Realisme adalah sebuah teori dalam hubungan internasional yang menekankan pentingnya kekuatan, kepentingan nasional, dan sifat dasar manusia yang cenderung egois dan kompetitif. Teori ini memandang negara sebagai aktor utama dalam arena internasional, di mana setiap negara berusaha untuk memaksimalkan kekuatan dan keamanannya. Konsep realisme dapat ditelusuri kembali ke pemikiran filsafat politik klasik, termasuk karya Thucydides, Machiavelli, dan Hobbes, yang menekankan sifat manusia yang egois dan persaingan kekuasaan.Realisme Klasik: Setelah Perang Dunia II, realisme klasik muncul sebagai respon terhadap idealisme yang dominan pada masa itu. Tokoh-tokoh seperti Hans Morgenthau mengembangkan prinsip-prinsip realisme klasik, menekankan pentingnya kekuasaan dan kepentingan nasional dalam politik internasional. Realisme Struktural: Pada akhir abad ke-20, muncul realisme struktural (atau neorealisme) yang dipelopori oleh Kenneth Waltz. Pendekatan ini menekankan struktur sistem internasional sebagai faktor penentu perilaku negara, bukan hanya sifat manusia. Ia mengklasifikasikan negara berdasarkan kemampuan militer dan ekonomi. Terdapat berbagai cabang dalam realisme, termasuk realisme ofensif, yang berargumen bahwa negara harus berusaha memperluas kekuasaan mereka, dan realisme defensif, yang lebih fokus pada keamanan dan pencegahan ancaman. Â Realisme sering dikritik karena pandangannya yang pesimistis dan cenderung mengabaikan faktor-faktor lain seperti norma-norma internasional, kerjasama, dan aspek humanis dalam hubungan internasional.
Neo-Realisme, juga dikenal sebagai realisme struktural, adalah perkembangan dari teori realisme yang muncul pada akhir abad ke-20. Neorealisme berfokus pada struktur sistem internasional sebagai faktor utama yang mempengaruhi perilaku negara, bukan hanya sifat manusia atau kepentingan individu negara. Konsep ini dipelopori oleh Kenneth Waltz dalam bukunya "Theory of International Politics" (1979). Konsep yang pertama Struktur Sistem Internasional, Neorealisme menekankan bahwa struktur sistem internasional bersifat anarkis, di mana negara-negara beroperasi dalam lingkungan yang tidak ada otoritas pusat. Struktur ini terdiri dari distribusi kekuasaan antara negara-negara, yang dapat diklasifikasikan sebagai unipolar, bipolar, atau multipolar. Yang kedua Perilaku Negara, Negara bertindak berdasarkan kebutuhan untuk bertahan hidup dan mencapai keamanan, yang mengarah pada perilaku kompetitif dalam sistem anarkis. Dalam neorealisme, tindakan negara dipengaruhi oleh posisi mereka dalam struktur kekuasaan, bukan hanya oleh motivasi individu atau kepentingan nasional. Yang ketiga  Kekuasaan, Kekuasaan diartikan secara luas, mencakup faktor-faktor militer, ekonomi, dan teknologi. Negara yang memiliki kekuasaan lebih besar memiliki lebih banyak pengaruh dalam urusan internasional. Neorealis juga membedakan antara kekuasaan ofensif (berusaha untuk memperluas pengaruh) dan defensif (mempertahankan diri dari ancaman). Dan yang keempat  Keamanan dan Ancaman, Neorealisme menekankan pentingnya keamanan, di mana negara akan berusaha meminimalkan ancaman terhadap eksistensi mereka, seringkali melalui peningkatan kemampuan militer dan aliansi strategis. Adapun perkembangan dan kritik Neorealisme telah berkembang dengan munculnya berbagai cabang, seperti neorealisme ofensif dan defensif, yang menawarkan pandangan berbeda tentang bagaimana negara seharusnya merespons dinamika kekuatan.
Liberalisme adalah Teori liberal dalam hubungan internasional (HI) adalah pendekatan yang menekankan pentingnya kerjasama antarnegara, peran institusi internasional, dan norma-norma dalam menciptakan stabilitas dan perdamaian global. Liberalisme percaya bahwa negara-negara dapat berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama, dan bahwa interdependensi ekonomi serta keterlibatan aktor non-negara (seperti LSM dan perusahaan) dapat mendorong kerjasama yang lebih baik. Asal-usul ide-ide liberal dapat ditelusuri ke era Pencerahan (abad ke-17 dan ke-18) di Eropa. Pemikir seperti John Locke, Immanuel Kant, dan Jean-Jacques Rousseau mengemukakan gagasan tentang hak asasi manusia, pemerintahan yang demokratis, dan pentingnya perdamaian. Reaksi terhadap Perang Dunia: Setelah Perang Dunia I dan II, pemikir liberal mulai menekankan perlunya lembaga internasional untuk mencegah konflik besar. Pembentukan organisasi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencerminkan upaya untuk menciptakan kerangka kerja yang dapat mengatur hubungan internasional dan mendukung kerjasama. Pada awal abad ke-20, ide-ide liberal mulai diintegrasikan ke dalam kebijakan luar negeri. Konferensi Perdamaian Paris (1919) adalah contoh di mana negara-negara berusaha merumuskan peraturan dan lembaga internasional untuk mencegah perang. Pasca Perang Dunia II, Setelah Perang Dunia II teori liberal semakin berkembang dengan munculnya lembaga-lembaga internasional, seperti PBB, IMF, dan WTO. Fokus pada pembangunan institusi internasional sebagai cara untuk mengelola konflik dan memfasilitasi kerjasama menjadi lebih menonjol.
Neo-Liberalisme adalah pendekatan dalam hubungan internasional (HI) yang menekankan peran institusi internasional, interdependensi, dan kerjasama antara negara-negara. Berbeda dengan liberalisme klasik yang lebih fokus pada idealisme dan nilai-nilai, neo-liberalisme menekankan pentingnya struktur dan aturan yang ada dalam sistem internasional untuk mendorong kerjasama dan mengelola konflik. Neo-liberalisme berargumen bahwa meskipun sistem internasional bersifat anarkis, negara-negara dapat mencapai hasil positif melalui kerjasama dan penggunaan institusi. Neo-liberalisme berkembang sebagai respons terhadap realisme dan kritik terhadap liberalisme klasik. Ia mempertahankan beberapa prinsip liberal, seperti pentingnya kerjasama dan norma, tetapi menekankan perlunya institusi untuk menciptakan stabilitas. Dalam konteks Perang Dingin: Munculnya neo-liberalisme juga dipengaruhi oleh pengalaman internasional selama Perang Dingin, di mana ketegangan antara blok Barat dan Timur menunjukkan pentingnya komunikasi dan interaksi yang terstruktur antara negara. Pada awal 1980-an Neo-liberalisme mulai berkembang pada awal 1980-an, ketika para pemikir seperti Robert Keohane dan Joseph Nye memperkenalkan konsep ini melalui karya-karya mereka. Salah satu karya penting adalah buku "Power and Interdependence" (1977) yang membahas bagaimana negara-negara saling bergantung dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi dan lingkungan. Neo-liberalisme menekankan bahwa institusi internasional dapat membantu mengurangi ketidakpastian dalam hubungan antarnegara dan memberikan kerangka untuk menyelesaikan konflik. Lembaga seperti PBB, WTO, dan IMF menjadi contoh penting dalam mendukung kerjasama global. Interdependensi menjadi kunci dalam neo-liberalisme, di mana negara-negara semakin saling bergantung dalam aspek ekonomi, sosial, dan politik. Hal ini menciptakan insentif bagi negara untuk bekerja sama demi mencapai keuntungan bersama.
Persamaan Teori HI Realisme, Neo-Realisme, Liberalisme dan Neo-Liberalisme yang pertama Fokus pada Negara sebagai Aktor Utama Realisme dan Neo-Realisme Keduanya memandang negara sebagai aktor dominan dalam sistem internasional. Realis percaya bahwa negara bertindak atas dasar kepentingan nasional, sedangkan neo-realis menekankan bahwa perilaku negara dipengaruhi oleh posisi mereka dalam struktur sistem internasional. Liberalisme dan Neo-Liberalisme, Meskipun lebih menekankan pada kerjasama dan institusi, kedua pendekatan ini tetap mengakui bahwa negara adalah aktor utama dalam politik global. Negara memiliki peran penting dalam membentuk kebijakan luar negeri dan interaksi internasional. Yang kedua Penerimaan Terhadap Anarki Sistem Internasional, Realisme dan Neo-Realisme kedua teori ini berargumentasi bahwa sistem internasional bersifat anarkis, yang berarti tidak ada otoritas pusat untuk mengatur hubungan antarnegara. Dalam konteks ini, negara harus bertindak untuk melindungi diri mereka sendiri. Liberalisme dan Neo-Liberalisme meskipun lebih optimis tentang potensi kerjasama, kedua pendekatan ini juga mengakui sifat anarkis dari sistem internasional. Namun, mereka percaya bahwa institusi dan norma dapat mengurangi dampak negatif dari anarki ini. Yang ketiga Pentingnya Keamanan dan Kepentingan Nasional Realisme dan Neo-Realisme keduanya menekankan bahwa keamanan negara adalah prioritas utama. Negara bertindak untuk memaksimalkan kekuatan dan melindungi kepentingan nasional mereka. Dalam pandangan ini, konflik antarnegara dianggap sebagai hal yang tidak dapat dihindari. Liberalisme dan Neo-Liberalisme meski lebih fokus pada kerjasama, kedua teori ini mengakui bahwa kepentingan nasional dan keamanan tetap menjadi faktor penting. Negara akan berusaha menjaga keamanan mereka, tetapi melalui cara yang lebih kooperatif dan berbasis pada dialog. Yang keempat Dinamika Kekuatan, Realisme dan Neo-Realisme keduanya melihat hubungan internasional sebagai arena persaingan kekuasaan, di mana negara-negara berusaha untuk meningkatkan posisi dan kekuatan mereka. Dalam pandangan ini, kekuasaan militer dan ekonomi adalah kunci untuk bertahan dan mengatasi ancaman.Â
Liberalisme dan Neo-Liberalisme meskipun menekankan kerjasama, kedua pendekatan ini juga mengakui bahwa kekuasaan dan pengaruh adalah faktor penting. Mereka berargumen bahwa negara dapat mencapai hasil yang lebih baik melalui kerjasama, tetapi tidak mengabaikan fakta bahwa kekuatan tetap menjadi elemen penting dalam hubungan internasional. Dan yang kelima Analisis Perilaku Negara, Semua teori ini berfungsi sebagai kerangka untuk menganalisis perilaku negara dan interaksi internasional. Mereka membantu menjelaskan bagaimana dan mengapa negara berperilaku dengan cara tertentu dalam konteks global, meskipun dari perspektif yang berbeda. Kesimpulannya Realisme, Neo-Realisme, Liberalisme, dan Neo-Liberalisme memiliki beberapa persamaan mendasar dalam analisis hubungan internasional, meskipun pendekatan dan fokus mereka berbeda. Semua teori ini berkontribusi pada pemahaman yang lebih luas tentang dinamika kekuasaan, kepentingan nasional, dan interaksi antarnegara dalam sistem internasional yang kompleks.
Perbedaan Teori HI Realisme, Neo-Realisme, Liberalisme dan Neo-Liberalisme yang pertama Pandangan Terhadap Anarki Internasional, Realisme menganggap bahwa sistem internasional bersifat anarkis dan tidak ada otoritas pusat. Negara harus bertindak untuk melindungi kepentingan dan eksistensinya dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian. Neo-Realisme juga menganggap sistem internasional sebagai anarkis, tetapi lebih menekankan struktur kekuasaan yang ada. Dalam pandangan ini, perilaku negara dipengaruhi oleh posisi mereka dalam distribusi kekuasaan global. Liberalisme mengakui sifat anarkis sistem internasional, tetapi percaya bahwa melalui institusi dan norma, negara dapat bekerja sama untuk mengatasi masalah bersama. Ada keyakinan bahwa kerjasama dapat mengurangi ketidakpastian. Neo-Liberalisme menekankan bahwa meskipun sistem internasional bersifat anarkis, institusi internasional dapat mengurangi konflik dan memfasilitasi kerjasama. Ada keyakinan bahwa interdependensi dapat menciptakan stabilitas. Yang kedua Peran Negara dan Aktor Lain, Realisme menekankan negara sebagai aktor utama, dengan fokus pada kepentingan nasional dan kekuasaan militer. Aktor non-negara dianggap kurang berpengaruh. Neo-Realisme masih memfokuskan pada negara, tetapi mengakui pentingnya struktur sistem yang mempengaruhi perilaku negara. Meskipun ada perhatian terhadap aktor non-negara, fokus utama tetap pada negara. Liberalism menerima bahwa selain negara, aktor non-negara (seperti LSM dan perusahaan) memiliki peran penting dalam hubungan internasional. Kerjasama antara berbagai aktor dianggap krusial. Neo-Liberalisme menekankan peran institusi internasional dalam mengatur hubungan antarnegara dan juga mengakui pentingnya aktor non-negara. Interdependensi ekonomi menjadi fokus utama. Yang ketiga Pandangan Terhadap Konflik dan Kerjasama, Realisme menganggap konflik sebagai hal yang tidak terhindarkan dalam hubungan internasional. Negara akan bersaing untuk kekuasaan, dan kerjasama bersifat temporer dan pragmatis. Neo-Realisme menyatakan bahwa konflik juga muncul dari struktur sistem internasional. Meskipun konflik tidak terhindarkan, ada ruang untuk kerjasama ketika kepentingan negara sejalan. Liberalisme lebih optimis tentang kerjasama. Berargumen bahwa melalui institusi dan norma, negara dapat bekerja sama untuk menyelesaikan masalah global, seperti perdagangan dan perubahan iklim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H