Mohon tunggu...
Cecep Romli
Cecep Romli Mohon Tunggu... -

bidan buku, senang ngobrol santai apalagi ada ngakaknya, suka cerita, buku, film, musik, traveling, dan lain-lain.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Spirit dari Saung Udjo

22 Juli 2012   04:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:44 1067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_201969" align="aligncenter" width="464" caption="tokoh-tokoh golek di aula pertunjukan Udjo"][/caption]

Kalau ada tujuan dari cuti, biasanya satu: refreshing. Bersyukur saya lebih dari itu, dari perkenalan pertama kali denganSaung Angklung Udjo, saya seperti mendapat spirit dari sanggar sekaligus pusat industri angklung kaliber dunia ini. Biarpun, kunjungan saya sebagai urang sunda sudah sangat-sangat terlambat:), untuk sebuah sanggar yang berdiri sejak 1966dan mulai sangat popular sejak tahun 2000-an.

Senin 9 Juli 2012. Pertunjukkan akan dimulai pukul 13.00 WIB. Saya bersama keluarga besar Betawi yang sangat menyenangkan, tiba di mulut sanggar yang asri ini sekitar 20 menit sebelum zuhur. Area parkiran terasa sejuk dan rindang oleh daun bambu.

Saya bergegas masuk untuk satu hajat kecil yang tak bisa ditahan. Memasuki toilet, suasananya seperti sebuah “rest room”tapi sangat alami. Dindingnya terbuat dari bilik bambu ber-hinis dengan anyaman kecil-kecil, membuat saya ingat giribig (semacam tikar terbuat dari bilik bambu yang digunakan untuk menjemur gabah, tapi tanpa hinis atau kulit bambu yang mengkilap indah). Anak sulung saya, Anfa, yang bareng masuk toilet langsung teriak, “Yah, kok ada pohon!” Sebuah pohon memang tegak berdiri di tengah ruang menembus atap.

Kembali ke mulut sanggar ternyata di samping kiri ada sebuah tontonan yang sangat langka. Seekor kelelawar raksasa atau yang dikenal dengan kalong sedang bergantung terbalik di kandangnya. (Hitam dan besar sekali, persis seekor kelelawar tapi sebesar kucing!). Selama tinggal di Jakarta dan lebih dari 3 kali ke Ragunan—kebun binatang terbesar se-Asia Tenggara dan jadi tempat liburan favorit rakyat jabotabek—belum pernah saya melihat kalong. (saya tanya kakak ipar dan keponakan juga katanya tidak pernah lihat, tapi bisa aja sih karena tiap sudut dan jengkal Ragunan itu belum terjamah).

Wujud besar kalong ini membuat saya surprise, karena seumur-umur dari kecil meski saya dari kampung, meski sering dengar kata kalong tapi… diingat-ingat ternyata belum pernah lihat! Sering kalau dengar komentar orang ketika lihat buah jambu yang menggantung tinggal sepotong dan sudah acak-acakan, “ini dimakan kalong”, maka imajinasi saya cuma membayangkan kalong itu cuma sebesar kelelawar:P! Dari kecil saya juga akrab dengan peringatan orang tua, “Tong ulin peuting bisi dirawu kukelong!” (Jangan maen malam-malam takut di-saup oleh kalong!) Pantes bisa menyaup (nangkap dengan kedua telapak tangan) wong kalongnya sebesar raksasa:d. Jadi hitung-hitung saya baru paham kehebatan ungkapan antik ini.

Pertunjukkan belum dimulai…eh keluarga “Mandra” dari Ibu Kota ini sudah bikin pertunjukkan. Di area parkir itu juga, keluarga ini makan rame-rame. Apa pun sama “kambing keramat” bisa ludes, apalagi kali ini dengan bekal makanan “semoga cukup”! Riuh dan bebas dengan pose semau gue. Ada yang sepiring bertiga, yang satu sambil duduk di pinggir pintu Avanza, yang dua berdiri. Tahu-tahu tibalah beberapa bis rombongan Ibu Menteri Pekerjaan Umum; mereka turun dengan batik mewah dan wajah-wajahnya yang klimis. Dan Si Embeh tiba-tiba nyeletuk, “Tuh liat orang-orang kuli! Pekerja-an Umum kan?!”

