Mohon tunggu...
Cechgentong
Cechgentong Mohon Tunggu... wiraswasta -

Alah Bisa Karena Biasa\r\n\r\nMalu Bertanya Sesat Di Jalan\r\nSesat Di Jalan Malu-maluin\r\nBesar Kemaluan Tidak Bisa Jalan\r\n\r\nPilihan selalu GOLTAM

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Aku dan Pertanian

16 Juli 2010   00:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:50 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Protected by Copyscape Online Copyright Protection

[caption id="attachment_195236" align="aligncenter" width="500" caption="bumiganesa.com"][/caption]

Beberapa hari ini tanpa sengaja saya melihat berita di televisi tentang kisruhnya sebuah organisasi yang bergerak di dunia pertanian yaitu Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Saya kurang mengerti sebenarnya apa yang menyebabkan terjadinya kekisruhan tersebut. Ada dua kubu yang saling mengklaim yaitu Kubu Prabowo Subijanto dan Kubu Oesman Sapta Odang. Alasan kekisruhan tersebut disebabkan oleh satu kata yaitu demokratis.  Kubu satu dianggap terlalu otoriter dan membatasi kebebasan berdemokrasi kubu lain di organisasi tersebut.

Melihat itu semua, saya hanya merasa heran dan berpikir apakah benar para petani/nelayan/peternak butuh demokrasi dan merasa terwakili oleh organisasi tersebut. Sebagai orang yang pernah bergelut dengan dunia pertanian walaupun lebih banyak di pasca panennya maka saya merasa miris dengan kegaduhan tersebut. Tapi saya tidak akan membicarakan kekisruhan organisasi tersebut. Bagi saya yang terpenting adalah adanya perlakuan yang adil bagi petani/nelayan/peternak dan kehidupan mereka tiap tahunnya makin membaik serta tidak terpuruk. Itu saja yang ada dalam pikiran saya.

Terus terang waktu awal-awal saya lulus kuliah dulu, saya pernah merasakan bagaimana bersinggungan langsung dengan kehidupan petani. Kalau dikatakan membina petani, saya pikir apa yang saya lakukan jauh dari kata membina. Karena memang tidak mudah dan butuh kearifan dalam bentuk waktu, energi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Saat itu kebetulan saja saya punya usaha pemasok bahan baku untuk jamu. Tanpa sengaja pada saat saya istirahat di Bojonglopang, Jampang kulon Kabupaten Sukabumi melihat beberapa orang yang mengangkut jahe dalam jumlah terbatas untuk kebutuhan pasar tradisional di Sukabumi. Jahe yang dijualpun hanya sebagai komoditi tambahan bagi komoditi pertanian lainnya. Di sana jahe tersebut terkenal dengan jahe kapur (daerahnya memang berkapur) atau saya mengatakannya jahe emprit. Saat itu jahe kapur tersebut sangat murah bahkan dihargai seadanya asal cukup untuk menutupi ongkos ke pasar.

Besarnya potensi yang dimiliki daerah tersebut maka saya berinisiatif untuk membeli jahe kapur tersebut dengan harga yang lebih bernilai yaitu dari harga hanya Rp 75 menjadi Rp 175. Itupun saya yang mengambil langsung di tempat. Jadi petani tidak usah lagi direpotkan oleh masalah pengiriman. Tiap minggu saya mengambil jahe tersebut satu truk engkel yang bobotnya hampir 5-6 ton. Jahe-jahe tersebut saya proses lagi menjadi jahe kering dan selanjutnya disuplai ke pabrik-pabrik jamu.

Tanpa dinyana hubungan saya dengan petani berlangsung hingga 2 tahun dan saya  sempat arahkan untuk melakukan penanaman tumpang sari dan bergilir (diatur pola penanamannya) agar pasokannya terjaga sepanjang tahun.  Untungkah? Kalau bicara untung secara ekonomis maka saya hanya bisa tersenyum. Saya hanya mengatakan ini bagian dari idealisme saya sebagai sarjana teknologi pertanian. Hebatkah ? Ini lagi satu pertanyaan yang akan saya jawab dengan entengnya yaitu saya masih jauh dari kata hebat dibanding para penyuluh pertanian yang ada di pelosok negeri ini yang katanya negeri agraris. Mereka itulah orang-orang hebat dimana mau mengabdi untuk kepentingan dan kemajuan dunia pertanian di Indonesia.

