[caption caption="Ilustrasi media sosial (Jitet-KOMPAS)"][/caption]Memiliki akun di media sosial (medsos) jaman sekarang memang sudah lumrah. Media sosial sebagai bagian dari gaya hidup sudah merasuk di berbagai lapisan masyarakat. Tak hanya kaum muda yang aktif bermedsos, anak-anak dan kaum lanjut usia pun tak mau kalah. Medsos bukan hanya dimonopoli oleh kelompok kaya, kalangan berpendidikan, orang kota, atau orang terkenal. Tapi medsos menjadi milik seluruh masyarakat dari berbagai kalangan, apa pun latar belakangnya. Medsos hadir untuk semua golongan tanpa pandang bulu.
Banyaknya pengguna medsos dewasa ini menjadi fenomena tersendiri. Bahkan kehadiran medsos mampu mengubah perilaku dan gaya hidup seseorang. Tak jarang kepemilikan akun di medsos lalu menjadi ukuran modernitas seseorang. Semakin banyak memiliki akun media sosial, semakin dianggap modern atau merasa diri modern. Apalagi jika si pemilik juga rajin nongol berstatus alias menulis status di semua medsos yang dimilikinya. Wah, serasa seseorang sudah menjadi orang paling top dan modern. Sebuah ukuran yang harus dikaji lebih lanjut kebenarannya. Benarkah punya banyak akun di medsos membuat sesorang menjadi makin modern? Modern dalam hal apa?
Orang menggunakan medsos tentu dengan rupa-rupa tujuan. Ada yang ingin sekadar agar tak tampak ketinggalan jaman, maka ia bermedsos. Boleh dikatakan ini tipe minimalis. Mereka yang seperti ini memang punya akun di media sosial, tapi ia jarang memanfaatkannya. Akunnya menjadi akun yang pasif. Namun, ada juga orang menggunakan medsos untuk keperluan aktualisasi diri, menambah relasi pergaulan (syukur-syukur ketemu jodoh, bagi yang masih jomblo), menyampaikan aspirasi dan uneg-uneg di hati, menyebarkan informasi, berbagi pengalaman, sarana promosi, sarana menyampaikan opini atau kritiik, dan masih banyak tujuan-tujuan lain. Mereka yang sadar akan manfaat medsos tentu akan menggunakannya sesering mungkin bahkan semaksimal mungkin. Bisa setiap saat mereka muncul medsos. "Tiada hari tanpa medsos", boleh jadi itulah motto hidupnya. Kemarin medsos, hari ini medsos, besuk dan besuknya lagi juga medsos.Â
Salahkah orang aktif bermedsos? Jika pertanyaannya soal salah dan benar, tentu jawabannya tidak salah. Sah-sah saja orang mau aktif bermedsos atau tidak. Itu hanya soal pilihan. Namun semua memang terpulang pada motivasi yang mendasarinya. Sehatkah gaya hidup bermedsos? Nah, ini adalah pertanyaan yang berbeda. Gaya hidup bermedsos memang bisa menjadi cerminan perilaku sehat dan tak sehat. Dikatakan sehat bila orang tetap dalam porsi yang wajar, baik dari segi frekuensi (keseringan tampil di medsos) maupun dari segi konten yang diunggah di medsos.
Sebaliknya menjadi tidak sehat kalau orang sudah melampaui kewajaran. Aktif tampil di medsos, tapi lupa pada dunia realitasnya. Orang rajin ngobrol di dumay, menyapa sana sini tapi ia berpaling dan cuek terhadap orang-orang terdekat di sekitarnya. Jangankan terlibat pergaulan akrab, menyapa saja tidak. Juga menjadi tidak sehat manakala orang tak lagi bisa membedakan mana hal yang pantas diunggah di medsos sehingga boleh diketahui oleh publik, dan mana yang tak pantas diunggah di medsos (alias mestinya ini cukup menjadi konsumsi terbatas bahkan privat).
Penggunaan medsos memang tak selamanya bersifat positif. Tak sedikit orang menggunakan medsos justru untuk hal-hal negatif. Ada orang yang tujuannya ingin menipu dengan menyebarkan berita hoax, menyebarkan spam, menjadi hacker, hingga menjadi troublemaker alias pembuat masalah atau pengacau. Tipe seperti ini biasanya menggunakan medsos untuk menghujat, menyebar kebencian dan fitnah, serta mengadu domba. Cara yang ditempuh juga beragam. Tak sebatas berupa tulisan, tapi bisa juga gambar atau video.
Penggunaan medsos dengan tujuan seperti itu jelas tak bisa disebut sebagai perilaku sehat. Bisa dikatakan ini adalah perilaku orang yang sakit atau perilaku tak sehat. Anehnya, pada musim-musim  tertentu, tiba-tiba banyak orang yang punya perilaku tak sehat. Ambil contoh pada musim menjelang pemilihan jabatan politik, entah itu pilkada ataupun pilpres. Pada saat seperti ini media sosial akan dipenuhi oleh status yang berisi serangan, hujatan, fitnah, ungkapan kebencian terhadap kontestan peserta pemilu yang tak disukai. Tak jarang juga meluas menjadi perseteruan antar pendukung kontestan yang berseberangan. Inilah fenomena  yang muncul di tengah masyarakat.
Sekadar contoh, jelang pilgub DKI belakangan ini cukup menyedot perhatian masyarakat. Padahal pemilu baru akan berlangsung tahun depan. Tak hanya masyarakat di wilayah DKI yang ramai membahas, namun juga masyarakat di luar DKI yang notabene tak berkait dengan pemilu tersebut. Sorotan mayarakat banyak tertuju pada figur Ahok yang ingin mencalonkan diri secara independen (atau figur lain yang menjadi pesaingnya). Perbincangan tentang Ahok di medsos terasa riuh. Ada yang mendukung habis-habisan, tapi tak sedikit yang juga menyerang habis-habisan. Kalau sudah begini orang lupa berperilaku sehat.
Contoh lain misalnya dalam menanggapi berita yang sedikit menyerempet isu SARA. Setiap ada berita yang berbau SARA, boleh dikatakan suasana medsos akan menjadi heboh. Selalu ada tanggapan yang bisa bikin telinga tambah merah, dan hati tambah panas. Ujung-ujungnya lalu muncul hujatan dan lontaran bernada kebencian pada kelompok tertentu. Itu baru dua contoh. Masih banyak contoh lainnya yang kalau dideretkan bisa berpanjang lebar hasilnya dan makin luas jadinya. (Heee....kok kayak matematika aja nih).
Seberapa sehat perilaku kita dalam bermedsos? Beranikah secara jujur kita mengakui perilaku tersebut? Pertanyaan ini sengaja saya lontarkan agar kita berani mengoreksi diri manakala perilaku dalam bermedsos mulai mengarah pada tindakan tak sehat. Kita berharap, terlebih ketika kita mengaku sebagai orang modern maka kemodernan itu tentu ditunjukkan lewat perilaku yang sehat dalam berelasi di medsos, bukan sekadar punya akun di semua medsos.***
Â