Saat kami tinggal di Johor Bahru, kadang akhir pekan kami rencanakan bermalam di Batam. Dengan menyebrang dengan kapal Feri selama 90 menit, kami dapat menghilangkan penat.
Tba di hotel, kami langsung ke kamar. Karena langit hampir gelap saya sempatkan berenang. Airnya amat jernih, tampak beberapa keluarga masih berendam di hari Sabtu petang itu.
Ketika hendak kembali ke kamar, saya ingat kunci kamar tidak terbawa. Kemudian saya meminta kunci tambahan, namun resepsionis menolak dengan alasan sudah diberi 2 kunci kamar.
Saya berjanji bahwa setelah tiba di kamar, kunci akan dikembalikan. Resepsionis masih menolak memberikan kunci ekstra.
Setelah itu saya menelpon ke kamar dari landphone lobby, tidak ada sahutan. Setelah dicari-cari, ternyata sang suami sedang duduk di Lounge dekat area lobby.
Kesal dengan perlakuan resepsionis, saya langsung menghadapkan suami kepada resepsionis agar ia menjelaskan alasan saya perlu kunci tambahan itu.
Tanpa diminta ia langsung memberikan kunci pada saya, padahal saya sudah tidak memerlukannya lagi. Peristiwa ini membuat penghargaan saya terhadap resepsionis berkurang.
Perlakuan diskriminasi semacam ini sering terjadi di hotel. Saya sebagai hotelier bahkan sering mengalami kejadian tidak terduga dan menyakitkan.
Seperti pada waktu sarapan prasmanan, pramusaji memberikan sapaan ramah dan menyilakan tempat duduk pada bule. Sebaliknya saya tiba di restoran, harus mencari kursi. Namun saat suami datang, waiter menyambutnya dengan ramah. Saya terdiam, tapi pemandangan seperti ini sangat tidak menyenangkan.
Saya, seorang istri dari suami bule, memakai kacamata saya bagaimana memandang WNA seperti kisah dari beberapa pengalaman berikut: