Keindahan yang Dapat Dijamah oleh Mata
Tidak terasa saya banyak sekali mengeluh dan membuang nafas ketika sampai di loket pembelian tiket masuk ke Kebun Raya Bogor. Perjalanan yang ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 1 kilometer tidak disarankan untuk kategori seperti saya yang tidak berolahraga selama pandemi. Untungnya, cuaca hari itu mendukung saya untuk merasa nyaman dan merealisasikan self healing dengan benar.
Harga tiket masuk yang harus dibayar cukup murah, saya menghabiskan Rp 35.000, - untuk dua orang dewasa, harga tiket akan berbeda jika datang pada saat akhir pekan.Â
Setelah membeli tiket masuk, rasanya kami terlalu siap untuk menjajaki tiap sudut dari kebun raya. Tidak lupa dengan bantuan peta lokasi destinasi dan rambu pengarah ke destinasi tersebut.
Namun, wacana akan tetap menjadi wacana bila manusia tidak dapat melewatinya. Saya sudah berencana untuk mampir ke taman akuatik, namun papan pengarah ke bunga bangkai raksasa jauh lebih menarik dari sudut mata saya. Saya dan teman saya terus berjalan sekitar 1 kilometer untuk mencari bunga bangkai raksasa tersebut.
Tanpa kami sadari ternyata bunga tersebut sudah terlewat 500 meter dari tempat kami sekarang. Pemandangan pohon-pohon tinggi dengan jenis nama pada setiap pohonnya ternyata membuat saya begitu nyaman berjalan hingga lupa akan apa yang saya cari pada awalnya.
Sangat indah hingga rasanya duduk diam di pinggiran pepohonan sambil bercerita bukanlah hal yang buruk juga. Namun, pada akhirnya perjalanan harus tetap berlanjut dan tujuan kami berikutnya adalah jembatan gantung. Sekitar 400 meter jarak yang harus ditempuh untuk sampai ke jembatan gantung yang berwarna merah tersebut.
Namun, sekali lagi harus ditanamkan bahwa ekspektasi memang terkadang memakan realita. Ketika sampai di depan jembatan gantung, ternyata sudah ada rambu peringatan dilarang masuk, yang artinya wisatawan tidak bisa menginjaki jembatan tersebut. Tidak kehabisan akal, saya tetap berjalan berbalik ke jembatan besar yang sebelumnya saya lewati.
Banyak hal yang tidak kalah indah, tergantung setiap orang melihatnya dengan cara apa. Sampai di jembatan tersebut kami bertemu dengan beberapa wisatawan yang sedang berfoto dengan sepeda sewaannya. Tidak ingin ketinggalan juga, ditangan saya sudah siap kamera handphone untuk mengabadikan tiap lekuk ciptaan Tuhan yang diperindah oleh manusia.
Berjalan kaki sedikit dari jembatan permanen yang kami singgahi tadi, sekitar 200 meter kita berjumpa dengan Pohon Jodoh. Kedua pohon ini telah ditanam sejak tahun 1866.Â
Saya sempat penasaran mengapa dinamakan jodoh, dan ternyata karena dua pohon tersebut terus berdampingan sepanjang hidupnya. Mereka nampak sama, namun ternyata berbeda jenisnya.