Saya banyak mewarisi hampir seluruh hobi dan kebiasaan ayah. Urusan melancong adalah prioritas. Karena hobi ini, ia sanggup kemanapun seorang diri. Apabila Ibu merasa lelah, ia membiarkan ayah pergi denganku melancong.
Tak pernah memanjakan
Ayah yang lebih kusukai sebagai tempat bertanya segala pengetahuan ketimbang bermanja dengannya. Ibu tempat bermanja namun ayah sebaliknya.
Mungkin terdengar seperti sosok ayah yang kaku bagi jaman now. Saya lebih suka mengadu pada ibu daripada ayah. Namun sesekali ia mengajakku kerumah kawan-kawan bule agar bermain dengan anak-anaknya.
Di kala kesukaran menerpa dalam pekerjaan, justru saya selalu ingat pesan ayah. Ia kerap memberikan semangat ketika kanak, yang tersimpan dalam ingatan hingga kini.
Peraturan di Rumah
Anak lelaki dilarang memasak, anak perempuan tak boleh keluar rumah lebih dari pukul 06:00 petang. Duduk tak boleh kaki bertumpuk ketika berbicara dengan orang tua. Makan tak boleh berbunyi, Makan dilarang sambil berjalan atau berdiri. Setiap pukul 18:00 berkumpul di rumah. Itulah peraturan rumah.
Yah, namanya jaman dulu kan begitu. Jadi kaki saya berpijak pada dua jaman. Satu jaman, pendidikan ketat yang sangat kontradiksi dengan jaman now. Satunya lagi di jaman kiwari.
Pecinta buku
Ayah sangat perhatian pada buku-buku yang kubeli. Setiap kali ia membelikan buku-buku kesukaanku. Buku berjilid seperti Life, National Geographic. Juga koleksi buku-buku berbahasa Belanda, German, Perancis memenuhi rak buku. Kami memiliki hobi yang sama. Baginya tanpa buku hidup ini kosong. Sine libris vita lacuna.
Bergaul dengan siapapun membuatnya banyak dikenal. Mulai dari penjaga sekolahku hingga kawan dari berbagai negara selalu berkumpul bersama, bertukar pikiran. Kala itu masih kanak, mereka sering mencubit pipiku.