Barangkali hubunganku dengan ayah, berbeda dengan siapapun. Kalaupun ada yang mirip, pasti ayah yang lahir di jaman sebelum kemerdekaan atau beberapa tahun setelahnya.
Sosok disiplin, bahkan teramat disipiin kepada kami berempat anak-anaknya. Anak perempuan tak boleh keluar rumah setelah pukul 06 petang. Jika diijinkan pergi, saya harus meyakinkan ada kawan menjemput ke rumah. Kemana dan tujuan apa. Itu salah satu peraturan.
Ada kisah lucu-lucu sedih karena aturan disiplin itu. Saat kami di meja makan, Adikku harus memakan habis makanan dipiring. Ayah akan duduk menunggunya sampai habis sampai kapanpun. Karena perut yang membuncit, sampai ia tertidur di meja makan. Namun ayahku tak marah.
Menurut biography, kakekku dari ayah adalah seorang abdi dalem di Yogyakarta - Jawa Tengah dan nenek dari Malayu. Kemudian ayah menikah dengan seorang wanita Jepang, ibuku yang bernama keluarga (surname) Yamaguchi. Keluarga besar ibu masih ada disana hingga sekarang.
Selalu disiplin
Ayah memang sosok yang lembut hatinya, tetapi sangat ketat dalam hal disiplin.
Masa kecilku dengannya sangat berbeda seperti seorang ayah pada umumnya. Ia bersikap mendidik ketimbang memanjakan.
Pelajaran yang membuatku kesal ketika kanak-kanak, saya harus membaca holy bible. Setiap hari, pukul 18:00, satu jam. Duduk manis dan saya membacanya. Tak boleh absen.
Tapi ayahku jarang sekali marah, ngomel atau bersungut-sungut. Dengan sikapnya ini, membuat kami segan untuk memberi alasan apapun.
Karena kepandaiannya beberapa bahasa asing, ia bergabung dengan satu foundation dari Amerika. Cita-cita tertingginya adalah berkecimpung dalam bidang edukasi. Di kemudian hari, menjadikannya pendiri satu institute di Bandung tahun 1989.