Azan berkumandang ketika makan hampir usai. Satu per satu personil bergegas masuk menuju mushala. Suasana serba bambu kembali memenuhi mushala dua lantai itu. Kalau kau berdiri siap shalat di lantai dua, “dinding” sebelah kanan—juga “dinding” depan yang setengah kanan—adalah udara terbuka, hanya dibatasi pagar kayu satu meteran. Yang paling unik, mihrab mushala ini seperti mengapung di udara terbuka, karena “dinding” kanan dan depannya hanya udara terbuka, hanya samping kiri yang ber-bilik bambu. Buat yang khusyuk, mihrab ini mungkin laksana sajadah awan di tengah angkasa. Aneh juga, anak sulung saya yang baru 9 tahun dan tidak biasa khidmat dan giat shalat (kata halus dari masih males-malesan dan shalatnya seperti patukan ayam), shalatnya memilih di mihrab ini—dengan tampak PD-nya dan tidak ketinggalan juga gaya patuk ayamnya. Di samping kiri mihrab, tidak di dalamnya (karena terhalang oleh bilik kiri tadi), berdiri sebuah mimbar superunik dari gelondongan bambu.

Rupanya istri saya terkesan juga dengan mimbar gelondongan ini, minta saya dijepret bersama bambu bulat ini. Saya pun senang iseng naik mimbar, apalagi disusul Dhira, anak saya yang suka glendotan. Jadilah sebuah pose khutbah bersanding putriku…

***

Apa yang saya sebut spirit, tepatnya adalah sejenis spirit kesuksesan.

Di sebuah gedung terbuka, kami duduk siap-siap menonton rangkaian pertunjukkan,mulai dari wayang golek, upacara helaran, nonton sekaligus maen bareng angklung, sampai tari topeng Cirebon.

[caption id="attachment_201970" align="alignleft" width="300" caption="toko souvenir Udjo "]

13429314681093251340
13429314681093251340
[/caption]

Sebelum dimulai saya ngeloyor ke depan menghampiri seseorang yang tampak sedang melakukan persiapan di belakang panggung tipis barisan wayang golek. Kami ngobrol berdiri berhadapan ditengahi oleh tokoh-tokoh golek, sambil sesekali mata saya lekat pada wajah-wajah mereka yang tampak hidup ini. Saya bertanya tentang asal mula wayang golek dan tokoh-tokohnya. Apakah wayang golek ini ada sebelum atau pada masa Prabu Siliwangi (Memerintah 1458-1521). Jawabnya wayang golek ini telah ada digunakan oleh para wali penyebar Islam. Lalu diperkenalkanlah tokoh-tokoh golek… Karena menarik dan orangnya asyik, saya pun masuk ke balik panggung dan berkenalan.

Namanya Kang Nanang. Ia mengaku bukan dalang, tapi ternyata mahir maen wayang. Setidaknya buat saya yang awam. Beberapa kali ia maenkan tokoh-tokoh golek itu, dengan rigig (bahasa tubuh) dan suara khasnya tiap tokoh, beberapa kali itu pula saya ngakak. Meski anak saya nga paham karena pake basa Sunda, anak saya tak beranjak mendampingi saya; mungkin ada energi keriangan yang melimpah ke anak saya.

Penasaran saya bertanya lagi soal asal mula golek. Jawabnya tetap sama: pengguna pertama golek adalah para wali penyebar Islam. Pikiran saya pun melayang ke masa awal penyebaran Islam, saat agama ini begitu cepat menyebar diterima luas masyarakat Jawa, yang sampai sekarang menimbulkan tanda tanya besar. Dan jawaban salah satunya ternyata ada di depan mata:“golek dan kulit” dengan segala kemolekannya.

Saya bertanya dengan agak sesal kenapa kalangan pesantren sekarang kurang mengapresiasi dan tidak mengajarkan wayang. Jawaban Kang Nanang adalah karena pesantren takut dengan cerita wayang yang berasal dari Hindu, seperti cerita Brahmana, Rahwana dan sebagainya. Dalam hati saya mengiyakan karena saya sendiri dari lingkungan pesantren. Dugaan saya, pesantren telah terputus dari tradisi wayang dan dagang para penyebar Islam, akibat terlalu lama diasingkan dan hidup tertutup bak “katak dalam tempurung” di wilayah-wilayah pinggiran pedalaman, setelah sebelumnya sempat jaya di wilayah pesisiran yang serba terbuka dan berdaya saing.

