[caption id="attachment_305696" align="aligncenter" width="540" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock)"][/caption]
Satu minggu ini, bangsa Indonesia diramaikan berita tentang masalah pasien, Â dokter, rumah sakit dan Mahkamah Agung. Banyak polemik yang terjadi dalam menanggapi masalah tersebut baik yang pro maupun kontra. Terus terang saya tidak begitu mengikuti perkembangan berita tentang hal tersebut. Yang saya ketahui di Indonesia ada demo para dokter di seluruh Indonesia.
Dalam tulisan ini, saya tidak ingin mengomentari tentang polemik tersebut. Saya hanya ingin menceritakan tentang pengalaman pribadi yang dialami selama berhubungan dengan dokter dan rumah sakit. Kisah nyata dalam tulisan ini adalah salah satu pengalaman menarik yang dialami selama berhubungan dengan dokter dan rumah sakit. Silakan para pembaca untuk menilainya sendiri dan berharap bersikap bijak dalam memandang sebuah kejadian.
Kalau bicara tentang dokter dan rumah sakit maka saya boleh dibilang cukup pengalaman. Ada kisah sedih, gembira, sebel, kecewa dan lain-lain bercampur aduk jadi satu. Mengapa saya mengatakan berpengalaman ? Sejak tahun 1996 sampai tahun 2010, interaksi saya dengan dokter dan rumah sakit boleh dibilang intens bahkan bosan juga dibuatnya tetapi ini menjadi pengalaman menarik dalam hidup saya.
[caption id="attachment_26" align="aligncenter" width="300" caption="Sample Resep Dokter (pharmacy.about.com)"]
Hampir 14 tahun saya selalu berhubungan dengan dokter dan rumah sakit karena selama itulah saya mengurus penyakit yang diderita almarhumah ibu. Pada awalnya almarhumah teridentifikasi mengidap penyakit diabetes. Nah dari diabetes itulah penyakit almarhumah merambah kemana-mana. Mulai dari jantung, stroke sampai lumpuh kaki beliau. Hampir tiap tahun almarhumah dirawat di rumah sakit dan dalam setahun rata-rata  masuk rumah sakit sampai 3 kali. Bayangkan 3 kali setiap tahunnya dan selama 14 tahun almarhumah mengalami koma sampai 8 kali. Selain itu beberapa rumah sakit di Jakarta sudah pernah didiami almarhumah. Sampai-sampai dokter yang merawat beliau terkaget-kaget melihat track record kesehatan beliau, kok kuat sekali ya ibu anda. Begitulah ucapan beberapa dokter yang merawatnya, Memang almarhumah ibu luar biasa daya tahan tubuh dan semangatnya untuk tetap hidup dan sembuh.
Ada satu waktu almarhumah koma di rumah dan dibawa ke rumah sakit. Sepanjang jalan keponakan dan almarhum bapak menangis dan memperkirakan almarhumah tidak dapat bertahan hidup karena memang sudah tidak sadarkan diri. Tetapi saya tetap tenang dan yakin kalau almarhumah dapat sadar kembali dan hidup lebih lama. Semua orang termasuk dokter yang merawat almarhumah sampai heran dengan keyakinan saya. Mungkin karena saya yang selalu mengurus dan menjaga beliau setiap koma maka saya tahu secara feeling kalau beliau dapat bertahan hidup.
Ok ! saya akan menceritakan kejadian unik pada saat dirawat di sebuah rumah sakit swasta di daerah Kedoya, Jakarta Barat. Kejadiannya sekitar tahun 2002, saya ingat sekali tahunnya karena Jakarta saat itu dilanda banjir hebat dan menggenangi rumah saya juga. Pada saat itu kehidupan keluarga kami morat-marit. Krismon tahun 1998 meluluh lantahkan perekonomian keluarga terutama usaha almarhum Bapak. Usaha Bapak mengalami kebangkrutan sampai tidak mampu membayar kredit bank yang bunganya luar biasa sekali. Rumah yang kami tinggali saat itu masih dalam jaminan bank dan sedang menuju proses pelelangan. Bayangkan sudah bangkrut, rumah mau dilelang, almarhumah masuk rumah sakit. Rumah kami memang besar dan dalam lingkungan perumahan elit tapi kami tidak mempunyai uang sama sekali. Yang tersisa adalah mobil mitsubishi tahun 1972 milik saya dan kondisinya pun tidak layak jalan.
Siang hari itu, almarhum bapak memangil-manggil saya untuk memeriksa kondisi almarhumah ibu yang sudah tidak sadarkan diri alias koma. Saya menduga gula darah almarhumah naik karena beliau memang terkenal tidak disiplin dalam menjaga dietnya. Almarhum Bapak bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Membawa ke rumah sakit sekelas Harapan Kita atau Islam Jakarta atau Pelni kuatir ditolak karena kami memang tidak punya uang sama sekali untuk jaminannya. Untuk makan saja sudah empot-empotan apalagi buat jaminan rumah sakit, darimana dapat uangnya. Akhirnya saya memutuskan untuk membawa almarhumah ke rumah sakit kecil dekat rumah di daerah Kedoya. Saya punya keyakinan bahwa rumah sakit tersebut dapat menerima almarhumah tanpa jaminan uang sama sekali karena saya mengenal beberapa petugas administrasi di rumah sakit tersebut dan yakin almarhumah menjadi pengecualian dalam syarat membayar jaminan.
Benar saja, sesampainya di rumah sakit tersebut almarhumah dapat segera dirawat karena ada petugas administrasi yang saya kenal bertemu saat almarhumah diturunkan dari ambulance yang menjemput almarhumah dan kami di rumah. Hari pertama dan kedua almarhumah belum sadarkan diri dan kami masih dibebaskan untuk membayar tebusan obat alias diambil dulu obatnya dan masalah bayar dapat dilakukan belakangan. Hari ketiga almarhumah sadarkan diri tetapi masih dalam kondisi lemah. Pada saat itu saya masih di rumah karena malam hari saya dapat giliran jaga.
Menjelang sore, almarhum bapak pulang ke rumah dengan wajah lesu dan bingung. Akhirnya saya menanyakan ada apakah gerangan yang membuat almarhum bapak seperti itu. Sebelum cerita almarhum bapak menyerahkan selembar kertas kepada saya. Ooo rupanya resep dokter. Beliau menceritakan bahwa resep dokter tersebut harus dibayar berikut total biaya selama 2 hari perawatan. Dapat uang darimana pikir beliau. Saking sudah tidak bisa berpikir lagi, beliau menyuruh saya untuk mencari cara dan menyelesaikan pembayarannya karena kalau tidak almarhumah ibu tidak dapat lagi dirawat atau diberikan obat. Padahal obat tersebut sangat penting bagi pemulihan kesehatan almarhumah ibu.