Apa yang terjadi kemudian dengan petani jahe di Sukabumi tersebut ? Ibaratnya sudah capek-capek mengarahkan dan mulai tercipta keseimbangan pasokan. Tiba-tiba datanglah orang-orang dari Jakarta yang kebanyakan adalah broker dari buyer luar negeri dan kerjanya hanya menekan petani. Saat itu di Indonesia sedang maraknya jahe gajah. Karena harganya dianggap tinggi sehingga orang-orang tersebut berlomba-lomba mencari jahe gajah ke pelosok nusantara. Perlu diketahui jahe gajah di Indonesia hanya cocok ditanam di daerah Bengkulu. Sedangkan jahe gajah yang ada di tanah Jawa berasal dari bibit jahe Bengkulu. Berbondong-bondongnya broker tersebut merusak tatanan yang telah saya bentuk. Mereka menghasut petani untuk menanam jahe gajah dan meninggalkan jahe emprit yang harganya lebih murah. Bayangkan bagaimana tidak tergiurnya para petani, harga jahe emprit Rp 675  dibandingkan dengan harga jahe gajah berkisar Rp 1750-2200. Sementara lama panennya sama. Ya jelaslah petani akan beralih menanam jahe gajah sampai-sampai jahe gajah yang seharusnya untuk bibit lagi dijual semua.

Perlu diketahui karakteristik pemasaran jahe gajah berbeda dengan jahe emprit. Jahe gajah yang berorientasi ekspor membutuhkan spesifikasi tertentu disesuaikan dengan negara tujuan ekspornya. Misalnya untuk Singapura, Korea dan Jepang membutuhkan jahe gajah berukuran 250 gram tanpa patah. Rusia membutuhkan jahe gajah ukuran dibawah 250 gram karena memang dipakai untuk bibit. Semenatara untuk negara-negara Eropa membutuhkan jahe gajah berukuran diatas 650 gram dan perlu penanganan khusus selama perjalanan. Jadi wajar kalau harganya tinggi dan petani tidak mengetahuinya. Apalagi saat Vietnam dan Thailand dilanda banjir besar maka Indonesia diserbu oleh para buyer luar negeri. Akibatnya terjadilah kanibalisme besar-besaran sehingga petani tidak mempunyai lagi bibit untuk ditanam alias semuanya dijual. Parahnya untuk menanam kembali jahe gajah tersebut petani harus membeli bibit dengan harga lebih mahal daripada jahe gajah yang dijualnya.

Berbeda dengan jahe emprit atau kapur yang spesifik pemasarannya untuk pabrik jamu. Walaupun murah tetapi terjamin harga dan pembeliannya. Tetapi sekali lagi banyak petani yang tergiur. Bukan hanya itu saja banyak petani dan orang-orang yang belum mengerti serta coba-coba terjun di bisnis jahe gajah balapan kere alias kejar-kejaran bangkrut. Salah satu korbannya adalah teman saya sendiri yang kehilangan rumah dan mobilnya sampai-sampai hidup menggelandang bersama anak istrinya.

Dari apa yang saya sampaikan di atas maka tidaklah mudah untuk membina dan memajukan pertanian kalau tidak dibekali oleh keikhlasan dan kepuasan batin. Contoh yang paling mudah dan sukses adalah Muhammad Yunus dengan Garmeen Banknya. Memang bidang yang digelutinya lebih kepada usaha kecil menengah tapi setidaknya apa yang dilakukan oleh beliau dapat diterapkan kepada petani. Kata kuncinya adalah Goodwill dan memberikan kepercayaan tapi terkontrol dalam manajemen yang baik. Dan satu hal lagi adalah jangan sekali-kali pikiran pertama kita mencari untung. Bantu petani dengan tulus ikhlas dan pada akhirnya kita sendiri yang akan menikmatinya. Jadi jangan cekoki petani/nelayan/peternak dengan kata demokrasi. Itu yang saya rasakan dan alami.

Untuk menambah wawasan mengenai kondisi pertanian kita bisa baca:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun