Suatu hari saya ngobrol ringan dengan tetangga. Bu Amah nama tetangga saya, usia 61 tahun. Obrolan hingga masalah vaksin sebab cepat atau lambat pasti kita semua akan divaksin.
Tersirat dalam celotehnya bahwa dirinya enggan divaksin. Alasannya karena ia sesekali saja keluar rumah. Kedua ia jarang bersosialisasi dengan penduduk diluar lingkungan RT. Setidaknya, tak pernah berkerumun, katanya.
Bu Amah memang patuh pada aturan 3M. Namun urusan vaksin belum terpikir, katanya lagi. Bukan karena fobia jarum suntik sepertinya tapi lebih kepada lanjut usia.
Sambil bergurau, "ne waktune mate, yo wes mate ae", kalau sudah waktunya meninggal, ya meninggal saja ujarnya. (maaf ya agak kasar, saya menangkapnya begitu)
Begitulah pandangan setiap orang berbeda tentang vaksin. Bahkan yang tidak takut jarum suntikpun ikut keras kepala. Bagi mereka lebih baik membayar denda daripada divaksin. Alasannya sebenarnya, hanya dialah yang mengerti.
Seandainya semua rakyat di negri ini manut saja, pasti aman sentosa. Kenyataannya lain.
Dikeluarkannya Perpres 14 tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 pada 9 Februari 2021, memperkuat kegigihan pemerintah guna menghambat virus.
"Hari gini kayaknya gak jaman lagi memperdebatkan mau atau tidak seseorang divaksin. Mendengarnya saja sudah jengah", tutur seorang kawan.
Apalagi pemerintah bertanggung jawab penuh terhadap mereka yang terkena dampak vaksin bila cacat atau meninggal setelah divaksin. Suatu kesungguhan pemerintah dalam memerangi virus di negri ini.
Perbedaan pandangan terhadap sesuatu hal adalah biasa. Itu sebabnya diperlukan peraturan agar menjadi dasar kesatuan pandangan. Namun bila peraturan dibuat tanpa mengindahkan norma, sama dengan cara mengacak-acak tatanan bermasyarakat.