Tiba saatnya si cepot beraksi. Riang, kocak, cerdas dan cerdik, itulah watak tokoh satu ini. Rombongan ibu menteri tak luput dari perhatiannya, juga penonton lainnya; ia sambut ramah dengan nada kocak. Memasuki medan lagak, si cepot beradu jotos dengan musuhnya. Begitu musuh rubuh ia pun pura-pura rubuh, dan begitu musuh lainnya lengah ia langsung bangkit merubuhkannya lagi.

Demo golek berakhir diganti upacara helaran untuk pesta sunatan. Seorang anak duduk di tandu bambu diboyong rame-rame, didahului dan diikuti iring-iringan anak-anak yang riang berjoget dan bermain mengikuti musik. Lucu dan menggemaskan. Semuanya adalah anak didik yang belajar seni di Saung Udjo. Menurut host, sekitar 500 anak berlatih seni di sanggar ini.

Giliran musik angklung. Mengalun lagu instrumental peuyeum bandung dan lagu lainnya; lalu menyusul nyanyian halo-halo Bandung. Tapi yang paling berkesan adalah main angklung bersama. Seluruh penonton diberi angklung, dengan kunci nada yang beda-beda. Host sebentar memberi intruksi, lalu terdengarlah lagu instrumental falling in love, burung kakatua dan sebagainya dari pemain amatir dadakan!

Tari topeng terasa sekali melukiskan realitas sosial yang sebenarnya. Sebelum mengenakan topeng, para penari menari lembut dengan gemulainya, bak mawar yang sedang mekar-mekarnya. Begitu pakai topeng semua berbalik menjadi laki-laki gagahperkasa! Untuk kebaikan ataupun kejahatan, keunggulan dalam pergaulan apa pun mesti dibarengi  wajah show of force.

***

Apa spirit kesuksesan yang saya temukan? Sangat sederhana. Kembali waktu saya ngeloyor menghampiri Kang Nanang, ia menjelaskan arti Udjo sambil menatap “backdrop” Udjo di dinding panggung, nama pendiri yang dijadikan nama sanggar ini. Dengan antusias dan bangga ia menyebutkan, Udjo bukan sembarang nama, ia singkatan dari: ulet, disiplin, jujur, dan optimis!

Kakak ipar saya di samping saya tertawa nakal, “Ujang juga ada artinya dong! Apa Ujang?” Saya ikut tertawa dan dalam hati mengiyakan juga. Sangat bisa jadi kan kepanjangan nama ini dibuat belakangan, toh tiap hurup bisa dibelokkan ke mana saja.

[caption id="attachment_201975" align="alignright" width="300" caption="Istri saya di depan foto Bapak Udjo Ngalagena"]

13429322401958640224
13429322401958640224
[/caption] Tetapi, batin saya sambil tetap antusias menyimak kepanjangan ini. Sebabnya karena kepanjangan itu bukanlah cuma kata-kata kosong. Realitas kemolekan dan kehebatan Udjo yang sedari tadi saya lihat telah duluan berbicara. Bayangkan, sebuah komunitas sanggar berhasil menjadi pusat industri angklung dunia—di mana angklung pada November 2010 di akui Unesco sebagai warisan dunia—dan juga salah satu tujuan wisata terfavorit di Bandung. Semua pasti adalah buah dari realitas kerja keras dan kreasi yang panjang.

Sedari tadi, ketika masuk outlet  souvenir di bagian muka Udjo, berkeliling lihat-lihat barang-barang kerajinan dan alat-alat musik khas Udjo, saya dibuat takjub. Toko souvenir ini layaknya toko “swalayan” tapi dengan etalase serba bambu. Barang-barang seni, aksesori dan mainan seperti patung mungil, topeng, kerbau, beca, gendang, semua serba khas dan kreatif.

Rumusan kata untuk kesuksesan boleh beda dari pakar seperti Stephen Covey dengan 7 habitsnya, atau langsung dari bisnismen seperti bob Sadino dengan jurus “langsung du it” dan kuadrannya. Tapi semua untuk satu karakter: insting bersaing kreativitas dan kerja keras pantang menyerah. Dan saya mendapati realitasnya di Saung Udjo. Saat mau pulang kembali melewati outlet di muka, mata saya terantuk pada sebuah foto dari sosok kharismatik seorang Udjo Ngalagena sedang berdiri memegang angklung. Di bawahnya berbunyi sebuah tulisan: Who are you, what job you have chosen, do it well, do it with love, without love one dead before die.

Saya pun melangkah denganspirit yang luar biasa ini.

(Jakarta, 22 Juli 2012/2 Ramadhan 1433)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun