Sesaat larut dalam hingar bingar hubungan yang masih remaja, berkenalan dengan ratusan kepakan sayap baru. Tenggelam dalam warnawarni ucapan semangat kala membuka sukma, hingga celotehan nakal sebelum jingga meraup mata.
Ah, ada yang terlupa.
Sosoksosok yang merangkul tubuh ringkih menahan serangan masa. Sosok yang mengambilkan sehelai daun lontar, -melindungi di antara sengitan sang penguasa cahaya. Sosok yang mengelus pipi, memudarkan kilauan air yang merembes dari kedua retina raga. Sosok yang setia ada meski diri ini kadang mengabaikannya.
Sore ini aku tersadar kembali.
Sosok itu tengah jengah meniti tiaptiap langkah kisah. Susah payah menyeret langkah yang kini tengah jatuh dalam lembah. Ia sosok yang kuat, -aku tahu. Karena itulah tak sepatah pun kata ia lontarkan untuk meminta hiba.
Tapi sore ini matanya bercerita sendu padaku. Tentang kisah rapuh mengaduh, meluber peluh tanpa teduh. Bahkan pecahan suci itu tak luput mengoyak pertahanan indahnya, -menyisa sembab yang hampir mustahil menodainya.
Kemana aku selama ini?
Sosok ini, -yang selalu merelakan tangannya mengusap peluh mataku, kenapa kubiarkan hujan yang menghapus peluh matanya?
Sosok ini, -yang selalu menenangkan kekacauan batinku, kenapa kusandingkan sepi dalam senyap hadirnya?
Karena tak ada yang abadi, -itu katanya. Tapi toh keabadian itu siapa yang tak boleh memperjuangkannya?
Aku masih di sini.
Meski kadang langkahku mulai beranjak berganti arah, -bersama kunangkunang lain yang masih bayi dalam hidupku.
Aku masih di sini.
Meski tak luput amarah menggelayut nakal, memperlebar jarak tak terhayalkan dalam laju kisahku.
Ini,
aku di sini (lagi),
kemarilah,
Kusodorkan kembali keriput tangan untuk menggenggam. Kita berjuang untuk kemalangan yang sedang tertawa dalam lamunan.
Aku kembali ya..
Sambutlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H