Pengen tahu inspirator terbesar comic Abdel dan Mongol? Ngak jauh, selalu keluarga…tapi juga pengalaman tragis!
Mana ada yang tahan dengan anak bandel nga ketulungan selain keluarganya sendiri. Rangkaian sial dan kesulitan, biyang keroknya adalah kenakalan, dan ujung-ujungnya yang kena imbas adalah orang tua.
Semua kenakalan seperti ada di Abdel muda. Minggat alias kabur dari rumah pernah, nyimeng, putau, sabu, semua pernah hingga 7 tahun jatuh-bangun jadi tawanan barang haram…
Tapi keluarga Abdel, khususnya nyokap dan papinya, selalu kasih support. Sosok ortunya tegas, kejam, tapi juga kocak.
Pernah Abdel mabur dan bertekad nga pulang lagi. Nyokapnya sapai sakit, dan papinya akhirnya bisa menemui Abdel. Gentle, berhadap-hadapan, layaknya man to man.
“Del, Mama sakit, lu mw pulang kagak? Kalo mw ayo balik. Kalo kagak, kita salaman. Kita putus hubungan bapak-anak.” “Buset!” cerita Abdel dalam buku ini, “datar, tajem, tanpa rayuan dan basa basi, hingga gue pun ciut. Namun, di ujung usianya, papihnya mulai suka kasih nasihat. Hingga Abdel pun bertanya, “Pih, “nanti permintaan terakhirnya apa ya?” “Papih pengen dikuburin karena papih nga bisa nguburin sendiri.”
Tapi, pengalaman yang paling berbekas adalah saat keluarganya diliputi rasa hampir putus asa mengobati Abdel. Saat itu nyokapnya seolah menyampaikan harapan terakhir: Del, lu gue anggap sukses bukan karena punya mobil, rumah atau apa…tapi lu mati dalam keadaan badan lu bersih dari narkoba, gue anggap lu berhasil.”…Nyes, ucapan ini langsung menusuk relung hati seorang Abdel.
Pernah, di lain waktu, nyokapnya menasihati seorang cucunya yang masih SD biar hemat. Hemaaat oma-nya lagi kecil dan jangan boros. Esok harinya ketika pulang sekolah, cucunya ini basah kuyup keringatan dan tersengal-sengal. “Kenapa, Cu?” “Kan kata Opa harus hemat, tadi aku pulang nga pake bajay tapi lari aja ngejar di belakangnya, jadi hemat deh 5.000.” “Bagus! Itu baru cucu Oma, besok-besok, pulang sekolah lari lagi kejar taksi jadi hemat 20.000!”
Bagaimana dengan Mongol?
Nasibnya tak kalah tragis. Kurus kecil, minder, bandel, sering ditolak cinta, sesekali seperti “kesetanan” seolah jadi garis hidupnya. Mukanya yang setengah-setengah itulah katanya, yang tampang copet dan mirip bodat, yang membuatnya lama memendam minder. Tapi siapa sangka, semua itu berbuah manis. Dan, Omanyalah yang jadi pengatar semuanya. Seorang Oma yang jadi pengganti ibunya yang meninggal saat Mongol berusia 4 tahun.
Pernah kejailan Mongol kecil memuncak di ubun-ubun. Tertarik dengan jagung panenan Oma yang bergelantungan di atas atap lumbung, setan di telinganya berbisik, “Lumayan tuh jagung bakar, hajar!” Maka ia pun mencari korek api dan langsung melalap habis kulit-kulit jagung itu. Untung pamannya mengendus dan selamatlah keluarga besar ini. Pernah pula ia menyiram sekaleng besar beras keluarga karena pikirnya biar terbebas dari racun, sehingga beras buat sebulan itu basah kuyup tanpa ampun. Sampai Omanya bilang: “E..do do…eee…kenapa kamu kecilnya lucu, besarnya amit-amit?
Yang paling tragis buat Mongol adalah saat ia harus terkatung-katung di ibu kota dan tidur di emperan Sarinah. Tapi itulah pula yang terus melecutnya untuk maju. Jangan salah, Mongol rajin Nabung, dan dari tabungan ia sempat kursus bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya.
Dus, dalam buku ini Abdel dan Mongol seolah beradu berbagi pengalaman tragis, blak-blakan tapi dengan khas komedinya masing-masing. Sesekali ada haru, tapi sesekali ada tawa. Dan tak kalah penting inspirasi yang mengalir dari tokoh-tokoh inspirator di balik kesuksesan mereka maupun dari mereka sendiri.
Maka, tak berlebihan rasanya mention-mention fans berikut ini:P
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H