Akhir-akhir ini, dunia Kompasiana digegerkan dengan akun dengan nama Rahmad Kartolo Asli. Hal ini sehubungan dengan aktivitas dia yang sering -atau bahkan selalu- memberikan penilaian “Tidak Menarik” terhadap tulisan-tulisan para Kompasianer. Menurut penelusuran penulis, ia menyasar beberapa orang penulis, baik para penulis new comer maupun penulis kawakan sekaliber Idris Apandi. Pun ia menyasar berbagai kanal dan jenis tulisan. Selain itu, bagaimanapun kondisi tulisannya, ia berikan penilaian “Tidak Menarik”.
Sayangnya, sampai saat ini penulis belum mendapatkan informasi valid atau konfirmasi terkait apakah akun ini asli atau palsu, apakah akun ini dikelola oleh manusia atau hanya sebuah bot (robot) internet. Yang jelas di dalam akun tersebut, penulis dapatkan informasi bahwa Rahmad Kartolo Asli bergabung di Kompasiana sejak tanggal 17 Maret 2017. Dia telah menorehkan 1 tulisan unik berbentuk puisi yang berjudul Sajak Empat Kata Saja. Di dalam profilnya terpampang tulisan “Berhubung Akun saya dikloning orang dan oleh Admin Kompasiana diridhoi akhirnya saya pakai nama alias dulu. Nama saya: Rahmad Kartolo”. Tentu saja hal ini menimbulkan perdebatan kecil di antara para Kompasianer tentang status akunnya ini.
Namun demikian, ada hal menarik dari fenomena ini yang dapat kita tarik benang putihnya ke dalam dunia kita sehari-hari dan tentu saja bisa kita ambil pelajaran atau hikmahnya. Di dalam keseharian kita, sering kali kita dipertemukan dengan mental semacam ini, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, tempat kerja, maupun pada dunia pemerintahan, bahkan pada hubungan antar negara. Penulis menamakan mental seperti ini dengan nama Mental Kartolois. Penamaan ini diambil dari fenomena Rahmad Kartolo di atas. Mental Kartolois adalah sebuah kondisi mental yang menggambarkan sifat dan watak manusia yang selalu merendahkan orang lain dan tidak menunjukkan respek atau penghargaan sedikitpun terhadap hasil kerja seseorang.
Mental Kartolois ini seringkali kita jumpai. Di dalam keluarga –misalnya- tidak sedikit orang tua yang enggan memberikan penghargaan terhadap hasil –apapun- yang telah diperoleh anaknya, bahkan sebaliknya malah mengucapkan kata-kata yang merendahkan yang membuat anak tersebut menjadi down perasaannya. Tentu saja hal ini sangat berbahaya terhadap perkembangan mental anak tersebut. Walaupun sebenarnya, bisa saja perlakukan ini berdampak sebaliknya terhadap kondisi mental anak. Bisa saja anak menjadi termotivasi untuk berusaha melakukan dan menghasilkan sesuatu lebih baik lagi yang bisa melebihi ekspektasi orang tuanya. Tetapi pertanyaannya berapa banyak anak yang mempunyai mental kuat seperti itu?
Pun demikian –misalnya- di tempat kerja. Tidak sedikit pimpinan atau bos -atau bahkan rekan sejawat- yang minim apresiasi terhadap hasil kerja keras yang telah dihasilkan para karyawannya. Pengorbanan waktu dan tenaga yang dihabiskan tidak mampu menggerakkan hati dan mulutnya untuk mengeluarkan kata-kata apresiasi, bahkan malah sebaliknya, mencibir dan nyinyir. Hal ini tentu saja akan menghambat kemajuan dan produktivitas karyawan yang bersangkutan, yang ujung-ujungnya akan menghambat tempat kerja tersebut untuk berkembang. Meskipun tentu saja, lagi-lagi, bisa saja mental Kartolois ini bisa menjadi cambuk bagi para karyawan untuk bisa lebih baik lagi dalam bekerja dan mencapai sesuatu.
Di dalam lingkungan lain yang lebih besar, mental dan fenomena Kartolois ini akan senantiasa kita jumpai. Yang terpenting bagi kita adalah bagaimana cara kita memandang dan bersikap. Jadikanlah hal ini sebagai pelecut bagi kita untuk senantiasa terus berkarya menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi diri pribadi dan juga orang lain.
Penulis:
Cecep Gaos, S.Pd
Guru SD Puri Artha, Pegiat Literasi Jawa Barat (KPLJ)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H