Setiap pagi, mentari berseri menyemangati diri. Sepotong goreng pisang dan secangkir kopi kadang menemani. Secercah bayang masa depan, satu dua kali kadang melintas menggelitik hati. Lalu kami  pun langkahkan kaki tuk mengabdi pada ibu pertiwi, mencerdaskan segenap anak negeri.
Kami guru honor bukanlah guru penebar teror. Bukan pula pengejar pamor agar kesohor. Kami hanya butuh pengakuan, bukan kepura-puraan, apalagi kemunafikan. Kami hanya menuntut secuil kesejahteraan, bukan senampan keserakahan.
Tenaga kami masih kau butuhkan, tapi apresiasi tak pernah kau berikan. Segenap pikiran telah kami curahkan, tapi perhatian seringkali kau alihkan. Seikat kompetensi telah kami sajikan, tapi harapan tinggallah harapan. Sekeranjang keikhlasan pun telah kami persembahkan, tapi kesejahteraan tak kunjung datang.
Selama ini kami tak pernah mengeluh, meski pakaian kami sudah tampak lusuh. Kami tak pernah mengaduh, meski kepedihan hidup seringkali melukai tubuh.
Kini puluhan tahun telah kami lewati, tapi kesejahteraan tak kunjung kami nikmati. Presiden pun telah berkali ganti, tapi keadilan tak kunjung mendekati.
Dulu kau ucap janji agar kami tak mencaci. Kau tebar asa agar kami tak unjuk rasa. Kau bungkam mulut kami hingga tak terdengar jeritan di hati.
Perlahan tapi pasti keriput di wajah ini kian menghiasi. Urat-urat di kening pun kian lama kian menghiasi, menceritakan kerasnya hidup kami.
Kini usia kami tak lagi muda. Suara kami pun tak lagi menggema. Bahu ini tak lagi mampu menopang beban hidup. Beban hidup yang membuat mata kami kian meredup.
Gaji kecil tak membuat kami berkecil hati. Apalagi mencaci maki Ilahi Rabbi. Hanya doa yang bisa kami panjatkan, pada Tuhan yang Maha Menyejahterakan.
#CG @Karawang, 08-12-2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H