Setelah singgah di beberapa kota, saya berlabuh di sebuah kota nun jauh di sana, kota yang tak pernah kuimpikan sebelumnya.
Cita-cita sederhana. Menimba ilmu sekaligus memahami adat dan budaya lokal. Suatu tantangan tersendiri sekaligus berpetualang.
Itulah dinamika hotelier. Betapa saya menaruh perhatian penuh pada bisnis ini. Bukan untuk kepentingan pribadi semata namun menurunkan ilmu penjualan dan pemasaran kepada adik-adik hotelier, jika mungkin hingga ke pelosok.
Seiring perubahan zaman, kemajuan semakin membumbung di tengah persaingan yang tajam. Baik perubahan positif maupun sistem yang semestinya diluruskan.
Di awal masa pandemi, segala kegamangan itu terpikir. Bukan galau, tapi sesuatu yang mengganjal dalam pikiran. Sesal, galau bercampur aduk oleh karena ketidakberesan dalam metode pemasaran di beberapa tempat.
Terasa juga sesal mengapa saya tidak menurunkannya sedari dulu. Patah tumbuh hilang berganti, saya hanyalah pimpinan estafet. Di tengah masa hawar, seakan semuanya terlambat.
Suatu hari, saya teringat blog pribadi yang usang dan terlantar. Saya mulai menulis. Jumlah pembaca dapat dihitung dengan jari.
Impianku, jika mungkin seluruh hotelier membaca dan mengetahui isi pikiranku. Tapi bagaimana caranya?
Keingian mengungkap sesuatu menjadi tulisan yang dapat dibaca seluruh hotelier, terus menari-nari dalam pikiran.
Perkenalanku dengan Kompasiana tahun lalu adalah titik balik perjuanganku mengelola rasa itu. Saya getol menulis perihal dunia hotel dan masalahnya. Inilah yang mendorong hasrat menulis.
Walau tulisan pertama hanya dibaca 68 Kompasianer, tidaklah memadamkan semangatku. Ada sesuatu yang belum terungkap. Jadi, tetap giat menulis.