[caption id="attachment_94815" align="aligncenter" width="375" caption="Sosok Wanardi (koleksi pribadi)"][/caption]
Perjalanan kedua saya ke Sanghyang Sirah kali ini memang agak berbeda. Berbeda dengan yang pertama yang lebih banyak jalan-jalannya alias wisata. Tapi yang kedua ini lebih kepada kontemplasi diri karena tinggal disana selama 10 hari yang disertai dengan 7 hari berpuasa.
Saya tidak akan mengupas tentang kontemplasi diri tapi ingin menceritakan seorang pemuda sederhana yang saya temui di Sanghyang Sirah. Namanya singkat yaitu Wanardi. Pemuda lajang berusia 37 tahun asal desa Kapetakan Pegagan, Cirebon dengan perawakan seperti orang Indonesia umumnya yaitu kulit sawo matang, rambut lurus, tinggi normal dan selalu berpakaian layaknya seorang santri di sebuah pesantren.
Bicara pesantren maka ini ada hubungannya mengapa Wanardi bisa berada sendirian di Sanghyang Sirah. Sebagai seorang santri sebuah pesantren di Banten, sebenarnya Wanardi sedang menjalankan amanah yang diberikan oleh Kyainya. Â Pada awalnya Wanardi berpikir amanah tersebut bukan ditujukan kepadanya karena saat itu Kyainya mengatakannya di dalam sebuah forum diskusi di pesantren. " Suatu saat saya menginginkan ada satu saja santri saya yang mau berdiam diri di Sanghyang Sirah selama 40 hari "
Entah bagaimana ceritanya, pada suatu hari Wanardi bermimpi dipanggil oleh Kyainya untuk menghadap dan benar saja beberapa hari kemudian Sang Kyai memanggilnya dan memberikan sejumlah uang untuk menyuruhnya berangkat ke Sanghyang Sirah pada keeokan harinya. Tanpa persiapan dan buta tentang Sanghyang Sirah, Wanardi pergi pagi-pagi sekali. Demi menghemat uang pemberian Sang Kyai, kadang-kadang pemuda ini melakukan perjalanan dengan jalan kaki. Karena keterbatasan informasi dan petunjuk seadanya dari Sang Kyai maka Wanardi sempat kesasar ke daerah Cikeusik. Di Cikeusik Wanardi beristirahat selama sehari dan mulailah ada perasaan ragu-ragu  atau mau dikatakan menyerah karena mulai menipisnya uang dan perbekalan yang ada. Apalagi setelah mendapatkan informasi dari penduduk Cikeusik yang mengatakan perjalanan menuju Sanghyang Sirah membutuhkan waktu sampai 3 hari dan butuh perbekalan yang memadai serta kesiapan fisik dalam menghadapi medan yang akan ditempuh.
Dengan alasan kesiapan fisik dan perbekalan, akhirnya Wanardi memutuskan untuk membatalkan perjalanan pertamanya ke Sanghyang Sirah dan kembali ke pesantrennya. Sesampainya di  pesantren, Wanardi langsung menemui Sang Kyai dan mengutarakan alasan kegagalannya ke Sanghyang Sirah. Sang Kyai hanya tersenyum dan tidak marah setelah mendengar alasan Wanardi. Kemudian Sang Kyai menyuruhnya untuk istirahat dan akan memanggilnya kembali pada kesempatan yang lain. Wanardi tampak merasa bersalah dan menyesal telah mengecewakan Sang Kyai yang sangat dihormatinya.
Beberapa hari kemudian, seorang Santri menyerahkan sebuah surat kepada Wanardi. Ternyata surat dari Sang Kyai yang isinya adalah menyuruh Wanardi pulang ke kampung menemui orang tuanya dan menyuruhnya kembali melakukan perjalanan ke Sanghyang Sirah setelah mendapatkan doa restu dari orang tuanya serta boleh bertemu kembali dengan Sang Kyai setelah melaksanakan amanahnya. Selain surat, Sang Kyai juga menitipkan sejumlah uang sebagai bekal perjalanan.
Setelah mendapatkan restu dari orang tua dan persiapan yang lebih matang, dari kampung halamannya Wanardi melakukan perjalanan ke Sanghyang Sirah . Perjalanan sendirian ke daerah yang masih asing baginya sempat membuatnya ketar ketir tapi kembali lagi dengan kekuatan moral dari orang tua, Sang Kyai dan lebih utama lagi keyakinannya kepada Allah SWT maka perjalanan masuk hutan Taman Nasional Ujung Kulon dapat dilaluinya dengan baik. Walaupun dalam perjalanan Wanardi banyak menemui binatang-binatang buas tapi semuanya baik-baik saja.
Wanardi sempat bercerita sewaktu menyeberangi sebuah sungai di Cibunar yang saat itu sedang deras dan dalam akibat hujan di hulu. Dengan perasaan was-was karena dalamnya air sungai sampai sebatas leher dan masih banyaknya buaya di sungai tersebut akhirnya dapat dilalui dengan selamat. Kemudian Wanardi pernah bertemu dengan sekumpulan banteng yang menurutnya seperti ingin mengejarnya tapi kembali lagi tidak terjadi apa-apa. Dan masih banyak pengalaman yang dialaminya.
Di Sanghyang Sirah Wanardi mulai menjalankan amanah Sang Kyai untuk berdiam diri selama 40 hari. Awalnya berlangsung lancar tetapi memasuki hari ke-17 Wanardi terkena malaria. Dengan kondisi sakit akhirnya Wanardu nmemutuskan untuk pulang ke kampung halamannya kembali. Selama 6 bulan Wanardi dirawat di rumah sakit dan hanya pasrah saja menerima cobaan tersebut.
Tiga bulan setelah keluar dari rumah sakit, Wanardi memutuskan untuk kembali ke Sanghyang Sirah dengan uang perbekalan dari koceknya sendiri setelah sempat kerja sambilan  untuk mengumpulkan uang untuk biaya ke sana. Wanardi terus beristiqomah agar dapat memenuhi amanah Sang Kyai. Akhirnya Wanardi bisa berangkat juga walaupun orang tuanya sempat kuatir dengan kondisi anaknya. Tetapi Wanardi terus menjelaskan kepada orang tuanya tentang makna sebuah amanah dari seorang yang sangat dihormatinya dan ini harus dipenuhi sehingga tidak menjadi beban hidup di akhir hayatnya.