Dulu...
Hari-hari ku habiskan bersamamu. Seluruh malam ku lewati denganmu. Tak sedetikpun waktu berlalu tanpa dirimu di sisiku. Tak sekalipun jantungku berdetak tanpa kehadiranmu di jiwaku.Â
Tiada hari ku lewatkan tanpa ku mainkan jemari kasar di indahnya tubuhmu. Tiada masa ku lalui tanpa ku hembuskan kata-kata syahdu di mungilnya telingamu. Tiada saat ku lewati luasnya pikiran tanpa menghadirkanmu di kecilnya otakku.
Saat itu...
Dengan gagahnya ku telah memutuskan tuk tak lagi menyentuhmu. Dengan beraninya ku telah menyatakan tuk tak lagi menghembuskan kata-kata indah nan syahdu di telingamu. Dengan angkuhnya ku telah meyakinkan hatiku tuk tak lagi menghadirkanmu di pikiranku.Â
Hanya untuk sementara. Ya! Untuk sementara. Ku ingin tahu apakah langkah kakiku berada di arah yang lurus. Ku ingin tahu apakah mencintaimu adalah sesuatu yang tepat. Ku ingin menakar kadar cintaku padamu. Apakah cintaku murni semurni emas 24 karat. Apakah cintaku bening sebenening embun di pagi hari. Apakah cintaku tulus setulus matahari yang terbit di ufuk timur.Â
Kini...
Ku dengar suara panggilanmu semakin terdengar lirih menggelitik. Ku lihat indahnya lekukan tubuhmu semakin bergerak indah menggoda. Ku rasa rindu ini semakin tak tertahankan. Ku percaya mencintaimu adalah anugerah terindah dari Tuhan. Ku yakin kau begitu berarti bagiku.
Diselimuti sejuta angan dalam jiwa. Diiringi sejuta tanya dalam dada. Ketika aku meninggal nanti apa yang bisa aku tinggalkan? Semua yang melekat pasti kan ku tanggalkan. Untuk dunia yang mudah melupakan. Untuk dunia yang terbiasa meremehkan. Untuk dunia yang ringan menghempaskan. Untuk dunia yang penuh kepura-puraan. Untuk dunia yang mudah terjangkit virus amnesia. Agar hidup dan matiku tak sia-sia.
Esok pagi...
Kan ku songsong matahari dengan senyuman. Kan ku sambut kicauan burung dengan keriangan. Ku yakin, dinginnya malam takkan lagi mampu membekukan darah menulisku. Teriknya siang takkan lagi dapat melelehkan jiwa literasiku.Â