Hari ini seperti diberitakan Tribunnews.com (27/7), Hidayat Nur Wahid meminta semua pihak untuk menghentikan isu SARA. Di tengah merebaknya isu agama, seruan tokoh nasional sekaligus ulama ini serasa obat yang memberikan harapan. Mestinya, seruan moral ini diikuti dan didukung oleh para ulama lainnya sehingga menjadi seruan sosial yang efektif. Malah, selaku pengemban agama para ulama mestinya merasa malu karena merekalah yang harusnya duluan menyuarakan seruan. Seperti dimaklumi, semenjak kampanye pra putaran pertama pilgub DKI, sudah terdengar kabar adanya isu SARA yang digunakan untuk menolak calgub tertentu. Misalnya, dari obrolan sehari-hari, sudah bukan rahasia lagi terdengar kabar sebagian (kecil) kiai menggunakan sentimen keagamaan menghitamkan calgub tertentu, misalnya dengan mengatakan kepada jamaahnya kalau calgub itu menang maka habislah majelis taklim kita. Namun, usai pengumuman resmi putaran pertama, isu SARA seperti pecah menjadi genderang perang. Dari BBM dan SMS yang bertebaran dan berseliweran--meski harus dicheck lagi sumbernya--tampak bahwa kedua pengikut agama yang fanatik telah sama-sama ikut terlibat. Namun, akan sangat aneh dan memalukan jika para ulama selaku elit agama, tidak dapat mencegah gelombang fanatisme SARA ini. Padahal HNW sendiri selaku mantan calgub telah berinisiatif duluan. Isu SARA selain pelakunya terancam penjara berdasar UU no 32 tahun 2004, juga akan sangat merugikan penganut agama mana pun. Sebabnya, isu SARA dapat membodohi dan mengelabui para calon pemilih sehingga lari dari ukuran program kinerja dan pelayanan publik para calgub, padahal semua agama mengamanatkan ukuran rasional pelayanan publik demi kemakmuran semua warga.
***
Langkah HNW perlu disambut gembira dan didukung luas bukan saja karena subtansi seruannya, tapi juga karena seruan dari HNW bersifat otentik. Selama ini HNW dikenal dan diterima luas sebagai figur nasional yang bersih dan punya integritas, santun dan sangat toleran. Saya sendiri sempat mengenal dan menyaksikan HNW dari dekat sewaktu ia menjadi dosen fakultas Ushuluddin UIN Jakarta sekitar 15 tahun silam.
Saya dan teman-teman mengenalnya sebagai dosen yang santun dan penuh tasamuh atau inklusif. Di tengah diskusi kelas yang dapat menjurus pada masalah dan pemikiran apa pun, pak dosen ini selalu bersikap terbuka dan tidak menggurui. Dengan khas wajah yang memancarkan senyum. Waktu itu doktor lulusan Universitas Islam Madinah ini memegang mata kuliah tafsir, sebuah mata kuliah yang bisa meruncing jadi ajang perbedaan dan perselisihan bila tidak dasari oleh keluasan ilmu dan wawasan.
Nah, jika ulama berpribadi santun dan terbuka ini telah memberikan seruan, mana suara ulama-ulama lainnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H