Mohon tunggu...
Cay Cay
Cay Cay Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Belajar tak dibatasi usia.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Surat Pribadi dari Saudaraku yang Menjadi Capres

12 Maret 2014   20:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi tadi ketika aku sampai di sekolah, kulihat sepucuk surat tergeletak di meja kerjaku. Aku tak tahu kapan datangnya surat itu. Aku menduga kemarin, cuma karena kemarin aku sakit dan tidak masuk kerja maka aku tak melihat datangnya surat itu.

Kupandangi sekilas amplop tersebut. Ada foto seorang capres bersama istrinya yang tengah tersenyum manis disertai nama beliau. Pada jendela amplop tertulis namaku. Kepada Yth. Saudaraku xxxxx , SMA xxxxx, Kecamatan xxxxx, Kota xxxxx, Provinsi xxxxx. Hmmm....ternyata surat ini datang dari saudaraku yang mencalonkan diri sebagai calon presiden RI pada pemilu 2014 ini. Saudaraku? Jelas dong, lha dia saja menyebut diriku dengan sebutan "saudaraku". Hehehe....sejak kapan ya aku punya saudara yang mencalonkan diri sebagai capres. Rasanya kok keren banget.

Begitu membaca namaku terpampang jelas di jendela amplop, hatiku tergelitik untuk membacanya. Dengan hati-hati kubuka amplop surat itu. Sengaja kubuka dengan hati-hati, tidak dengan buru-buru apalagi langsung sobek hingga merusak surat. Tidak! Aku ingin surat ini menjadi bukti tertulis bahwa aku pernah punya saudara yang juga seorang capres. Mungkin kelak surat ini akan kuwariskan pada anak cucu (halaah...lebay).

Kususuri dengan cermat paragraf demi paragraf isi surat itu. Duuuh....betapa manis bahasanya. Secara keseluruhan surat ini berisi permohonan doa restu bagi saudaraku yang mau bertempur dalam pemilu bulan depan. Selain itu beliau juga berjanji jika terpilih nanti akan bekerja sungguh-sungguh untuk mengangkat nasib guru dan tenaga pendidik, serta memajukan dunia pendidikan. Beliau sangat berharap dukungan dariku, apalagi kapasitasku adalah seorang guru, sebuah profesi mulia yang mendidik generasi muda bangsa.

Sampai pada bagian tersebut aku tersenyum geli. Hehehe... betapa berartinya diriku ini bagi saudaraku itu. Dia sempatkan bikin surat pribadi untukku dan kepada semua teman guru (padahal bisa jadi ini  kerjaan tim suksesnya). Ada perasaan tersanjung, heran, campur bingung. Semua perasaan itu berbaur jadi satu dan menyusup dalam diriku.

Tersanjung? Ya karena saudaraku mengakui bahwa profesi guru adalah profesi mulia? Aku sendiri juga sadar kalau profesi guru memang profesi mulia. Kalau tidak mulia, masak aku mau jadi guru? Walaupun tak bisa dipungkiri masih banyak guru yang nasibnya tidak mulia karena penghargaan yang didapat dari jerih payahnya hanya ala kadarnya.

Heran? Ya karena surat ini langsung menyasar secara pribadi diriku sebagai seorang guru yang bekerja di sekolah anu, di kota anu, di provinsi anu. Duuuh....kok ya saudaraku (dan tim suksesnya) pinter bin cerdik dalam mencari dukungan. Dia gunakan pendekatan personal. Wah...dia dapat dari mana ya dataku. Jangan-jangan data kedinasan semua guru di Indonesia sudah dibidiknya. Terus berapa jumlah guru dari TK hingga perguruan tinggi  se Indonesia? Seandainya semua guru di seluruh Indonesia dapat surat pribadi seperti ini terus berapa biaya yang dikeluarkan hanya untuk berkirim surat memohon dukungan? Kenapa biaya tersebut tidak diwujudkan dalam bentuk pemberian bantuan fasilitas yang dibutuhkan dunia pendidikan?

Bingung? Ya karena aku  yang seorang guru biasanya cuma disapa oleh murid-muridku atau mantan muridku ternyata kini  disapa secara pribadi oleh saudaraku, seorang capres yang aku sendiri bahkan belum pernah bertemu dengannya. Sebagai seorang guru ternyata suaraku sunggguh berharga. Suara guru dibutuhkan untuk mengantarkan saudaraku meraih tahta menjadi orang nomor satu di negeri ini. Ngomong-ngomong nanti kalau sudah jadi orang nomor satu apa ya saudaraku ini masih ingat padaku? Jangan-jangan aku tak bakal dianggap sebagai saudara lagi (hehehe....keluargaku juga belum kenal dengan keluarga beliau). Dianggap saudara saja tidak, apalagi diperhatikan nasibnya, diangkat derajatnya agar mulia seperti profesi yang disandangnya. Ah, bisa jadi beliau juga lupa bahwa beliau pernah berjanji padaku.

Begitu perasaanku yang muncul setelah membaca isi surat dari saudaraku. Pesan saudaraku sangat jelas. Di akhir suratnya beliau sampaikan salam hangat buatku dan keluargaku. Tak lupa beliau ucapkan terima kasih. Sebuah surat yang menjadi kejutan di hari ini, Rabu pagi yang diwarnai cerahnya matahari. Tak tahu aku bagaimana harus membalas surat itu. Aku tak berani membalasnya secara pribadi, karena aku sadar diri.

Akhirnya aku hanya simpan surat itu di laci mejaku. Biarlah surat itu tersimpan rapi di sana. Aku bukannya tak peduli, tapi hari ini aku masih punya tugas yakni mengawas ujian sekolah bagi anak-anak didikku. Semoga kelak di antara anak-anak didikku ini ada yang bisa menjadi presiden dan tetap ingat pada gurunya.

catatan penulis :

Aku tahu pada siapa suaraku harus kutitipkan***

Tasikmalaya, 12 Maret 2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun