Sepuluh tahun lalu, manager dan staf penjualan menghadap padanya. Bujukan agar meloloskan pemasok mesin baru, dItolaknya mentah-mentah.
Kesempatan kedua, Sobi sadar ia dikucilkan. Tim kerja kisruh, saling mengadu domba. Tujuannya jelas, Sobi setengah dipaksa menandatangani perjanjian kerjasama dengan iming-iming imbalan komisi.
Akhirnya Roni dan Hendi, bawahannya yang selalu setia memberikan presentasi dalam pertemuan penting. Bertiga dalam diskusi serius. Sang manager membeberkan melalui power point. Lengkap dan lugas. Seorang staf, mengulas kembali kesempatan berkolaborasi.
Kali ini Sobi senang. Bertiga mereka puas, diskusi berjalan lancar.
Waktu berlalu cepat, kedua anak beranjak remaja, istri cantik anugrahNya, karir gemilang, Lengkaplah kebahagiaan. Keluarga Sobi menjadi contoh teladan di kantor.
Lima Bulan kemudian Sobi membeli sebidang tanah di kampung halaman. Pensiun kelak, ia ingin berkebun menanam sayuran dan buah-buahan. Menikmati hari tua bersama istri tercinta, anak-anak serta cucu.
Tak lama berselang, seorang kawan bisnis menawarkan sebuah rumah di Kelapa Gading. Tertarik ingin memiliki rumah lebih nyaman, ia langsung menyimpan sertifikat rumah baru atas nama Wulan.
Istrinya bertanya dari mana uang sebanyak itu. Sobi terdiam. Hatinya bergetar saat istri mengulang pertanyaan. Ia simpan rasa gentar di sudut ruang hati.
Hidup ibarat gelombang lautan.
Suatu sore, breaking news di semua TV channel. Media gaduh, koran, majalah, medsos. Seorang manager dan staff dicokok KPK. Tinggalah dirinya sebagai direktur, menjadi target bidikan KPK. Sobi, penanggung jawab tingkah polah kedua bawahannya.
Suatu petang Sobi diciduk di rumah megahnya. Sang istri dan kedua anak terkejut. Diam adalah emas, pikirnya. Ia diam selama persidangan. Ia menyalahkan diri. Kenapa setuju rencana itu.
Pikirannya ruwet, hati bergejolak, sedih, malu, sesal.