Sebagai seorang guru, barangkali kita pernah menghadapi kenyataan atau mengalami kejadian bahwa murid yang dulu pernah kita ajar tidak menyalami ketika bertemu atau berpapasan dengan kita atau berada dalam satu tempat dengan kita. Hal ini bisa terjadi karena memang "mantan" murid kita tersebut tidak melihat kita.
Namun, bagaimana jika hal tersebut terjadi karena kepura-puraan? Â Artinya memang dia enggan untuk menyalami kita, padahal sebenarnya dia melihat kita. Nah, jawaban dari pertanyaan ini tentu saja bisa bermacam-macam. Dengan kata lain, alasan murid tersebut tidak mau menyalami kita dikarenakan adanya beberapa faktor.
Faktor yang pertama adalah diri kita sendiri, sebagai "mantan" gurunya. Saya menempatkan faktor guru ini pada urutan pertama karena guru  mempunyai peran dan pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan sikap dan perilaku murid. Selain itu, agar bisa menjadi bahan renungan dan evaluasi diri kita sebagai seorang guru.Â
Coba kita flashback beberapa saat ke masa-masa ketika dulu kita menjadi gurunya di kelas. Apakah kita sudah memantaskan diri sebagai seorang guru yang patut untuk disegani dan dihormati oleh murid-murid kita? Apakah selain dengan kompetensi pedagogik dan profesional, kita juga sudah melengkapi diri dengan kompetensi sosial dan kepribadian?Â
Apakah kita sudah cukup memberikan keteladanan kepada mereka? Apakah kita dulu menempatkan diri sebagai seorang guru "killer" ataukah guru yang supel dan "friendly" bagi murid-murid kita?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus kita jawab dengan jujur. Karena jawabannya bisa menjadi gambaran tentang apa penyebab dari murid kita mau atau tidak mau menyalami ketika bertemu atau berpapasan dengan kita.
Yang kedua adalah faktor orangtua. Bisa jadi kita sebagai gurunya sudah sedemikan rupa menempatkan dan memantaskan diri sebagai guru yang "keren", yang mempunyai dan mempraktikkan empat kompetensi yang harus dimiliki seorang guru, dan juga sudah memberikan keteladanan yang baik di sekolah.Â
Tetapi ternyata orangtua di rumah tidak mendidik dan/atau membiasakan anaknya untuk melakukan hal-hal yang baik. Contohnya selalu mengingatkan dan membiasakan anaknya untuk harus menyalami guru yang dijumpainya di mana saja, atau misalkan menyuruh anaknya untuk turun dari mobil untuk sekadar menyalami gurunya yang kebetulan dijumpainya di jalan atau di suatu tempat. Bukan malah sebaliknya.
Yang ketiga adalah sekolah. Apakah sekolah sudah menerapkan pendidikan karakter dan menjadikannya sebagai budaya sekolah atau belum? Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam membentuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Sekolah merupakan tempat anak-anak belajar dan mengembangkan potensi diri dan kepribadiannya.
Dalam hal ini, -misalnya- sekolah menerapkan aturan dan/atau budaya yang berbunyi bahwa ketika bertemu atau berpapasan dengan guru, murid harus menyalaminya dengan cara mencium tangannya dengan baik. Sehingga hal ini akan terinternalisasi di dalam diri dan akan terus dipegang teguh dan dilakukan di mana saja mereka berada.
Dengan demikian, ketika masing-masing pihak (guru, orangtua, sekolah) sudah memahami perannya, karakter dan perkembangan anak akan bisa terbentuk dengan baik. Semoga kita mempunyai generasi penerus yang bukan hanya memiliki otak yang pintar, tetapi lebih dari itu mempunyai sikap dan karakter yang baik. []