Dua hari lalu, kita kehilangan sosok panutan, Bapak Artidjo Alkostar. Suasana berkabung masih menyelimuti negri.
Sepeninggal Pak Artidjo, media penuh berita yang mengharumkan namanya. Pihak keluarga pasti membacanya. Terselip bangga melihat banyak Kompasianer menuliskannya hingga Kompasiana mencantumkan dalam Topik Pilihan.
Publik tersentak saat Pakar Hukum ini memutus perkara kasasi kasus korupsi Angelina Sondakh pada 2012. Hakim ini Memperberat 4 tahun masa hukuman. Sejak saat itu koruptor, pengacara akan berpikir ulang bila pengajuan kasasi.
Setelah itu berturut-turut banyak pesakitan yang ia tangani perkaranya semakin ciut hati, memilih tidak perlu mengajukan kasasi.
Media sedang ramai membicarakan sosok Artidjo yang baru berpulang. Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, nama baik akan dikenang orang.
Seandainya saja negri ini memiliki banyak sosok pribadi seperti Bapak Artidjo yang jujur dan sederhana, itulah harapan rakyat.
Kejujuran tak perlu digaungkan, terbukti saat ditolaknya upah bekerja selama 9 bulan, ia merasa absen bekerja sementara dirinya studi di luar negri. Down to earth, semua dariNya untuk kepentinganNya dan menganggap diri hanya sebagai pengelola harta titipan di dunia ini.
Tidak berlebihan bila media mewartakan secara jujur kesahajaan tentang beliau. Yang tampak di pandangan, kabar dari mulut ke mulut, itulah yang menjadi berita menyejukkan.
Bagai mencari jarum dari jerami, demikian sulitnya menemukan pribadi yang lurus hati serta bersahaja. Kalimat bijak "jujurlah maka kamu akan hidup".
Apalagi jurus tipuan, pasti mentah-mentah ditolaknya. Ia tidak silau barang duniawi. Ikhlas melakukan segala pekerjaan dengan tulus hati.