Mohon tunggu...
Christophe D. Thomson
Christophe D. Thomson Mohon Tunggu... -

Instagram: cdt888. Pandas & tea. \r\nChristophe Dorigné-Thomson. \r\n\r\nFrench and British. \r\n\r\nwww.cdt888.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Only for Bule! (WNI Dilarang Baca Ini)

22 April 2014   20:30 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:20 9681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13982087991807377326

[caption id="attachment_332872" align="aligncenter" width="609" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Only for bule! (WNI dilarang baca ini).

Hello my friend I want to talk to you about...Ahh kok lo jadi membaca post ini? Kan itu post dari bule untuk bule. Kepo banget! Kan gw udah bilang hanya bule yang boleh baca. WNI ga boleh. Tidak begitu sopan tau. Ya udah lo udah di sini jadi gw akan sharing tentang sesuatu yang bikin gw sangat kaget awalnya dan sedikit sedih walaupun masih punya harapan.

Nah kenapa sebenarnya gw bilang hanya bule yang boleh baca ini? Gw sebenarnya mau bikin analogi sama kejadian lain. Gw ingat tahun lalu gw pernah diceritakan ada beberapa klub atau tempat hiburan di Bali yang memprioritaskan bule untuk masuk di dalam. Wow. Gw shock parah saat dengar itu. Trus gw tanya-tanya di mana-mana tentang itu. Ternyata memang benar. Bule langsung masuk. Kalau orang Indonesia datang tanpa bule jauh lebih susah untuk masuk bahkan tidak boleh masuk. Gila. Kok bisa?

Jadi gw mau sedikit berpikir tentang situasi ini. Sudah ada banyak diskriminasi dalam masyarakat. Antara si kaya dan si miskin, jelek dan tampan, tinggi dan pendek dan juga didasarkan pada ras atau agama. Banyak sekali. Di Indonesia dan di seluruh dunia pasti ada diskriminasi. Diskriminasi merupakan suatu kendala yang tidak didasarkan pada kompetensi. Ini adalah musuh demokrasi dan kemajuan.

Kok di kasus ini ditambah diskriminasi kepada WNI di negeri sendiri? Sepertinya bule jadi lebih penting. Sepertinya superior gitu. Orang Indonesia sendiri yang jaga tempat hiburan memilih untuk memprioritaskan bule. Mungkin bule yang punya tempatnya dan dia yang memilih? Sama menurut gw soalnya itu tetap Indonesia dan praktek ini diterima di Indonesia oleh orang Indonesia. Orang Indonesia kurang bersuara bahkan diam saja. Tempat seperti itu harus ditutup kalau bukti jelas. Gampang itu. Hanya harus bikin tes sama video kamera tersembunyi. Sering tes kayak gitu di Eropa.

Jadi gimana dong kalau diskriminasi itu tetap jalan tanpa ditolak? Sebenarnya ada juga jenis masalah seperti itu di Perancis misalnya di mana orang-orang Perancis asal Arab atau Afrika sering ditolak di pintu masuk. Orang-orang Perancis bermata biru sering diprioritaskan untuk masuk. Diskriminasi secara umum dalam masyarakat juga tinggi. Tapi kita berbicara tentang Indonesia di sini dan di sana bukan semua warga negara setempat yang ditolak masuk.

Itu kan WNI yang dilarang masuk di satu tempat yang berada di negeri sendiri. Luar biasa.

Gw memilih contoh itu secara simbolis sebetulnya. Jelas Indonesia masih menderita dari sisa-sisa penjajahan. Kompleks inferioritas masih ada. Bikin kurang percaya diri dan berpikir yang dari luar negeri lebih layak, lebih bagus, lebih keren gitu. Gw benar-benar bisa merasakannya. Itu membuat orang Indonesia murni, baik dan rendah hati tapi kelemahan ini harus diatasi. Ini adalah kondisi kemajuan dan pembangunan. Dampak dari pemikiran seperti ini sangat tinggi. Hal ini salah satu alasan mengapa Indonesia misalnya mengimpor hampir semuanya, mengapa tidak dapat mengendalikan sumber daya alamnya dan mengapa film asing lebih diputar di bioskop daripada film lokal. Yang dari luar lebih keren. Superior. Harusnya semuanya sangat aktif untuk mengubah itu. Tapi masih sedikit apatis.

Artinya bekas pikiran kolonial masih ada dalam pikiran Indonesia. Mungkin pemilik klub atau yang jaga pikir lebih keren kalau banyak bule masuk. Klubnya akan lebih hits dan lebih banyak big spenders akan datang. Pikir juga orang Indonesia yang datang sama teman bule artinya lebih layak dan lebih kaya daripada orang Indonesia yang datang bareng teman-teman Indonesia saja. Padahal banyak bule miskin dan kampung di Bali misalnya.

Semua itu sangat simbolis dari perubahaan psikologis yang diperlukan. Kemajuan itu sesuatu yang sangat psikologis. Harus percaya diri, harus percaya sama bangsa sendiri dan harus percaya diri sendiri layak dan sesama warga layak juga. Layak untuk maju sebenarya. Gimana kalau sesama warga  ditolak dan bule yang jadi prioritas? Bagaimana bisa maju? Perubahan dimulai dalam pikiran diri sendiri terlebih dahulu. Kondisi kemajuan.

Rasa inferior harus dibunuh. Indonesia adalah negara besar yang kini punya kesempatan bersejarah untuk bangkit dan menjadi negara adidaya. Jika jenis pemikiran dan perilaku ini masih terjadi, bagaimana Indonesia bisa menjadi raksasa dunia?

Harusnya tidak ada diskriminasi seperti itu. Semuanya sama. Tidak boleh diskriminasi apalagi terhadap warga negara Indonesia di Indonesia. Tanggung jawab semuanya untuk menolak itu dan menjelaskan kenapa itu tidak boleh terjadi. Harus bersuara.  Tidak boleh diam. Gw jujur kalau gw ke sana dan lihat itu gw tidak akan masuk tempat seperti itu, gw akan mulai bersuara dan akan boikot tempatnya. Harus selalu bersuara itu penting dan tidak terima yang tidak boleh diterima.

Gw pengen dapet pendapat lo tentang itu. Gimana untuk mengubah?

Terima kasih. Baca post gw yang lain ya: http://www.kompasiana.com/cdt888

Follow my twitter: @thomsonchris / Instagram: cdt888 / www.cdt888.com / www.kompasiana.com/cdt888 /

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun