Gerbang Tahun Ajaran baru 2016/2017 sebentar lagi akan kita masuki bersama, yaitu tanggal 18 Juli 2016. Segala persiapan tentu saja sudah mulai dilakukan, bahkan dari jauh-jauh hari, oleh para penyelenggara pendidikan di negeri ini, dari penyelenggara yang paling tinggi sampai paling bawah, yaitu guru sebagai ujung tombak pendidikan di sekolah. Persiapan-persiapan fisik dan non-fisik tentu saja telah dilakukan, penyiapan kurikulum adalah salah satunya tentunya.
Namun, apakah persiapan-persiapan ini telah dilakukan dengan baik sesuai dengan apa yang telah direncanakan dan ditetapkan?
Kalau kita flashback, tiga tahun sudah, sejak kelahirannya pada tahun 2013, tepatnya pada awal Tahun Ajaran baru 2013/2014 tanggal 15 Juli 2013, Kurikulum 13 (K13) telah mewarnai jagat raya pendidikan Indonesia. Namun kenyataannya, perjalanannya tidak semulus apa yang dibayangkan dan direncanakan oleh Mendikbud pada waktu itu. Padahal melalui beberapa kesempatan Mendikbud senantiasa mendengung-dengungkan bahwa K13 ini merupakan hasil kajian yang sangat mendalam yang dilakukan oleh para ahli, terutama ahli di bidang pendidikan, sebagai upaya ijtihad dalam menyempurnakan kurikulum dan kualitas pendidikan di Indonesia. K13 ini juga digadang-gadang sebagai kurikulum paripurna yang akan mampu membawa pendidikan Indoneisa ke “kasta” yang lebih tinggi, yang akan mampu melahirkan generasi emas yang tangguh di tahun 2045.
Namun, tidak lama berselang, tampuk kepemimpinan Kemendikbud beralih sejalan dengan pergantian pemerintahan. Tak ayal lagi, Kementerian Budaya dan Pendidikan Dasar dan Menengah (baca: Kemendikbud), yang dikomandani oleh Pak Menteri tercinta, Pak Anies Baswedan, membuat kebijakan yang sangat berani dan beresiko dengan mengeluarkan Surat Edaran (SE) bernomor 179342/MPK/KR/2014 pada tanggal 5 Desember 2014 perihal pelaksanaan K13. Salah satu isi dari SE ini adalah penghentian pelaksanaan K13 di sekolah-sekolah yang baru menerapkannya selama satu semester dan kembali menggunakan Kurikulum 2006. Sementara bagi sekolah yang telah melaksanakan K13 selama tiga semester sebanyak 6.221 tetap menerapkan K13.
Kebijakan ini dikeluarkan setelah diadakannya evaluasi terhadap K13 dan ditemukan sejumlah kekurangan yang harus diperbaiki. Kekurangan tersebut misalnya pada Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD). Pada sisi guru, berdasarkan pendapat-pendapat yang beredar, penilaian dalam K13 dirasa terlalu memberatkan. Di samping itu, tidak sedikit kendala-kendala yang di hadapi oleh guru-guru yang masih gamang dengan “kesaktian” K13 ini. Dengan kata lain, mindset mereka masih sulit untuk beranjak dari tempatnya semula. Belum lagi kendala-kendala teknis yang secara kasat mata ada kita lihat.
Di awal-awal kepemimpinannya, bahkan Pak Menteri mengeluarkan pernyataan yang sangat mengejutkan tentang K13 yang tentu saja membuat semua orang mengernyitkan dahi seakan tak percaya, terutama para guru. Pernyataan ini berawal dari pertanyaan Desi, seorang siswi SMKN 4 Denpasar yang mempertanyakan K13 yang membuat dia terbebani. Pada kesempatan ini izinkan penulis copy paste pernyataan beliau yang dikutip oleh TRIBUN-BALI.COM pada tanggal 14 November 2015 sebagai berikut “K 13 (Kurikulum 2013) bingung ya? sama saya juga bingung. Jadi saya jelaskan bahwa kecenderungan pendidikan di Indonesia setiap ganti menteri pasti ganti kurikulum. Saat saya bertugas, K 13 ini baru diterapkan 3 bulan, saya dilantik di bulan Oktober, jadi baru dari bulan Juli, Agustus, September kurikulum ini berjalan. Kemarin ada dua persoalan apakah saya menggantinya, atau tetap melaksanakannya dengan semua permasalahannya, karena selama ini kecenderungan di Indonesia ganti menteri ganti kurikulum,”
Apa sebenarnya yang ada di benak Pak Menteri tercinta waktu itu? Mengapa beliau begitu ceroboh dan galau? Mengapa beliau begitu nyinyir menyikapi K13 ini?
Namun, di tengah-tengah kegalauannya ini, akhirnya Pak Menteri memutuskan untuk tetap menerapkan K13 secara bertahap. Pusat Kurikulum dan perbukuan (Puskurbuk) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kemudian menyusun roadmap implementasi K13 untuk periode tahun 2015-2020. Penulis rasa, ini waktu yang tidak sebentar untuk sebuah penantian. Seingat dan sepengetahuan penulis, baru kali ini kurikulum di Indonesia diterapkan secara bertahap dan terbatas pada kelas-kelas dan sekolah tertentu. Sungguh luar biasanya K13 ini. Jangan-jangan tidak ada satu negarapun di dunia ini yang menerapkan kurikulum secara bertahap seperti di Indonesia ini. Bisakah Pak Menteri menjawab keraguan-keraguan yang penulis rasakan supaya hati ini bisa melangkah dengan tegak penuh dengan keyakinan terhadap K13 ini? Sehingga pada akhirnya para siswa dapat belajar dengan tenang, dan orang tua serta masyarakat dapat mengembalikan kepercayaannya.
Di Tahun Ajaran baru 2016/2017, sesuai dengan roadmaptersebut, telah ditetapkan bahwa ± 75% sekolah menerapkan KTSP; ± 19% sekolah menerapkan K13 pada kelas 1, 4, 7, 10; dan sebanyak ± 6% menerapkan K13 untuk semua kelas. Pada Tahun Ajaran 2017/2018 ± 35% sekolah menerapkan KTSP; 35% sekolah menerapkan K13 pada kelas 1, 4, 7, 10; sebanyak 19% sekolah menerapkan K13 pada kelas 1, 2, 4, 5, 7, 8, 10, 11; dan ± 6% menerapkan K13 pada semua kelas. Pada Tahun Ajaran 2018/2019, sebanyak ± 40% sekolah menerapkan K13 pada kelas 1, 4, 7, 10; 35% sekolah menerapkan K13 pada kelas 1, 2, 4, 5, 7, 8, 10, 11; dan ± 25% sekolah menerapkan K13 pada semua kelas. Pada Tahun Ajaran 2019/2020 sebanyak ± 40% sekolah menerapkan K13 pada kelas 1, 2, 4, 5, 7, 8, 10, 11; ± 60% sekolah menerapkan K13 pada semua kelas. Kemudian pada akhirnya pada Tahun Ajaran 2020/2021 semua sekolah dan semua kelas menerapkan K13 (Kemendikbud: 2015). Sungguh angka-angka yang rumit dan memusingkan bagi masyarakat awam.
Seperti yang telah penulis sampaikan di atas, bahwa roadmap implementasi K13 akan berakhir pada tahun 2020. Sehingga diharapkan seluruh sekolah telah menerapkan K13 pada tahun tersebut. Ini artinya bahwa tahapan implementasi K13 secara menyeluruh berakhir setahun setelah masa jabatan Pak Menteri berakhir seiring dengan berakhirnya pemerintahan ini. penulis berharap masa implementasi yang cukup panjang ini tidak dijadikan sebagai penimang-nimang keraguan yang ada atau bahkan sebenarnya ada hal-hal prinsip K13 yang berat atau malah tidak mungkin diterapkan di Indonesia.
Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana keyakinan Pak Menteri dengan revisi-revisi yang telah dilakukan saat ini. Apakah keraguan Pak Menteri di awal masa jabatannya terhadap K13 ini sudah mulai berkurang atau hilang sama sekali, atau malah sebaliknya? Lalu apakah permasalahan mendasar dari K13 ini sudah dapat diatasi?