mama tidak dapat mengucapkan satu patah katapun. Hanya air mata yang dapat mewakili kesedihannya setelah membaca surat terakhir Ailsa yang ditinggalkannya dalam laptop. Bahkan Ailsa pun menyempatkan diri untuk mengobrol dengan teman-teman baiknya serta mengucapkan terima kasih atas ucapan selamat ulang tahun yang diberikan oleh teman-temannya melalui Facebook dan Friendster. Seakan-akan yakin bahwa kali ini usahanya akan berhasil.
Begitu mendengar kabar kematian Ailsa, Sarah segera menyuruh Mira untuk menemuinya. Mira pun menyanggupinya dengan datang ke rumah sakit jiwa milik Sarah tersebut.
“Ailsa adalah pasien terunik yang pernah kutemui. Bahkan aku harus berpura-pura untuk menjadi seorang suster untuk dapat mendekatinya.”ucap Sarah di tempat yang sama ia mengobrol dengan Ailsa beberapa hari sebelumnya. Kini bukan Ailsa yang duduk disampingnya, melainkan Mira.
“Maaf telah merepotkanmu.”jawab Mira.
„Sama sekali tidak. Justru aku yang minta maaf karena tidak mampu menolong adikmu. Aku merasa gagal.“ucap Sarah sama tak enaknya seperti Mira.
“Aku hanya ingin memberi tahumu satu hal. Aku sempat menanyakan ini pada Ailsa.”
„Apa?“rasa ingin tahu Mira tergambarkan melalui ucapannya.
„Aku sempat bertanya, ‚apa harapanmu apabila kau bisa mengakhiri hidupmu?‘“
„Lalu apa jawabannya.“
„Ailsa tidak mau ada upacara pemakaman dan tidak mau ada upacara apapun untuk memperingatinya. Selama ini ia selalu berusaha untuk meninggalkan image sebagai Ailsa yang dulu seperti sewaktu di Jerman dihadapan teman-temannya.“
Mira tertegun mendengar ucapan Sarah.
„Ailsa ingin dikenang sebagai Ailsa sahabat mereka yang tidak bermasalah, oleh karena itu Ailsa selalu berusaha untuk tidak membagi masalahnya dengan mereka. Ailsa ingin dikenang sebagai katakanlah teman yang kini tidak satu kota lagi dengan mereka. Itu harapan Ailsa.“
„Sedari dulu jalan pikiran anak itu memang selalu berbeda dari kita yang normal.“ucap Mira berlinangan air mata.
Sarah hanya mampu memeluknya, mencoba untuk ikut memikul kesedihan Mira.
„Kenanglah dia bukan dengan tangisan, tapi dengan senyuman.“bisik Sarah pada Mira. Mira hanya mampu mengangguk dalam pelukan Sarah kemudian menghentikan tangisannya dengan menarik napas sedalam-dalamnya kemudian dihembuskannya kembali.
„Ok.“ucap Mira sembari menyeka matanya, Sarahpun telah melepaskan pelukannya.
“Aku akan mengikuti keinginannya. Aku akan mengenangnya bukan dengan air mata, tapi dengan senyuman.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H