Seakan tiada henti kita mendapatkan kabar –baik dari media cetak ataupun elektornik- terjadinya berbagai bencana di berbagai pelosok negeri. Banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, tsunami, angin puting beliung, gunung meletus, erosi, gempa, penurunan tanah, dan lain sebagainya adalah bencana-bencana yang sudah tidak asing lagi di telinga kita.
Bencana besar yang masih melekat di ingatan kita adalah tsunami Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004 yang menewaskan ratusan ribu orang dan jebolnya Situ Gintung yang terjadi Maret tahun 2009 silam yang merenggut nyawa puluhan orang. Bencana-bencana ini seakan terjadi silih berganti menunggu giliran. Belum lama ini kita mendengar terjadi bencana tanah longsor menimpa Dukuh Tingkil Desa Banaran Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo Jawa Timur yang menelan korban puluhan orang yang terjadi pada 1 April 2017 yang lalu.
Pertanyaannya kemudian mengapa rentetan bencana ini terus menimpa kita? Tentu saja selain karena takdir dari sang pencipta, ada tangan-tangan jahil manusia yang menyebabkan bencana-bencana ini terus-menerus terjadi. Hal ini tidak bisa kita pungkiri. Allah Tuhan Yang Maha Kuasa telah mengingatkan kita melalui firman-Nya dalam surat Ar-Ruum ayat 41 yang berbunyi “Dzoharol fasaadu fil barri wal bahri bimaa kasabat aydinnaasi liyudziiqohum ba’dholladzii ‘amiluu la’allahum yarji’uun” yang artinya telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Wallahu a’lam bimuraadih.
Perlunya Environmental Literacy
Untuk menghadapi berbagai bencana ini diperlukan sikap dan tindakan yang tepat dari seluruh elemen bangsa. Kita tidak bisa hanya berpangku tangan begitu saja. Kita harus bersikap dan bertindak. Namun yang paling penting adalah upaya pencegahan yang harus kita lakukan agar bencana-bencana ini tidak terjadi. Bukankah ada sebuah pepatah mengatakan bahwa mencegah lebih baik dari pada mengobati?
Untuk mencegah agar bencana-bencana ini tidak terus terjadi, diperlukan environmental literacy atau literasi lingkungan yang dimiliki oleh seluruh elemen masyarakat. Secara sederhana environmental literacydapat diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang dalam berinteraksi dengan -dan memperlakukan- lingkungannya. Environmental literacy berhubungan dengan pemahaman dan kebiasaaan dalam memperlakukan lingkungan.
Environmental literacy harus ditanamkan kepada anak semenjak usia dini. Hal ini dikarenakan environmental literacy memerlukan waktu yang lama agar bisa dimiliki oleh seseorang karena ini menyangkut masalah kebiasaan. Kebiasaan tidak bisa diterapkan secara instan. Kebiasaan memerlukan proses yang cukup lama dan panjang.
Environmental Literacy Tanggung Jawab Siapa?
Environmental literacymerupakan tanggung jawab kita bersama. Kemampuan ini harus ditanamkan di seluruh tatanan kehidupan kita. Keluarga merupakan tatanan pertama dan utama yang dapat menumbuhkan environmental literacy melalui kebiasaaan-kebiasaan baik yang dapat dicontohkan oleh orang tua dan dilakukan oleh seluruh anggota keluarga. Kebiasaan kecil ramah lingkungan yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarga –seperti membuang sampah- dapat menumbuhkan environmental literacy.
Selain itu, sekolah merupakan tatanan kedua yang dapat menanamkan environemntal literacy pada anak. Environmental literacy di sekolah dapat ditanamkan pada anak melalui Environmental Education (Pendidikan Lingkungan Hidup/PLH). Sudah saatnya PLH menjadi mata pelajaran muatan lokal atau bahkan mata pelajaran utama bagi seluruh sekolah, baik sekolah negeri maupun swasta. Tentu saja PLH ini bukan sekedar diajarkan secara teoretis an sich di dalam kelas tetapi harus diajarkan secara praktis sehingga menjadi kebiasaan dan budaya sekolah yang bersangkutan.